Perang Tabuk

Pada September 629 M, pasukan Islam gagal mengalahkan pasukan Bizantium (Romawi Timur) dalam pertempuran Mu'tah. Mereka yang menganggap hal ini sebagai tanda melemahnya kekuatan umat Islam, dan memancing beberapa kabilah Arab menyerang umat Muslim di Madinah. Namun, bagi  bangsa Arab terutama kaum Qurays yang memusuhi Rasulullah saw, perang Mu'tah adalah merupakan titik balik kebangkitan moral bahwa bangsa Arab mampu bersaing dengan kekaisaran Byzantin yang kala itu menguasa timur tengah. Pada musim panas tahun 630 M, 9 Hijriah, umat Muslim mendengar kabar bahwa Bizantium dan sekutu Ghassaniyah telah menyiapkan pasukan besar untuk menginvasi kawasan Hijaz dengan kekuatan sekitar 40.000-100.000 orang.


Diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘ad, kaum Muslimin mendapat berita dari para pedagang yang kembali dari negeri Syam bahwa orang-orang Romawi telah menghimpun kekuatan besar dengan dukungan orang-orang Arab Nasrani dari suku Lakham, Judzam dan lainnya yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Setelah pasukan perintis mereka sampai di Balqa‘, Rasulullah saw memobilisir kaum Muslimin untuk menghadapi mereka. Thabarani meriwayatkan dari hadits Ibnu Hushain bahwa jumlah personil tentara Romawi sebanyak 40.000 orang jika ditambha dengan pasukan Ghasaniyah bisa mencapai 100 ribu pasukan.
Di lain pihak, Kaisar Bizantium Heraclius menganggap bahwa kekuasaan kaum Muslimin di Jazirah Arab berkembang dengan pesat, dan daerah Arab harus segera ditaklukkan sebelum orang-orang Muslim menjadi terlalu kuat dan dapat menimbulkan masalah bagi Bizantium.




Imam Muslim meriwayatkan perjalanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya yang sedang menuju Tabûk. Dalam hadits itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَأْتُوْنَ غَدًا إِنْ شَاءَ اللهُ عَيْنَ تَبُوْكَ وَإِنَّكُمْ لَنْ تَأْتُوْهَا حَتَّى يُضَحَّى النَّهَارُ فَمَنْ جَاءَهَا مِنْكُمْ فَلاَ يَمُسَّ مِنْ مَائِهَا شَيْئًا حَتَّى آتِيَ

"Insya Allâh besok kalian akan sampai di mata air Tabûk, dan sungguh kalian tidak akan sampai ketempat itu kecuali setelah waktu agak siang dan barangsiapa sampai duluan maka janganlah dia menyentuh airnya sedikitpun sampai aku datang (ke tempat itu)"

Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan Tabûk, padahal tempat itu belum didatangi oleh siapapun sebelumnya.

Peperangan ini juga dinamakan dengan perang al-‘usrah (kesulitan) berdasarkan riwayat Imam al-Bukhâri yang sanadnya sampai ke Abu Musa al-Asya’ari Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu berkata:

أَرْسَلَنِي أَصْحَابِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ الْحُمْلَانَ لَهُمْ إِذْ هُمْ مَعَهُ فِي جَيْشِ الْعُسْرَةِ وَهِيَ غَزْوَةُ تَبُوكَ

"Saya diutus oleh para sahabatku kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan tentang kendaraan (tunggangan) yang bisa membawa mereka ketika mereka ikut Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pasukan al-Usrah yaitu perang Tabûk Berdasarkan ini,  imam al-Bukhari memberi judul peperangan ini dengan Bab Ghazwati Tabûk wa hiya Ghazwatu al-‘Usrah."

