Perang Mu'tah

Mu’tah adalah nama sebuah desa di daerah Balqa’ di Syam. Peperangan yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun 8 H ini disebut pula dengan Ghazwatu Jaisyil Umara’, artinya perang pasukan para pemimpin. Disebut demikian, karena banyaknya jumlah pasukan kaum Muslimin yang kala itu mencapai 3000 personel, dan sengitnya pertempuran melawan pihak kafir guna menuntut balas atas gugurnya utusan Rasulullah saw yaitu al-Harits bin ‘Umair diutus Rasulullah untuk mengirimkan surat ajakan memeluk Islam, yang kemudian dicegat dan dibunuh oleh penguasa setempat bernama Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani pemimpin dari suku Ghassaniyah (Pada waktu itu yang berkuasa di wilayah Palestina dan sekitarnya). Syurabil bin Amr al-Ghassani, penguasa Bushra yang telah membunuh Al-Harits bin Umair Al-Azdi. Penguasa Bushra itu tak mengindahkan etika diplomasi yang berlaku pada zaman itu, yakni seorang utusan resmi dari sebuah negeri tak boleh dibunuh. Dan Pada tahun yang sama, utusan Rasulullah kepada Banu Sulayman dan Dhat al Talh daerah di sekitar negeri Syam (Irak) juga dibunuh oleh penguasa sekitar. Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibunuh dalam misinya.

Rasulullah pun terpaksa melakukan aksi militer untuk memberi pelajaran kepada penguasa yang tak mengindahkan aturan yang berlaku itu. Nabi Muhammad SAW lalu memerintahkan Zaid bin Haritsah untuk memimpin 3.000 pasukan guna menggempur pasukan Syurabil yang berbasis di Bushra.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan yang dipimpin Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu seraya berpesan, “Bila Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, maka Abdullâh bin Rawâhah yang menggantikan”.

Kaum Muslimin menyambut dengan suka cita para komandan yang disebut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi dan mengucap salam kepada mereka saat pasukan mulai berangkat. Ketika pasukan menyalami Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu, mereka melihat ia menangis. Sehingga ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis, hai Ibnu Rawâhah ?” Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allâh, aku bukan mencintai dunia maupun menangisi kalian, akan tetapi, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tentang neraka yang bunyinya :

 وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا

"Setiap kalian pasti akan melewatinya. Itu adalah ketetapan Allâh yang pasti terlaksana", maka aku tidak tahu, bagaimana aku keluar setelah melewatinya?” Maka kaum Muslimin menimpali, “Semoga Allâh menyertai dan membela kalian, dan semoga kalian kembali kepada kami dalam keadaan baik-baik”. Entah mengapa pada saat itu Abdullah bin Rawahah hanya terpaku kepada surat Maryam ayat 71 saja, padahal pada ayat sebelumnya yaitu pada ayat yang ke 69 sudah dijelaskan bahwa hanya pendurhaka dari tiap tiap golongan saja yang akan di jebloskan ke dalam neraka jahanam.

Rasulullah saw berpesan kepada para komandan sebelum keberangkatan mereka, seperti yang diriwayatkan dalam sahih Bukhari, "Berperanglah kalian atas nama Allah, di jalan Allah, melawan orang-orang kafir kepada Allah. Jangan berkhianat, jangan mencincang, jangan membunuh anak-anak, wanita, orang yang sudah tua renta, orang yang menyendiri di biara Nasrani, jangan menebang pohon kurma dan pohon apa pun, dan jangan merobohkan bangunan."

Beliau mengantarkan mereka sampai di Tsaniatul Wada’. Setelah itu, pasukan berangkat dengan rahmat Allah tanpa ada ketakutan sedikit pun di dalam hati mereka, kecuali takut kepada Allah. Menuju karunia Allah dengan menghadapi pasukan besar musuh. Inilah komitmen terbesar seorang muslim diuji, tidak salah jika Rasulullah saw mengatakan bahwa, "Puncak dari agama adalah jihad fi sabilillah.", hanyalah ibadah jihad fisabilillah yang sangat berat karena harus bisa menundukan dirinya sendiri dalam menegakan agama dan harus siap mengorbankan harta dan jiwa.

Pasukan kaum Muslimin pun terus bergerak hingga singgah di sebuah daerah bernama Ma’an di Syam.  Mereka mendengar Raja Heraklius sendiri yang memimpin 100 ribu pasukan Romawi  dan diperkuat lagi dengan 100 ribu pasukan dari sejumlah kabilah Arab yang loyal kepada Romawi, seperti Lakham, Judzam, Qain, dan Bahra’.

