Amr Bin Al Ash

Adalah Amr bin Ash bin Wail bin Hisyam bin Said bin Sahm al-Qurasyi as-Sahmi. Di antara jasa besarnya adalah ketika Umar bin Khattab mengamanatinya untuk menaklukkan Mesir, dan dia berhasil menunaikan amanat tersebut. Amr merupakan salah seorang pahlawan bangsa Arab yang sangat terkenal, sekaligus seorang politisi yang cemerlang. Terkenal dengan kecerdasan dan kepintarannya mengatur siasat.

Riwayat Amr bin al-Ash adalah seorang pedagang yang biasa bersafar ke Syam, Yaman, Mesir, dan Habasyah. Amr bin al-Ash memiliki bakat alamiah yang komplit, seorang penunggang kuda yang mahir, termasuk di antara kesatrinya kaum Quraisy, negosiator ulung, dan ia juga seorang penyair yang puitis dan fasih bahasanya. Tidak heran, mengapa orang-orang Quraisy mengirimnya untuk melobi an-Najasyi agar mengembalikan orang-orang Mekah yang hijrah ke Habasyah.

Amr bin al-Ash masuk Islam pada tahun 8 H setelah kegagalan Quraisy dalam perang Ahzab dan enam bulan sebelum penaklukkan Kota Mekah. Saat itu ia datang bersama Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah ke Kota Madinah. Ketika tiga orang ini menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah menatap ketiganya, lalu bersabda, “Mekah telah memberikan putra terbaiknya untuk kalian (umat Islam).”

Amr bin al-Ash mengatakan, “Pada saat Allah menganugerahkan hidayah Islam di hatiku, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam".

Aku mengatakan, ‘Julurkanlah tangan Anda, aku akan membaiat Anda’. Rasulullah pun menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu kutahan tanganku".
Rasulullah saw bertanya, "Ada apa wahai Amr?"
Kujawab, "Aku ingin Anda memberikan syarat kepadaku".
Rasulullah mengatakan, "Apa syarat yang kau inginkan?".
Aku menjawab, "Agar dosa-dosaku diampuni".

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah engkau ketauhi, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya?, Demikian juga hijrah menafikan kesalahan-kesalahan yang telah lalu? Dan juga haji menyucikan hilaf dan dosa terdahulu?’ (HR. Muslim).”

Di masa keislamannya, Rasulullah dekat kepadanya dan mendidiknya dengan pendidikan tauhid yang murni. Rasulullah tahu, Amr adalah orang yang istimewa, terkenal dengan keberanian dan bakat-bakat lainnya.

Suatu hari, sebuah kabar tak sedap terdengar Rasulullah SAW. Kabar buruk itu datang dari  Bani Qudha’ah yang menetap di sebuah daerah bernama Dzatus Salasil.  Penduduk yang tinggal di wilayah itu bersekutu dengan pasukan Romawi alias Bizantium untuk menyerang umat Islam yang berbasis di kota Madinah. Kemudian  Rasulullah saw mengutus kepadanya seorang utusan yang membawa pesan, “Bawalah pakaian dan senjatamu, lalu temuilah aku.”

Amr mengatakan, “Lalu aku menemui beliau yang saat itu sedang berwudhu. Beliau menatapku lalu menganguk-anggukkan kepalanya. Setelah itu beliau bersabda,

إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ عَلَى جَيْشٍ فَيُسَلِّمَكَ اللَّهُ وَيُغْنِمَكَ وَأَرْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ رَغْبَةً صَالِحَةً

“Sesungguhnya aku hendak mengutusmu berperang bersama pasukan. Semoga Allah menyelamatkanmu, memberikan ghanimah, dan aku berharap engkau mendapat harta yang baik.”

Amr menanggapi, “Wahai Rasulullah, aku masuk Islam bukan untuk mencari harta, akan tetapi aku berislam karena aku mencintai agama ini. Dan menjadi salah seorang yang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sahabatmu)".

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَمْرُو؛ نِعْمَ المَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Wahai Amr, sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki orang yang shaleh.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no.17798 dan Hakim no.2926).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عَمْرَو بْنَ العَاصِ مِنْ صَالحِي قُرَيْشٍ

“Sesungguhnya Amr bin al-Ash adalah di antara orang-orang yang baik dari kalangan Quraisy.” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya no.3845).

Dalam riwayat Hakim dalam Mustadrak Rasulullah mempersaksikan bahwa Amr bin al-Ash adalah orang yang beriman bukan seorang laki-laki yang munafik.