Dari riwayat Abu Musa al-‘Asya’ri Radhiyallahu anhu di atas tergambar jelas kesulitan yang dialami oleh para Shahabat dalam peperangan ini. Kesulitan itu meliputi kesulitan harta, perbekalan dan kendaraan. Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang menceritakan berbagai kesulitan dan kekurangan yang dialami kaum Muslimin dalam perjalanan mereka ini sampai harus bertahan hanya dengan satu kurma dengan meminum air setiap kali mereka menghisap kurma tersebut tanpa memakannya. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan kesulitan yang dialami kaum Muslimin ini dalam firman-Nya:

 لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

"Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh menerima taubat mereka itu." [At-Taubah 117] 

Perang Tabûk terjadi pada bulan Rajab tahun kesembilan hijriyyah, yaitu enam bulan setelah pengepungan Thâ’if. Para Ahli sejarah menyebutkan beberapa sebab terjadinya perang Tabûk, ada yang menyebutkan karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui Heraklius (Raja Romawi) mempersiapakan pasukan besar yang terdiri dari pasukan romawi dan sekutunya dari beberapa kabilah arab. Saat itu minim air hingga mereka hampir mati kehausan. Mereka juga tidak memiliki banyak bekal. Wajar kalau al-Qur’an menyebut pasukan ini dengan Jaisyul ‘Usrah (Pasukan Kesulitan). Semua ini jelas merupakan latihan keras yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tanggu dan bertekad kuat.

Sementara al-Ya’qubi menyebutkan bahwa sebabnya adalah membalas  kematian Ja’far bin Abu Thâlib. Ibnu Asâkir rahimahullah menyebutkan sebab yang lain yaitu ketika orang-orang yahudi mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan ke Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika engkau benar seorang Nabi maka datanglah ke Syam! Karena Syam adalah negeri Mahsyar dan negeri para Nabi.” Maksud dan tujuan melontarkan tantangan ini adalah menipu dan ingin melihat kaum Muslimin celaka ketika harus berhadapan dengan pasukan Romawi. Ketika kaum Muslimin sampai di daerah Tabûk, Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat:

 وَإِنْ كَادُوا لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ الْأَرْضِ لِيُخْرِجُوكَ مِنْهَا

"Dan sesungguhnya mereka hampir menjadikanmu gelisah di negeri (Makkah) untuk mengusirmu darinya" [Al-Isrâ’ 76] 

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk memerangi Romawi karena mereka orang yang paling dekat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara geografis dan yang paling berhak untuk menerima dakwah Islam karena letak mereka berdekatan dengan Islam dan kaum Muslimin.  Allâh Azza wa Jalla telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

"Wahai orang orang beriman perangilah orang orang kafir yang di sekitar kalian dan hendaklah mereka mendapatkan sikap keras yang ada pada kalian dan ketahuilah, bahwsanya Allâh bersama orang orang yang bertakwa" [At-Taubah/9:123] 

Apa yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebentuk penerapan hukum jihad secara umum untuk memerangi semua orang-orang kafir termasuk ahlu kitab yang menghalangi tersebarnya dakwah dan memperlihatkan permusuhan.

Ketika itu, cuaca sangat panas dan musuh pun sangat besar. Nabi saw mengumumkan kepada pasukan Muslim bahwa mereka akan berangkat untuk menghadapi Raja Romawi dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Maka untuk itu, Beliau menganjurkan pengumpulan dana.

Pada perang ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan para Shahabat untuk berinfak, karena jarak yang akan ditempuh agak jauh juga jumlah pasukan kaum musyrikin banyak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan ganjaran yang besar dari Allâh Azza wa Jalla bagi mereka yang berinfak pada perang ini. Mendengar ini, para Shahabat g berinfak sesuai dengan kemampuannya. Utsman bin Affân Radhiyallahu anhu menjadi shahabat yang paling mengeluarkan infak kala itu, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits dan atsar berikut: Imam al-Bukhâri meriwayatkan, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَنْ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَلَهُ الْجَنَّةُ

"Barangsiapa menyiapkan pasukan ‘Usrah maka baginya surga" (HR. Bukhari)

