Orang-orang musyrik Makkah selalu menolak dakwah Nabi Muhammad saw dengan segala cara. Salah satunya dengan mengklaim bahwa beliau saw hanyalah ‘orang biasa’ yang tidak pantas mendapat wahyu. Jika benar Allah SWT menurunkan wahyu, maka orang yang pantas menerimanya haruslah seorang pembesar. Menurut mereka, tokoh pembesar bangsa Arab hanya dua; Walid bin Mughirah Al-Makhzumi sebagai tokoh Quraisy di Makah dan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi sebagai tokoh suku Tsaqif di Thaif. Allah SWT mengisahkan klaim mereka dalam firman-Nya,
"Dan mereka berkata: “Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar (tokoh) dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (QS. Az-Zukhruf 31)
Allah SWT menjungkir balikkan klaim mereka dengan memberi petunjuk kepada salah satu dari dua tokoh besar tersebut untuk masuk Islam. Sebelumnya, Allah SWT telah memberi petunjuk kepada salah satu dari dua orang Amr untuk masuk Islam, yaitu Umar bin Khathab Al-‘Faruq dari pada Amru bin Hisyam Al-Makhzumi alias Abu Jahal.
Urwah bin Mas’ud, tokoh besar yang dikirim oleh kaum musyrik Quraisy untuk menyampaikan ancaman kepada kaum muslimin sebelum penanda tanganan perjanjian Hudaibiyah. Ia datang ke perkemahan kaum muslimin dan berdiplomasi dengan Rasulullah saw. Setelah itu ia kembali kepada kaum musyrik Quraisy di Makkah dan melaporkan hasil diplomasinya. Katanya,
“Wahai kaum Quraisy. Sungguh aku telah datang kepada Kisra di istananya, Kaisar Romawi di istananya, dan Najasyi di istananya. Demi Allah, sesungguhnya aku belum pernah melihat seorang raja di tengah rakyatnya (yang lebih dihormati dan dicintai rakyatnya) seperti Muhammad di tengah shahabat-shahabatnya. Aku telah melihat mereka adalah sebuah kaum yang selamanya tidak rela menyerahkan Muhammad dengan tawaran apapun. Maka terserah, pikirkanlah kembali pendapat kalian!” (Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 2/312)
Penghormatan para shahabat kepada Nabi saw dan ukhuwah islamiyah mereka telah mengoncangkan sanubari Urwah. Selama masa diplomasi itu, ia melihat dengan mata kepala sendiri kecintaan dan pengormatan para shahabat kepada Nabi saw. Inilah kesaksiannya,
“Demi Allah, tidaklah Muhamad membuang dahak kecuali jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka, maka ia mengusapkannya ke wajah dan kulitnya sendiri. Jika Muhamad memerintahkan mereka (sebuah perkara), maka mereka bersegera melakukannya. Jika ia berwudhu, maka mereka hampir-hampir berkelahi karena memperebutkan bekas air wudhunya. Jika ia berbicara, maka mereka merendahkan suara mereka (mendengarkan dengan seksama) dan mereka tidak berani menatap wajahnya secara langsung karena begitu hormat kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2529)
Setelah akhirnya Rasulullah saw dan pasukan muslimin meninggalkan Thaif tanpa menaklukan Thaif, pada saat itu, Urwah bin Mas'ud, tokoh Thaif ini tengah berada di Yaman untuk mempelajari pembuatan Manjanik (meriam tradisional pelempar batu) dan gerobak perang pendobrak benteng. Ia lalu kembali ke Thaif dan membuat peralatan-peralatan perang tersebut.
Namun hatinya tak pernah tenang. Maka ia segera berangkat ke Madinah dan menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah saw. Ia memang tokoh kaumnya, namun ia masuk Islam dengan tawadhu’ dan kepasrahan diri secara total kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan karena riya’, sum’ah, kesombongan, atau mencari kedudukan. Ia bakan tak meminta jabatan atau tugas kepemimpinan apapun kepada Nabi saw. Tekadnya hanya satu, berdakwah dan berjihad di bawah panji Islam. Di hari ikrar dua kalimat syahadat itu pula, Urwah mengutarakan niat dakwah dan jihadnya.
“Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk kembali kepada kaumku, niscaya aku akan mengajak mereka untuk masuk Islam. Demi Allah, menurutku tidak layak seorang pun tertinggal dari (memeluk) agama ini. Aku akan datang kepada para kawan dan kawanku dengan sebaik-baik ‘bawaan’. Utusan sesungguhnya yang datang kepada suatu kaum hanyalah orang yang datang membawa apa yang engkau ajarkan. Engkau, wahai Rasulullah, sungguh telah mendahului dalam banyak kesempatan.” (Sirah Nabawiyah, Al-Waqidi, 3/960)
Cahaya iman dalam hatinya begitu bergejolak. Ia tidak sabar lagi untuk segera kembali dan berdakwah kepada kaumnya. Ia seakan berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan kaumnya dari bencana besar.
Rasulullah saw menjawab permintaan izin tersebut dengan bersabda, “Jika begitu, mereka akan membunuhmu.”
Urwah berkata, “Wahai Rasulullah, kaumku lebih mencintai saya daripada cinta mereka kepada anak gadis perawan mereka sendiri". Begitu mulia, terhormat, dan dicintainya ia oleh kaumnya. Begitulah, Allah memilih para pengemban dakwah ini dari kalangan orang-orang yang mulia, dicintai, dan paling bermanfaat bagi kaumnya.