Setelah pasukan muslim tiba di Mu’tah, mereka mendapat informasi tambahan bahwa pasukan musuh berjumlah 200.000 pasukan Romawi yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sekitar Syam. Selain itu, bantuan pasukan dari Heraklius (Hercules) juga didatangkan. Beberapa keterangan menyebutkan bahwa Heraklius-lah yang akan memimpin pasukannya yang terdiri dari 100.000 orang Romawi. Mereka bermarkas di Ma’ab di bilangan Balga’. Selain itu, ditambah lagi dengan 100.000 orang dari Bani Lakhm, Judham, Qain, Bahra’, dan Bali. Berdasarkan informasi yang ada, gabungan pasukan tersebut dipimpin oleh Theodore, saudara Heraklius.

Mendengar besarnya jumlah pasukan musuh, kaum Muslimin sempat menetap di Ma’an selama dua malam, sambil memikirkan keadaan mereka dan kembali mengatur strategi yang mesti diterapkan. Mereka mengusulkan agar berkirim surat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Harapannya, supaya beliau mengirim pasukan tambahan atau menetapkan suatu keputusan untuk mereka taati.

Melihat gelagat kaum Muslimin yang ragu untuk berperang, maka Abdullâh ibnu Rawâhah pun menggelorakan semangat. Ia berseru, “Wahai kaum, apa yang kalian takutkan adalah sesuatu yang kalian kejar selama ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi mereka bukan karena jumlah maupun kekuatan kita. Namun kita memerangi mereka karena agama Islam yang dengannya Allâh memuliakan kita. Berangkatlah ! Yang ada hanyalah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid !”

Mendengar seruan itu, pasukan kaum Muslimin tergugah semangatnya dan menyambutnya, “Sungguh benar ucapan Ibnu Rawâhah”. Pasukan pun kembali bergerak maju hingga tiba di perbatasan Balqa’, tepatnya di salah satu desa yang bernama Masyârif. Di sana mereka mendapati pasukan Heraklius yang terdiri dari bangsa Romawi dan Arab.

Ketika musuh mendekat, pasukan kaum Muslimin bergeser ke kawasan lain yang bernama Mu’tah, hingga di dataran itulah kedua pasukan saling berhadapan. Sayap kanan pasukan dipimpin oleh Quthbah bin Qatadah Al-Adzari, sedangkan sayap kiri dipimpin oleh Ubadah bin Malik Al-Anshary. Sementara, komando tertinggi dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.

Perang sengit berkecamuk. Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu melesat ke barisan musuh dengan membawa panji-panji Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia berperang penuh semangat menerjang barisan musuh hingga syahid tertusuk tombak musuh. Panji-panji pun lantas diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu .

Perang kembali berkecamuk. Tetapi Ja’far Radhiyallahu anhu tidak mendapatkan celah untuk keluar dari kepungan musuh. Dia pun meloncat dari atas punggung kuda tunggangannya dan menebas keempat kaki kudanya lalu menyeruak ke tengah barisan musuh hingga akhirnya syahid pula. Dan Ja’far adalah orang Islam pertama yang menebas kudanya di medan perang, dengan tujuan agar kudanya tidak bisa di manfaatkan oleh musuh.

Salah seorang saksi mata dari Bani Murrah bin ‘Auf mengisahkan: Masih terbayang olehku ketika Ja’far Radhiyallahu anhu meloncat dari atas kudanya lalu menebas kaki-kaki kudanya, kemudian ia maju menyerang sambil bersyair,

يَا حَبَــــَّذا الْجَنـَّــةُ وَاقْتِرَابـُــــهَا       طَــــيِّبـــَةً وَبـَـارِدًا شَرَابـُــــــهَا والرومُ رُوْمٌ قَدْ دَنَا عَذَابُها                 كَــــافِرَةٌ بَعِيْـــدَةٌ أَنْسَابُــهَا علَيَّ إذْ لاَقَيْتُهَا ضِرَابُــــهَا

"Duhai, alangkah dekatnya Jannah itu                     
tempat yang nyaman dan dingin minumannya
Bangsa Romawi telah dekat siksanya                       
dan mereka orang kafir yang jauh nasabnya
Bila mereka di hadapanku maka wajib kuhabisi"

Ibnu Hisyâm rahimahullah meriwayatkan dari sejumlah Ulama yang dianggapnya tsiqah, bahwa Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu memegang panji-panji dengan tangan kanannya, akan tetapi kemudian ditebas oleh musuh hingga putus. Dia pun lantas memegangnya dengan tangan kirinya yang kemudian juga ditebas oleh musuh hingga putus. Maka didekaplah panji-panji itu dengan pangkal lengannya hingga iapun gugur dalam usia 33 tahun. Karena pengorbanannya tadi, Rasulullah saw kemudian mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah mengganti kedua tangannya dengan sepasang sayap, sehingga ia bebas terbang sesukanya di dalam Jannah.