ابْنَا الْعَاصِ مُؤْمِنَانِ هِشَامٌ وَعَمْرٌو

“Dua orang anak laki-laki al-Ash adalah orang yang beriman, yaitu Hisyam dan Amr.” (HR. Hakim no.5053 dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 8029)

Ini adalah persaksian dari manusia yang paling mulia, yang perkataannya adalah wahyu yang tidak didustakan, atas keimanan Amr bin al-Ash. Rasulullah saw sangat mencintai dan mengagumi kemampuan Amr bin al-Ash, terbukti dengan beliau mengangkatnya sebagai pimpinan pasukan perang Dzatu Salasil dan mengangkatnya sebagai amir wilayah Oman sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

"Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia taat kepada Allah. Dan barangsiapa durhaka kepadaku berarti dia durhaka kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin yang aku tunjuk maka dia taat kepadaku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin yang aku tunjuk berarti dia durhaka kepadaku" HR. Imam Bukhari

Dzatus Salasil adalah saksi ketaatan kaum Muslimin. Dzatus Salasil adalah nama sebuah tempat yang bisa ditempuh dalam 10 hari perjalanan kaki. Letaknya berada di bagian utara Madinah. Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadits Al-Nabawi, Dzatus Salasil merupakan sumur Bani Judzam. Sekarang, Dzatu Salasil terletak di barat laut Kerajaan Arab Saudi, di timur pelabuhan al-Wajh dan Duba,

Rasulullah SAW lalu membelitkan bendera putih di kepala Amru dan menyerahkan bendera hitam kepadanya. Nabi lalu melepas Amr bersama 300 orang Muhajirin dan Anshar.  Menurut Abu Muhammad Harist, sebanyak 30 orang di antara tentara Islam itu  adalah pasukan berkuda. Rasulullah menyarankan agar mereka meminta tolong kepada suku Bali, Udhra, dan Balqain.

Amru bin Ash beserta pasukannya melangkah ke medan Perang Dzatus Salasil. Pertempuran itu terjadi pada Jumadil Akhir tahun ke-8 Hijriah. ‘’Beberapa hari setelah kembalinya pasukan Muslimin dari  Perang Mu’tah ke Madinah,’’ ujar Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah.

Bukan tanpa alasan Rasulullah menugaskan Amru untuk memimpin pasukan. Padahal, kala itu, ada Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab yang lebih senior dan mumpuni.  Ternyata, Amru adalah seorang tentara Muslim yang nenek moyangnya berasal dari daerah itu.

‘’Hal itu menunjukkan bolehnya mengangkat pimpinan yang kurang keutamaannya dari yang lebih utama, jika yang kurang keutamaannya itu memiliki sifat-sifat istimewa yang berkaitan dengan tugas itu,’’ tutur Dr Akram.

Pasukan tentara Muslim pun berjalan menuju medan perang dengan berjalan kaki pada malam hari. Mereka  beristirahat sambil mengintai musuh pada siang hari. Amru sengaja menerapkan taktik itu agar stamina pasukannya tetap kuat. Selain itu, pergerakan mereka pada malam hari tak diketahui musuh.

Saat mendekati wilayah musuh, Amru mendapat laporan bahwa kekuatan pasukan lawan begitu besar. Ia pun mengambil langkah cepat dengan memohon penambahan pasukan kepada Rasulullah.  Nabi SAW segera mengirim 200 orang tentara, termasuk di dalamnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

"Pasukan bantuan itu dipimpin Abu Ubaidah Amin bin al Jarrah,’’ ungkap Dr Akram. Menurut Amir Asy-Sya’bi (wafat 103 H), Abu Ubaidah ditempatkan sebagai penanggung jawab rombongan Muhajirin, sedangkan Amru menjadi pimpinan kaum Badui. Kedua pasukan yang dikirimkan dari Madinah pun bertemu.

Sempat terjadi perselisihan ketika Abu Ubaidah hendak maju memimpin pasukan. Namun Amru menolak kepemimpinan Abu Ubaidah. ‘’Engkau adalah komandan pasukanmu ini, sedangkan Abu ‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin,” tutur sebagian pasukan.

Amr berkata, ‘’Kalian adalah bala bantuan yang saya minta.”

"Tahukah engkau wahai Amru, yang ditetapkan Rasulullah terakhir adalah, ‘Jika engkau sampai kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling menurut (kerja sama).’ Dan apabila engkau tidak menaatiku, maka aku tetap akan menaatimu,’’ kata Abu Ubaidah.