Demikianlah peristiwa persiapan perang Tabuk ini sangat berat dirasakan oleh jiwa manusia. Ia merupakan ujian dan cobaan berat yang membedakan siapa yang di dalam hatinya ada nifaq dan siapa yang benar-benar beriman. Orang-orang munafiq berkata kepada sebagian yang lain : "Janganlah kalian berperang di musim panas" . Sementara itu sebagian yang lain datang kepada Rasulullah saw menyatakan : "Berilah ijin kepadaku dan janganlah kamu menjerumuskan aku ke
dalam fitnah. Demi Allah, kaumku tidak mengenal orang yang lebih mengagumi wanita selian daripada aku. Aku khawatir tidak dapat bersabar melihat wanita yang berambut pirang",  Rasulullah saw berpaling darinya dan memberikan ijin kepadanya. Dalam pada itu, Abdullah bin Ubay bin Salul telah berkemah di sebuah tempat di Madinah bersama kelompok pendukung dan sekutunya. Ketika Rasulullah saw bergerak menuju Tabuk, ia (Abdullah bin Ubay) bersama rombongannya tidak bersedia berangkat bersama Nabi saw. Di antara ayat al-Quran yang diturunkan berkenaan dengan sikap orang-orang munafiq ini adalah :

"Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata : „Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.“ Katakanlah :“Api neraka jahanam itu lebih sangat panas, jika mereka mengetahui:“ (QS At- Taubah : 81)

"Diantara mereka ada orang yang berkata :“Berikanlah saya ijin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.“ Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.“ (QS At-Taubah 49)

Sedangkan kaum Musliin datang kepada Rasulullah saw dari setiap pelosok. Dalam menghadapi peperangan ini Rasulullah saw telah menghimbau orang-orang kaya agar menyumbangkan dana dan kendaraan yang mereka miliki sehingga banyak diantara mereka yang meyerahkan harta dan perlengkapan. Ustman ra menyerahkan 300 keping uang sebanyak 1000 dinar yang diletakkan di kamar Rasulullah saw, Utsmân Radhiyallahu anhu juga mengeluarkan infak dalam bentuk barang dan unta beserta perlengkapannya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang infakkan oleh Utsmân, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

 مَا ضَرَّ ابْنُ عَفَّانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ

"Tidak akan memudharatkan Ibnu Affan apa yang dia lakukan setelah hari ini"

Sedangkan Abu Bakar ra menyerahkan semua hartanya dan umar ra menyerahkan separuh dari hartanya. Turmidzi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia berkata : Aku pernah mendengatr Umar ra berkata : Rasulullah saw memerintahkan kami bersodaqoh dan kebetulan waktu itu saya sedang punya harta, lalu aku berucap : Sekarang aku akan mengalahkan Abu Bakar, jika memang aku dapat mengalahkannya pada suatu hari. Kemudian aku datang kepada Rasulullah saw membawa separuh hartaku.

Nabi saw bertanya kepadaku :“Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ Kujawab : „Sebanyak yang kuserahkan.“ Kemudian Abu Bakar ra datang membawa semua hartanya. Nabi saw bertanya "Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ Allah dan Rasul-Nya.“ Akhirnya aku berkata : Aku tidak akan dapat mengalahkannya (dalam perlombaan melaksanakan kebaikan) untuk selama-lamanya.

Para Shahabat berlomba berinfak sesuai dengan kemampuan, termasuk para Shahabat g yang miskin. Mereka mengeluarkan harta yang tentu nominalnya tidak banyak dengan malu-malu karena terkadang diejekan oleh orang-orang munafik. Diantara mereka ada yang membawa satu sha’ kurma seperti Khaitsamah al-Anshâri Radhiyallahu anhu , ada juga yang membawa setengah sha’ kurma seperti Abu Uqail Radhiyallahu anhu . Orang-orang munafik mencela infak mereka yang terlalu sedikit. Namun bukan saja para Shahabat yang miskin yang menjadi sasaran celaan mereka, para Shahabat yang kaya dan berinfak dengan harta yang banyak pun tidak luput dari celaan mereka. Mereka dituduh riya’. Lalu Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela kaum Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allâh akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih." [At-Taubah 79] 

Sebagian Shahabat ada yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk bersedekah dengan materi seperti Ulbah bin Zaid Radhiyallahu anhu , namun ini tidak menyurutkan semangat mereka untuk bersedekah dan tidak menurunkan semangat mereka untuk ikut berperang. Mereka mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diikutkan dalam peperangan ini,  akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Akhirnya, dengan berurai air mata sedih, mereka kembali ke rumah karena tidak bisa ikut dalam pertempuran itu. Allah mengabadikan hal ini dengan berfirman:

“Mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena sedih tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.” (QS At-Taubah:92)

Inilah ujian iman yang sangat berat bagi kaum Muslimin. Di satu sisi, rasa takwa kepada Allah dan perintah Nabi SAW yang tidak mungkin mereka abaikan, dan di sisi lain berbagai kesulitan yang setiap waktu datang menghadang, khususnya terhadap usaha mereka selama  setahun.

Mereka telah berusaha keras terhadap tanaman mereka, sehingga sulit untuk meninggalkan kebun yang dalam keadaan siap panen tersebut tanpa ada yang memeliharanya. Namun, karena ketakwaan mereka kepada Allah lebih besar dari hal-hal yang lain, mereka segera menyambut seruan Rasulullah saw.

Maka, saat itu yang tinggal di Madinah hanyalah kaum munafik, orang-orang udzur, perempuan, anak-anak, dan sebagian sahabat tidak ada kendaraan yang dapat ditunggangi. Padahal, mereka sangat ingin menyertai pasukan itu.

Demikian juga sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika didatangai Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu sebagai utusan dari sebagian shahabatnya untuk meminta agar diikutkan dalam peperangan itu. Rasulullah saw juga tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Selang beberapa lama setelah itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Bilal Radhiyallahu anhu untuk memanggil Abu Musa Radhiyallahu anhu dan memberinya enam ekor unta yang dibeli dari Sa’ad, sebagai tunggangan mereka di peperangan ini. Disebutkan dalam riwayat yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka lima ekor unta yang didapatkan dari ghanimah.

Jumlah pasukan Islam yang terkumpul sebenarnya cukup besar, tiga puluh ribu personil. Tapi mereka minim perlengkapan perang. Bekal makanan dan kendaraan yang ada masih sangat sedikit dibanding dengan jumlah pasukan. Pasukan muslim melintasi gurun tandus dengan jarak 650 km lebih ke arah utara Madinah. Setiap delapan belas orang mendapat jatah satu onta yang mereka kendarai secara bergantian. Berulangkali mereka memakan dedaunan, sehingga bibir mereka rusak.

Mereka terpaksa menyembelih onta, meski jumlahnya sedikit, agar dapat meminum air yang terdapat dalam kantong air onta tersebut. Oleh karena itu, pasukan ini dinamakan jaisyul usrrah, atau pasukan yang berada dalam kesulitan..

Suatu ketika, pasukan Muslimin sedang menjalani ekspedisi Perang Tabuk. Mereka tiba dan beristirahat di suatu daerah. Meskipun gersang, daerah itu memiliki beberapa sumber air. Namun, Rasulullah saw memerintahkan mereka agar tidak membawa air dari tempat itu sedikitpun. Mereka mematuhinya dan lantas melanjutkan kembali perjalanan.

Maka sampailah pasukan Muslimin di daerah lain. Sementara itu, bekal sudah menipis. Bahkan, mereka tidak lagi memiliki persediaan air. Sejumlah sahabat lalu mengadukan keadaan itu kepada Rasulullah saw. Nabi Muhammad saw lalu melaksanakan shalat dua rakaat. Kemudian, beliau menengadahkan tangannya ke langit, berdoa kepada Allah untuk meminta hujan.

Atas izin Allah Ta'ala, hujan pun turun seketika, kaum Muslimin bersyukur dan bersuka cita. Mereka semuanya bisa minum dengan puas.

Seorang laki-laki dari kalangan Anshar lantas berkata kepada seorang di sebelahnya. Orang ini ditengarai diam-diam sebagai munafik.

Kata orang Anshar itu, "Tidakkah engkau melihat? Baru saja Nabi saw berdoa, Allah lalu menurunkan hujan kepada kita?"

"Tidak!" jawab si munafik itu sambil menunjuk ke langit, "Sesungguhnya kita mendapat curahan hujan ini karena pengaruh bintang ini dan itu.”