Setelah Ja’far Radhiyallahu anhu terbunuh, panji-panji diambil alih oleh Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu dan ia pun menerjang maju. Beberapa saat ia berusaha turun dari kudanya, akan tetapi dihinggapi keraguan, lalu ia bersyair untuk menguatkan tekadnya dan meniru kedua sahabatnya yang telah gugur. Ibnu Rawâhah Radhiyallahu anhu akhirnya juga turun dari kudanya, dan ia dihampiri sepupunya yang membawa sepotong tulang dengan menyisakan sedikit daging, seraya berkata, “Makanlah agar kekuatanmu pulih!” Ibnu Rawâhah pun mengambil daging tadi dan memakannya. Namun baru sekali menggigitnya, ia mendengar suara hiruk-pikuk dari arah depanya, dan katanya, “Engkau masih di dunia!” Mendengar seruan itu, serta merta dilemparlah daging itu. Sambil menghunus pedangnya, ia maju lagi dan terus berperang hingga syahid.

Setelah terbunuhnya ketiga panglima tadi, panji-panji diambil oleh Tsâbit bin Arqam al- ‘Ajlani seraya berseru, “Wahai kaum Muslimin, tunjuklah seseorang agar memimpin kalian!” “Engkau saja !” sahut mereka. “Tidak, aku tidak akan menerimanya!” jawab Tsabit. Akhirnya mereka sepakat untuk menunjuk Khâlid ibnul Walîd sebagai panglima.

Begitu Khâlid mengambil panji-panji itu, dia pun berusaha menahan serangan musuh dan menyelamatkan sisa-sisa pasukan kaum Muslimin. Meskipun sudah menolaknya, seluruh pasukan tetap mendaulatnya. Kemudian, beliau yang selama ini terkenal dengan kemahirannya dalam berperang, melakukan strategi perangnya. Ia menilik kebutuhan pasukan muslim merupakan suatu siasat yang dapat menakuti pasukan Romawi. Tujuannya adalah menyelamatkan pasukan muslim dari kehancuran dengan menarik mundur.

Yang pertama kali ia lakukan adalah menyatukan dan menyusun kembali barisan pasukan setelah sempat porak-poranda karena menyaksikan para komandannya jatuh berguguran dan adanya kevakuman komando.

Pada saat itulah, Khalid mengambil kesempatan untuk menyusun siasat perangnya. Anak buah Khalid yang jumlahnya tidak sedikit itu dipencar-pencar sedemikian rupa dalam suatu garis memanjang. Yang dikerahkan untuk maju adalah dari barisan belakang, yang berada di garis depan diubah ke garis belakang, dan sebaliknya. Sementara, sayap kanan dialihkan ke sayap kiri dan sayap kiri dialihkan ke sayap kanan.

Keesokan paginya pasukan Romawi sudah bangun, mereka merasa ada kesibukan dan hiruk-pikuk yang cukup menggentarkan perasaan. Mereka beranggapan bahwa bala bantuan dari Muhamad saw telah di datangkan. Kalau pada hari pertama jumlah 3.000 orang itu saja telah membuat  kekacauan besar terhadap pasukan Romawi dan jumIah mereka yang terbunuh juga tidak sedikit -meskipun tak dapat mereka pastikan- konon apa lagi yang dapat mereka lakukan dengan bala bantuan yang baru didatangkan itu dan tidak ada orang yang mengetahui berapa besarnya!

Hasil dari strategi itu ialah pihak Romawi menjauhkan diri dari serangan Khalid. Mereka senang kalau Khalid tidak sampai menyerang mereka. Namun, sebenarnya, Khalid lebih senang lagi. Ia dapat menarik mundur pasukannya dan kembali ke Madinah, setelah mengalami suatu pertempuran yang tidak membawa kemenangan untuk pasukan muslim maupun lawan mereka.