Tongkat komando pun sepenuhnya berada di tangan Amr bin Ash. Abu Ubaidah sadar bahwa pasukan tentara Muslim tak akan kuat jika di dalamnya terjadi perpecahan.

Malam begitu dingin. Pasukan tentara Muslim menggigil kedinginan. Mereka pun berinisiatif untuk menyalakan api unggun. Mengetahui pasukannya akan menyalakan api, Amru segera melarangnya.

"Siapapun yang berani menyalakan api, saya akan lemparnya  ke dalam api itu,’’ cetus Amru.

Pasukan tentara Muslim pun kaget mendengar jawaban itu. Sejumlah tokoh Muhajirin  berusaha untuk membujuk Amr agar mengizinkan pasukan menyalakan api.

“Bukankah kalian diperintah untuk mendengar dan taat kepadaku?’’ Tanya Amru kepada tokoh Muhajirin itu.

"Ya, benar,’’ jawab kaum Muhajirin.

“Maka kerjakanlah!, ujar Amr singkat.

Umar bin Khattab sempat marah mendengar sikap Amru itu. Umar berniat untuk melabrak Amru.  Untunglah Abu Bakar segera mengingatkannya, "Wahai Umar, sesungguhnya Rasulullah tidak akan mengangkatnya menjadi panglima, melainkan karena keahliannya dalam berperang.’’ Umar pun terdiam.

Dinginnya udara malam menusuk tulang. Tak ada api unggun yang dinyalakan pasukan tentara Muslim. Mereka menaati perintah komandan perang. Ketaatan mereka sungguh luar biasa. Dengan penuh keikhlasan mereka melewati malam dengan tubuh yang menggigil kedinginan.

Pada malam yang dingin itu Amr mimpi basah, "Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku,’’ ujarnya seperti tercantum dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny itu.

Setelah menyelesaikan shalat shubuh, maka pasukan tentara Muslim pun mengobrak-abrik pasukan tentara musuh yang lemah. Setelah bertempur sekitar satu jam, tentara musuh kocar-kacir diserbu pasukan yang dipimpin Amr. Awalnya, kaum Muslimin hendak mengejar mereka, namun Amr melarangnya.

"Mengapa Amr melarang kita untuk mengejar mereka, padahal kita nyaris memenangkan peperangan?’’ Tanya sejumlah pasukan. Keputusan Amr itu kembali menuai protes dari Umar bin Khattab.

"Bagaimana mungkin dia memerintahkan kita untuk berkumpul padahal pasukan kita sudah dekat sekali dengan kemenangan?" ujar Umar.

Lagi-lagi Abu Bakar menenangkan Umar. "Wahai Umar, Rasulullah tidak akan mengangkatnya menjadi panglima, melainkan karena keahliannya berperang. Jika kau lebih baik dari Amr, maka Rasulullah pastilah akan memilihmu.” Umar pun terdiam.

Setelah memenangkan peperangan, Amr mengutus Auf bin Malik al Asyja’i menemui Rasulullah saw untuk menyampaikan berita tentang apa yang terjadi di Dzatus Salasil dan melaporkan kondisi pasukan. Auf  pun menjelaskan semua yang terjadi di tempat tersebut, termasuk kebijakan Amr yang kontroversial selama di medan perang.

Begitu pasukan Amr tiba di Madinah, Rasulullah berbincang dengan Amr. Nabi SAW mengklarifikasi kabar yang didengarnya dari Auf bin Mali, "Mengapa engkau melarang pasukanmu menyalakan api unggun?’’ Tanya Nabi SAW.

"Aku tak setuju pasukanku menyalakan api, seperti pasukan musuh, karena khawatir mereka akan melihat betapa sedikitnya pasukan Muslimin," jawab Amru.

Rasulullah saw juga menanyakan sikapnya yang melarang pasukan kaum Muslimin mengejar musuh yang telah dilemahkan. "Wahai Rasulullah, aku khawatir pasukan musuh mempunyai bala bantuan yang bersembunyi di balik bukit. Sehingga mereka akan balik menyerang kami."

Mendengar penjelasan itu, Rasulullah saw tersenyum dan memuji tindakan Amr yang sangat berhati-hati itu. Nabi SAW kembali bertanya, "Mengapa engkau melaksanakan shalat bersama pasukanmu, sedangkan dirimu sedang junub?’’