Maka, turunlah wahyu kepada Nabi SAW. Yakni, surah al-Waaqi'ah ayat 75-82.

"Artinya, "Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui, dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Apakah kamu mengganggap remah berita ini (Al-Qur’an)? dan kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan(-Nya)."

Ayat yang terakhir itu menjadi teguran langsung dari Allah atas ucapan si munafik tersebut, pada saat  lainya, sekelompok orang munafik yang lainya berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para penghafal Alquran itu. Belum pernah ada orang yang lebih rakus, lebih buncit perutnya, lebih suka berdusta, dan lebih pengecut dalam pertempuran ketimbang mereka.”

Orang-orang munafik itu sedang membicarakan Rasulullah saw dan para sahabat yang ahli Alquran. Ujaran tadi didengar Auf bin Malik yang sedang lewat di depan mereka.

“Kamu bohong! Kamu munafik! Aku akan melapor kepada Rasulullah,” katanya.

Ketika persoalan ini sampai kepada Nabi Muhammad, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sedang akan menaiki untanya. Kemudian, orang-orang munafik tadi didatangkan kepadanya.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami waktu itu hanya bersenda-garau dan bermain-main saja, sebagaimana obrolan orang-orang di perjalanan jauh demi mengisi waktu luang,” kata salah seorang dari mereka.

Mendengar itu, Nabi SAW bersabda, “Mengapa terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Tak lama kemudian, turun firman Allah SWT, surah at-Taubah ayat 65.

“Dan jika kamu (Muhammad) tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’  (At Tawbah 65)

Ada pesan penting dari kisah asbabun nuzul ayat tersebut. Pertama, hanya orang-orang munafik yang “berani” menjadikan Rasulullah saw,  ayat-ayat Alquran, dan bahkan Allah SWT sebagai objek lelucon.

Berbeda, misalnya, dengan orang-orang yang beriman atau berjiwa tauhid. Hati mereka mudah bergetar bila mendengar ayat-ayat-Nya. Hal itu disinggung dalam surah al-Anfal ayat dua.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka karena hal itu, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal,” demikian terjemahan firman Allah itu.

Dalam perjalanan ini kaumMuslimin mengalami kesulitan yang sangat besar. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa dua dari tida orang bergantian menaiki satu ekor onta. Mereka juga kehabisan perbekalan air minum sehingga terpaksa memotong onta mereka untuk diambil perbekalan airnya.

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah ra ia berkta : pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin mengalami kelaparan sehingga mereka berkata :“Wahai Rasulullah saw, ijinkanlah kami menyembelih onta-onta kami untuk dimakan.“ Nabi saw menjawab :“Lakukanlah!“ Tetapi Umar ra datang seraya berkata : „"Wahai Rasulullah, kalau mereka menyembelih onta-onta itu niscaya kendaraan kita berkurang. Tetapi perintahkanlah saja agar mereka mengumpulkan sisa perbekalan mereka kemudian do‘akanlah semoga Allah memberkatinya.“  Lalu Nabi saw memerintahkan agar sisa-sisa perbekalan mereka kumpulkan di atas tikar yang telah digelar. Maka orang-orang pun berdatangan. Ada yang membawa segenggam gandum dan ada pula yang membwa segenggam kurma, sehingga terkumpullah perbekalan makanan yang tidak terlalu banyak, kemudian Nabi saw memohonkan keberkahannya.

Setelah itu Nabi saw berkata kepada mereka :“Ambillah dan penuhilah kantong-kantong makanan kalian.!“ Kemudian mereka pun memenuhi kantong-kantong makanan mereka sampai tidak ada tempat makanan yang kosong di perkemahan kecuali mereka telah memenuhinya. Mereka juga telah makan hingga kenyang. Bahkan makanan itu masih tersisa. Kemudian Nabi saw bersabda : „Aku bersaksi tidak ada Ilah selian Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Seorang hamba yang menghadap Allah dengan dua kalimat tersebut, tanpa ragu, pasti tidak akan dihalangi masuk surga.“

Ketika perjalanan mendekati daerah Tabuk, mereka melewati puing-puing perkampungan kaum Tsamud. Nabi saw menutupi wajahnya yang penuh nur sambil mempercepat untanya dan memerintahkan para sahabat berbuat serupa.