Menurut Ibnu Ishaq rahimahullah, ketika ketiga panglima tadi terbunuh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu berada di Madînah menceritakan kepada para sahabatnya:

 أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدُ بنُ حَارِثَةَ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا؛ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا؛

"panji-panji dibawa oleh Zaid bin Hâritsah, lalu ia bertempur hingga mati syahid; kemudian panji-panji dibawa oleh Ja’far, dan ia bertempur hingga mati syahid); kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam hingga raut muka kaum Anshâr pun berubah. Mereka mengira, sesuatu yang tidak disukai telah terjadi pada diri Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu . Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata :

 ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُاللهِ بنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا، ثم قال: لَقَدْ رُفِعُوا إِلَيَّ فِي الجَنَّةِ، فِيمَا يَرَى النَّائِمُ، عَلَى سُرُرٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَرَأَيتُ فِي سَرِيرِ عَبْدِاللهِ بنِ رَوَاحَةَ اِزْوِرَارًا عَنْ سَرِيرَيْ صَاحِبَيْهِ، فَقُلْتُ: عَمَّ هَذَا؟ فَقِيلَ لِي: مَضَيَا وَتَرَدَّدَ عَبْدُاللهِ بَعْضَ التَّرَدُّدِ، ثُمَّ مَضَى

Kemudian panji-panji diambil oleh Abdullâh bin Rawâhah, dan ia bertempur hingga mati syahid. Lalu Nabi n bersabda, “Mereka semua ditampakkan kepadaku sedang berada di atas dipan-dipan emas seperti dalam mimpi. Dan kulihat dipan Ibnu Rawâhah agak jauh posisinya dari dipan kedua sahabatnya, maka kutanyakan mengapa bisa begitu? Dan dikatakan kepadaku bahwa kedua sahabatnya maju tanpa ragu, sedangkan Ibnu Rawâhah tampak ragu-ragu, baru kemudian ia maju."

Dalam Shahîhul Bukhâri disebutkan, "Setelah Ibnu Rawâhah terbunuh, Rasûlullâh mengatakan panji-panji kemudian diambil oleh salah satu pedang Allâh  (maksudnya Khâlid ibnul Walîd Radhiyallahu anhu)  lalu Allâh Azza wa Jalla memenangkan mereka".

Setelah mengetahui Ja’far Radhiyallahu anhu dan sahabat-sahabatnya menemui syahid, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk Asma’ binti Umeis Radhiyallahu anha, istri Ja’far. Ketika itu Asma’ Radhiyallahu anha telah menyiapkan adonan roti, memandikan anak-anak Ja’far dan mendandaninya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil anak-anaknya tersebut dan menciuminya sambil bercucuran air mata. Asma’ bertanya, “Biarlah ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu. Apa yang membuatmu menangis, wahai Rasûlullâh ? Adakah engkau mendengar sesuatu tentang Ja’far dan sahabat-sahabatnya?” “Ya, mereka telah gugur hari ini,” jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mendengar berita dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Asma’ pun berteriak penuh kedukaan, hingga kaum wanita datang mengerumuninya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas keluar dan kembali ke rumahnya. Beliau pun berseru, “Jangan lupa untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja’far, sebab mereka sedang disibukkan dengan kematian Ja’far”.

Ibnu Ishâq rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad bin Ja’far, dari Urwah bin Zubair, katanya, “Ketika pasukan kaum Muslimin telah mendekati perbatasan Madînah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri mereka bersama kaum Muslimin. Anak-anak kecil pun berlarian menyambut mereka, sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut masuk bersama pasukan dengan mengendarai untanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar anak-anak digendong kembali, dan supaya putera Ja’far dibawa kehadapannya. Maka didatangkanlah Abdullâh bin Ja’far yang kemudian digendong oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Orang-orang lantas menaburkan pasir ke arah pasukan sambil meneriaki mereka sebagai orang-orang yang lari dari jihad fi sabilillah! Akan tetapi Rasûlullâh menyanggah ucapan tersebut dengan mengatakan, “Mereka bukanlah orang-orang yang melarikan diri, namun mereka akan balik menyerang insya Allâh”.