“Sesungguhnya saya mendengar Allah berfirman, ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian,’’ (An-Nisa: 29). Mendengar hal tersebut, Rasulullah saw tertawa dan tidak mengomentarinya.

Perang Dzatus Salasil mengajarkan umat Islam untuk taat kepada pemimpin. Kisah itu juga menggambarkan betapa ketaatan dan kerja sama tim yang baik akan membuahkan hasil. Kewaspadaan dan kehati-hatian juga akan menghindarkan umat dari kesalahan dan kekalahan.

Pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, Amr bin al-Ash turut serta dalam memerangi orang-orang murtad. Setelah itu Abu Bakar mengangkatnya sebagai panglima salah satu pasukan yang diberangkatkan menuju wilayah Syam. Lalu ia bergabung dengan Khalid bin Walid dalam Perang Yarmuk. Kemudian ia merampungkan penaklukkan wilayah Syam. Melalui pemimpin ulung ini, wilayah Gaza, Yafa, Rafah, Nabulus, dll. berhasil dikuasai kaum muslimin.

Pada masa Umar bin Khattab, ia dipercaya memimpin wilayah Palestina. Kemudian Umar memerintahkannya berangkat menuju Mesir untuk menghadapi pasukan Romawi. Umar sangat mengagumi kecerdasan yang dimiliki Amr bin al-Ash, sampai-samapi ia memujinya dengan mengatakan, “Tidak pantas, bagi Abu Abdullah (Amr bin al-Ash) berjalan di muka bumi ini kecuali sebagai seorang pemimpin.” (Riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 46:155).

Tibalah waktu dimana Umar bin Khattab memerintahkan Amr untuk berangkat ke Mesir memerangi orang-orang Romawi. Menyerang negara adidaya ini, Amr hanya diberi bekal 4000 orang pasukan yang berangkat bersamanya. Tanpa perasaan gentar dan takut, pasukan pun bertolak menuju ke tanah para Firaun itu.

Amirul mukminin, Umar bin Khattab tetap memantau pasukan ini, ia senantiasa meneliti kabar-kabar tentang Romawi di Mesir dan juga senantiasa berdiskusi dengan pembesar sahabat. Setelah beberapa diskusi dan mendengar kabar-kabar tentang Romawi, Umar khawatir dengan pasukan Amr, khawatir mereka tidak mampu menghadapi pasukan Romawi yang begitu kuat dan banyak jumlahnya. Akhirnya amirul mukminin menulis surat kepada Amr,

إذا بلغتكَ رسالتي قبل دخولك مصر فارجع، وإلَّا فسِرْ على بركة الله

"Apabila suratku sampai kepadamu sebelum engkau memasuki Mesir, maka kembalilah! Tetapi jika engkau sudah memasukinya, lanjutkanlah dengan keberkahan dari Allah"

Akhirnya surat tersebut sampai ke tangan Amr yang kala itu sudah memasuki wilayah Arisy (pinggiran Mesir pen.). Amr bertanya kepada pasukannya, “Apakah kita sudah memasuki Mesir atau masih berada di wilayah Palestina?” Pasukannya menjawab, “Sekarang kita sudah di Mesir.” Lalu Amr mengatakan, “Jika demikian kita lanjutkan perjalanan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin.”

Pemimpin yang cerdik dan pemberani ini membawa pasukannya menaklukkan kota demi kota di wilayah Mesir. Dimulai dari Kota Farma, kemudian Belbis, dan Ummu Danain. Setelah itu sampailah Amr di kota besar Iskandariyah. Di kota ini terdapat 50.000 orang pasukan Romawi.

4000 pasukan yang tenaganya telah tercurah dalam beberapa peperangan sebelumnya, dengan gagah berani mengepung Kota Iskandariyah yang memiliki pasukan yang besar. Di tengah pengepungan, tersiar kabar bahwa Raja Romawi di Konstantinopel wafat dan digantikan dengan adiknya. Sang adik yang tidak banyak mengetauhi tentang konflik di Mesir ini, memandang tidak ada celah untuk mengalahkan umat Islam. Ia memerintahkan perwakilannya di Mesir, Raja Muqauqis, agar mengikat perjanjian damai dengan umat Islam.

Dalam perjanjian damai itu, tersebutlah beberapa poin berikut ini: (1) Setiap orang menyerahkan dua dinar, kecuali orang tua dan anak-anak, (2) Orang-orang Romawi pergi dengan harta dan barang-barang mereka dari Kota Iskandariyah, (3) Umat Islam menghormati gereja-gereja Kristiani saat memasuki kota, dan syarat lainnya. Setelah itu, Amr mengirimkan kabar gembira ke Madinah bahwa Mesir sudah jatuh ke tangan umat Islam.