Urwah kembali meminta izin untuk pulang dan mendakwahi kaumnya. Namun Rasulullah saw menegaskan bahwa kaumnya pasti akan membunuhnya. Maka dengan tekad yang bulat dan kesiapan untuk sabar menanggung resiko dakwah, Urwah menjawab, “Wahai Rasulullah, sekiranya saya tidur, mereka tidak akan tega membangunkanku.”
Mereka begitu menghormatinya, sehingga sungkan untuk membangunkannya dari tidurnya. Ia orang yang paling baik di antara kaumnya, namun ia bukan tipe orang yang diremehkan. Ia orang shalih di tengah mereka, namun ia juga orang yang mulia dan disegani.
Untuk ketiga kalinya, Urwah meminta izin pulang dan mendakwahi kaumnya. Tekadnya telah mantap, tak mungkin surut, walau badai menghadangnya. Melihat hal itu, Rasulullah saw bersabda, “Jika memang begitu keinginanmu, maka silahkan pulang!” (Sirah An-Nabawiyah, Al-Waqidi, 3/960)
Urwah bergegas kembali ke Thaif, sehingga dalam waktu lima hari ia telah tiba di waktu malam. Tradisi suku Thaif mengharuskan musafir yang baru pulang dari safar untuk mendatangi berhala Laata (mereka memanggilnya Rabbah, Tuhan perempuan), berthawaf mengelilinginya, dan menggundul rambut kepala, sebelum masuk rumahnya sendiri. Urwah tidak melakukan hal itu. Di hadapan tokoh Tsaqif lainnya, ia mengaku kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh. Berhala Laata itulah yang tersirat dalam ayat An Najm 19;
"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?, Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?, Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka." (An Najm 19-23)
Ia lalu masuk rumah. Keluarganya memberi ucapan salam jahiliyah, namun ia menjawab, “Hendaklah kalian mengucapkan salam penduduk surga. As-salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” Ia lalu mengajak mereka untuk masuk Islam. Kontan saja mereka marah dan mencaci maki dirinya. Dengan sabar, ia menjawab,
“Wahai kaumku, apakah kalian menuduhku yang bukan-bukan? Bukankah kalian mengetahui bahwa di antara kalian, aku adalah orang yang paling baik nasabnya, paling banyak hartanya, dan paling kuat anggota keluarganya? Tidak ada yang mendorongku masuk Islam selain karena aku melihat suatu perkara baik yang tidak selayaknya seorang pun tertinggal dari mengikutinya. Terimalah nasehatku! Janganlah membangkang! Demi Allah, tiada suatu utusan yang datang kepada suatu kaum membawa bawaan yang lebih utama daripada ‘bawaan’ yang aku bawa kepada kalian ini.” (Sirah Nabawiyah, Al-Waqidi, 3/960)
Ia telah datang kepada mereka dengan membawa agama Allah dan syariat-Nya yang akan memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada mereka. Namun mereka semakin kesal, marah, dan benci kepadanya. Kata mereka, “Demi Laata, engkau tidak menyembah Rabbah dan tidak menggunduli rambut kepalamu untuknya. Kami yakin engkau telah menghianati agama leluhurmu sendiri”.
Maka mereka membuat rencana jahat untuk membunuhnya. Keesokan harinya pada waktu fajar terbit, Urwah keluar dari kamarnya dan mengumandangkan adzan Shubuh. Maka mereka mengepungnya dan memanahnya, sehingga sebuah anak panah menancap di pelipisnya. Darahnya mengucur deras, namun ia membiarkannya, dan melanjutkan shalat Shubuh. Melihat keadaan ini, beberapa kerabat keluarga Urwah menyiapkan senjata untuk balas menyerang orang orang yang memanahnya, tetapi Urwah melarang mereka berbuat begitu, ketika ia telah kehabisan banyak darah, maka seluruh anggota keluarganya dikumpulkan, bersama orang yang memanahnya dan beserta seluruh anggota suku lainnya. Pada detik-detik terakhir hidupnya tersebut, Urwah berpesan:
“Janganlah kalian saling berperang karena urusan nyawaku! Aku telah menyedekahkan nyawaku bagi orang yang membunuhku, agar kalian tetap berdamai. Sungguh ini adalah kemulian yang Allah karuniakan kepadaku, yaitu mati syahid. Allah telah menggiringnya kepadaku. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Beliau telah memberitahukan kepadaku bahwa kalian akan membunuhku. Maka kuburkanlah aku bersama para syuhada’ yang gugur saat berperang bersama Rasulullah SAW", mereka pun melaksanakan wasiat Urwah. Ketika berita itu sampai ke Madinah, Rasulullah saw bersabda,
“Perumpamaan Urwah adalah seperti tokoh dalam surat Yasin yang mengajak kaumnya untuk mengikuti agama Allah, namun mereka justru membunuhnya.” (Al- Bidayah wan Nihayah, 5/29)
Adapun secara akhlak, Urwah telah memberi keteladanan dengan meninggalkan kedudukannya demi bergabung dalam kafilah shahabat Nabi. Ia lalu berdakwah, bersabar dan menanggung segala resiko demi menunjukkan kaumnya ke jalan Islam. Ia siap menebus keberhasilan dakwahnya dengan segala yang ia miliki, termasuk nyawanya sendiri. Dalam hal ini, ia juga menyerupai tokoh dalam surat Yasin yang berdakwah kepada kaumnya sehingga ia dibunuh oleh kaumnya sendiri. Akhlak, perjalanan hidup, kesudahan, dan balasan yang dipetik Urwah serupa dengan tokoh dalam surat Yasin tersebut.
“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Rabbku memberikan ampunan kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin 26-27).