Mereka hanya mencemooh dan menaburkan pasir kepada orang-orang yang lari dan meninggalkan pasukan saat di medan perang. Salah satu dari mereka yang lari adalah Abdullâh bin Umar, sebagaimana penuturannya berikut: “Aku pernah ikut dalam suatu ekspedisi militer yang dikirim Rasûlullâh. Tatkala orang-orang lari berhamburan, aku ikut lari bersama mereka. Kami lantas saling bertanya,’Apa yang harus kita lakukan?’ Kita telah lari dari medan perang dan mendapat murka Allâh?,’ lalu kami berkata,’Andai saja kita masuk ke kota Madinah dan bermalam di sana tanpa terlihat seorang pun,’ lalu setelah kami masuk, kami berkata,’Alangkah baiknya jika kita menyerahkan diri kepada Rasûlullâh. Kalau memang kita bisa bertaubat, maka kita akan tinggal di sana. Namun jika kita tidak bisa bertaubat, maka kita akan pergi kembali,’ maka kami menghampiri Rasûlullâh menjelang shalat Subuh. Usai shalat kami menghadap beliau seraya berkata,’Wahai, Rasûlullâh! Kami adalah orang-orang yang melarikan diri,’ beliau lantas menatap kami dan bersabda,‘Justru kalian adalah orang-orang yang menyerang musuh,’  maka kami mendekati beliau dan mencium tangannya. Kata kami, ‘Wahai, Rasûlullâh! Mulanya kami hendak melakukan ini dan itu…,, namun beliau menyanggah,‘Akulah pasukan induk kaum Muslimin’.”

Perang ini layak disebut sebagai peperangan yang tidak akan terjadi lagi, karena dalam peperangan itu pasukan kaum muslimin, dengan jumlah yang sedikit berhadapan dengan sekutu Romawi yang berjumlah hampir 70 kali lipat. Dalam peperangan itu kaum muslimin bukan hanya berhasil melawan kekuatan besar sebuah negara adidaya, tetapi  juga berhasil mengecilkan nyali musuh-musuh Islam. Betapa tidak, waktu itu bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang tak memiliki harga diri di mata bangsa Romawi. Namun kali ini, dengan keberanian dan keperkasaannya mereka sanggup melawan imperium Romawi bahkan dengan korban yang sangat sedikit di pihak pasukan muslim. Implikasi dari perang Mu’tah itu, kaum muslimin naik pamornya, dan semakin diperhitungkan kekuatannya karena berani melawan kekuatan yang selama ini mencengkeramnya.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata : “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang dijalan Allah Azza wa Jalla, dengan kekuatan 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin. Padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak”.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah 2:249)

Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal, peperangan Mu’tah sangat sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid rahimahullah menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang tersisa, hasil buatan Yaman.

Khalid radialahu anhu berkata, “Telah patah Sembilan pedang ditanganku, tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman".

Menurut Imam Ibnu Ishaq seorang Imam dalam ilmu sejarah Islam, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 Sahabat saja. Secara terperinci yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam Zaid bin Haritsah al-Kalbi, Mas’ud bin al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah al-‘Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh radhiyallahu ‘anhum.

Sementara dari kalangan kaum anshar, ‘Abdullah bin Rawahah, ‘Abbad bin Qais al-Khozarjayyan, al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin ‘Amr bin Athiyyah bin Khansa al-Mazini radhiyallahu ‘anhum.

Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam rahimahullah dengan berlandaskan keterangan az-Zuhri rahimahullah, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Ditambah ‘Amr bin ‘Amir putra Sa’d bin Tsa’labah bi Malik bin Afsha. Mereka juga berasal dari kaum anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa.

Berakhirnya perang Mu’tah membuat nama Islam dan bangsa Arab menjadi terangkat. Pamor Islam menjadi mencuat dan ditakuti oleh lawan. Hal ini terbukti ketika pasca perang banyak suku-suku yang berbondong-bondong masuk Islam. Mereka demikian kagum dengan kekuatan dan keberanian umat Islam. Betapa tidak, pasukan muslim berani melawan imperium Romawi dan berhasil melakukan perlawanan demikian gigih. Berarti kekuatan Islam perlu diperhitungkan dan hal ini menarik hati sebagian dari mereka untuk memeluk Islam.

Keberanian dan kepahlawanan para sahabat dalam perang Mu’tah benar-benar membuat kafir Quraisy menjadi terheran heran dan seperti tak percaya. Hal ini karena di samping jumlah kaum muslimin yang masih sedikit, dan kaum kafir Quraisy mengetahui betul kekuatan kaum muslimin, tetapi berani memerangi pasukan Romawi. Kekuatan kaum muslimin yang demikian kokoh inilah yang mendorong tersebarnya Islam ke seluruh jazirah Arab. Perang Mu’tah benar-benar memberi moral dan spirit umat Islam untuk menjadi bangsa yang besar dan berpengaruh di dunia.