Orang-orang Mesir menyambut gembira kedatangan umat Islam, hal itu dikarenakan mereka mengetahui keadilan umat Islam dan mereka bebas dari kezaliman dan sifat kasar orang-orang Romawi. Amr bin al-Ash berkata kepada penduduk Mesir, “Wahai penduduk Mesir, sesungguhnya Nabi kami telah mengabarkan bahwa Allah akan menaklukkan Mesir untuk umat Islam, dan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mewasiatkan kami agar berbuat baik kepada kalian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا افْتَتَحْتُمْ مِصْرَ فَاسْتَوْصُوا بِالْقِبْطِ خَيْرًا؛ فَإِنَّ لهُمْ ذِمَّةً وَرَحِمًا

‘Jika kalian menaklukkan Mesir, maka aku wasiatkan agar kalian berbuat baik kepada orang-orang Qibthi ini. Mereka berhak atas perlindungan dan kasih sayang’.” (HR. Muslim no.2543).

Selama masa-masa memimpin Mesir, Amr sangat mencintai dan dicintai rakyatnya. Ia memperlakukan mereka dengan adil dan penuh hikmah. Pada masanya juga Mesir mengalami kemajuan pembangunan, di antaranya perencanaan pembangunan Kota Fustat (sekarang disebut Kairo).

Pada tahun 17 Hijriah, khalifah Umar bin Khattab bersama segenap bala tentara berangkat menuju daerah Syiria. Ketika rombongan sang khalifah singgah di sebuah daerah bernama Saragh, datanglah para panglima perang memberikan kabar bahwa daerah Syiria sedang dilanda wabah Pes.

“Kumpulkanlah segenap sahabat dari kalangan pembesar kaum Muhajirin.”

Maka, di antara para pembesar Muhajirin ada yang berkomentar: “Wahai Khalifah, engkau hendak berangkat ke Syiria karena Allah, dan bagi kami tak mungkin wabah seperti itu menyurutkan langkahmu.”

Sedangkan, sebagian yang lain menyerukan: “Wabah itu hanyalah musibah yang pasti akan berlalu, kita pasti mampu berangkat ke sana.”

Kemudian sang khalifah Umar bin Khattab pun mengumpulkan segenap sahabat dari kalangan pembesar kaum Anshar. Uniknya, para pembesar kaum Anshar pun sepakat dengan pendapat pembesar kaum Muhajirin untuk tetap berangkat ke negara Syiria.

Tak beberapa lama, Khalifah Umar bin Khattab berseru, “Kumpulkanlah segenap pembesar kaum Muhajirin dari kalangan suku Quraisy.”

Maka, para pembesar kaum Muhajirin dari suku Quraisy pun berpendapat, “Wahai Khalifah, kita harus kembali sungguh wabah ini adalah musibah yang amat besar.”

Setelah mendengar seluruh pendapat para sahabat, khalifah Umar bin Khattab pun berseru di hadapan khalayak ramai: “Wahai Manusia, aku memutuskan untuk kembali maka kembalilah semuanya.”

Sontak, sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah pun berdiri seraya berkata, “Wahai Khalifah, apakah engkau ingin lari dari takdir Allah?”

Umar bin Khattab pun menimpali, “Sungguh kami lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Apakah engkau tahu seandainya ada seorang penggembala yang diberi pilihan untuk memilih di antara dua bukit, yang satu subur dan yang satu lagi kering kerontang. Bukankah seorang penggembala yang memilih bukit yang subur dan seorang penggembala yang memilih bukit yang kering kerontang juga atas izin Allah?”

Esok harinya, Abdurrahman bin Auf yang tak sempat mengikuti musyawarah bersama khalifah Umar bin Khattab pun menghadap untuk memberikan pendapatnya

“Wahai Khalifah, aku memiliki pendapat atas kejadian ini.”

“Sungguh engkau wahai Abdurrahman bin Auf adalah seorang yang terpercaya, Apakah yang ingin engkau utarakan?” Umar bin Khattab mempersilakan sahabatynya.

“Wahai Khalifah, aku mendengar Rasulullah bersabda ‘Ketika kalian mendengar sebuah wabah menyebar di suatu negeri maka janganlah kalian masuk kedalamnya dan ketika wabah tersebut berada di daerah kalian maka jangan kalian lari darinya,” Abdurrahman bin Auf menjelaskan dengan mengutip Nabi saw.

Umar bin Khattab pun sangat gembira mendengar jawaban Abdurrahman bin Auf, “Segala puji bagi Allah, mari kita kembali semua.”

Sekembalinya rombongan khalifah Umar bin Khattab tersiar kabar menyebarnya wabah Pes yang dijuluki dengan wabah Amwas pada tahun 18 Hijriah. Nama Amwas sendiri diambilkan dari sebuah daerah di sekitar negara Palestina yang bernama desa Amwas sekitar enam mil dari kota Ramalah yang menjadi titik awal menyebar wabah ganas tersebut.

Wabah Pes Amwas ini menyebar hingga ke kota-kota di negara Syiria. Di antara para sahabat yang wafat akibat wabah ini adalah sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Yazid bin Abu Sufyan, Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, Utbah bin Suhail, dan masih banyak lagi.

Maka wabah ini kian mengganas hingga didapuklah sahabat Amr bin Ash sebagai gubernur Syiria. Di hari pertamanya menangani wabah ganas tersebut, Amr bin Ash berseru:

“Wahai manusia, kesengsaran akibat wabah ini telah terjadi terus menerus seperti halnya bara api yang kian membakar seluruh apa yang ada. Maka, pergilah kalian semua ke gunung-gunung berpisah-pisahlah kalian di sana hingga Allah mengangkat wabah ini dari kita semua.”

Maka, seluruh warga pun tercerai berai mencari tempat yang baik untuk menetap. Tak lama kemudian, sirnalah wabah tersebut.

Amr bin al-Ash wafat pada tahun 43 H atau 663 M, saat itu umurnya lebih dari 90 tahun. Ia telah meriwayatkan 39 hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika ia sedang sakit yang mengantarkannya kepada wafat, anaknya Abdullah bin Amr datang menemuianya. Abdullah melihat ayahanda tercinta sedang menangis, lalu ia mengatakan, “Wahai ayahanda, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar gembira kepadamu, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar gembira kepadamu.”

Kemudian Amr menghadapkan wajahnya dan mengatakan, “Aku mengalami tiga fase perjalanan hidup; dahulu aku adalah orang yang sangat membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sangat senang apabila aku berhasil menangkapnya lalu membunuhnya dengan tanganku. Seandainya aku wafat dalam fase ini, pastilah aku menjadi penduduk neraka.

Ketika Allah menghadirkan kecintaan terhadap Islam di dalam hatiku, aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kukatakana kepada beliau, ‘Julurkanlah tangan Anda, aku akan membaiat Anda’. Rasulullah pun menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu kutahan tanganku –sebentar-.

Beliau bertanya, ‘Ada apa wahai Amr?’

Kujawab, ‘Aku ingin Anda memberikan syarat kepadaku’.

Rasulullah mengatakan, ‘Apa syarat yang kau inginkan?’

Aku menjawab, ‘Agar dosa-dosaku diampuni.’

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah engkau ketauhi, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Demikian juga hijrah menafikan kesalahan-kesalahan yang telah lalu? Dan juga haji menyucikan hilaf dan dosa terdahulu?’

Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mataku senantiasa membayangkan dirinya. Aku segan menahan pandanganku –menatap matanya saat matanya menatap mataku- yang demikian, karena aku sangat menghormatinya. Kalau sekiranya aku dipinta untuk menjelaskan fisik beliau, -mungkin- aku tidak mampu, karena aku tidak pernah menyorotkan mataku kepadanya karena rasa hormatku untuknya. Jika aku wafat dalam keadaan demikian, aku berharap aku termasuk penduduk surga.

Kemudian terjadilah suatu perkara, yang aku tidak tahu bagaimana keadaanku kala itu. Tidak bersamaku angin yang berhembus demikian juga api. Saat kalian menguburkanku dan kalian lempari aku dengan tanah pekuburan, kemudian kalian berdiri sesaat di pemakamanku, dan aku menunggu apa yang aku akan jawab dari pertanyaan utusan (malaikat) Rab-ku.” (Riwayat Muslim dalam kitab al-iman, no.121)

Demikianlah Amr bin al-Ash, seorang sahabat yang mulia, seseorang yang memiliki jasa besar terhadap penyebaran dan kekuatan Islam juga terhadap umat Islam. Seorang yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah setelahnya. Semoga Allah meridhai beliau.