Beliau bersabda, “Kita harus segera melewati tempat ini. Menangislah dan tanamkan rasa takut setiap melewati tempat orang-orang zhalim. Semoga adzab tersebut tidak diturunkan ke atas kalian, sebagaimana telah diturunkan ke atas mereka.”

Walaupun Rasulullah saw adalah kekasih Allah, Beliau tetap merasa takut ketika melewati tempat orang-orang yang pernah diadzab oleh Allah. Begitu pula para sahabat, walaupun keadaan mereka sangat memprihatinkan, mereka tetap menunjukkan kesetiaan. Beliau menyuruh mereka pergi sambil menangis, jangan-jangan adzab turun kepada mereka.

Setelah sampai di Tabuk, umat Islam tidak menemukan pasukan Bizantium ataupun sekutunya. Berita yang terdengar adalah mereka menarik diri ke utara setelah mendengar kedatangannya pasukan Rasulullah.

Pasukan Muslim berada di Tabuk selama 10 hari. Ekspedisi ini dimanfaatkan Rasulullah untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk. Hasilnya, banyak kabilah Arab yang sejak itu tidak lagi mematuhi Kekaisaran Bizantium, dan berpihak kepada Rasulullah dan umat Islam. Rasulullah juga berhasil mengumpulkan pajak dari kabilah-kabilah tersebut.

Saat hendak pulang dari Tabuk, rombongan Rasulullah didatangi oleh para pendeta Kristen di Lembah Sinai. Rasulullah berdiskusi dengan mereka, dan terjadi perjanjian yang mirip dengan Piagam Madinah bagi kaum Yahudi. Piagam ini berisi perdamaian antara umat Islam dan umat Kristen di daerah tersebut.

DI tengah perjalanan pulang dari Tabuk, Rasulullah saw melewati air yang keluar dari sela-sela batu di Lembah Al-Musyaqqaq dimana air tersebut hanya cukup untuk satu, dua, atau tiga orang saja.

Rasulullah saw bersabda, “Bila ada di antara kalian yang sampai ke sana lebih awal, maka janganlah ia mengambil sedikit pun airnya hingga kita tiba di sana.”

Ternyata orang-orang munafik diam-diam bergerak lebih awal menuju ke sana kemudian mereka mengambil seluruh air yang berada di tempat tersebut. Tatkala Rasulullah saw tiba di tempat tersebut, beliau tidak melihat air tersebut.

Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang pertama kali tiba di sini dan mengambil air ini dari kami?”
Diberitahukan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, yang pertama kali tiba di air tersebut adalah si fulan dan si fulan". Rasulullah saw mengutuk mereka dan mendoakan keburukan untuk mereka.

Setelah itu, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam menyentuh air tersebut dengan tangannya, lalu berdoa dengan doa tertentu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari air tersebut dan suara tersebut didengar semua orang yang mendengarnya, kemudian mereka meminum air tersebut.

Rasulullah saw dan pasukan Muslimin akhirnya kembali ke Madinah setelah 30 hari meninggalkannya. Umat Islam maupun Kekaisaran Bizantium tidak menderita korban sama sekali dari peristiwa ini, karena pertempuran tidak pernah terjadi

Setibanya di dekat Madinah, Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya :“Itulah Thalhah! Dan itulah Uhud, gunung yang mecintai kita dan kita cintai.!“ Sabdanya pula :“Di Madinah ada orang-orang yang berangkat bersama kalian, mereka turut menjelajah lembah bersama kalian!“ Para sahabat bertanya :“Wahai Rasulullah, bukankah mereka itu tetap tinggal di Madinah?“ Nabi saw menjawab : "Ya, mereka tetap tinggal di Madinah karena berhalangan.“

Perang Tabuk memberikan pelajaran berharga bagi seluruh kaum muslimin. Setidaknya ada dua hal penting yang bisa kita petik dari sekian banyak ibroh yang terkandung di dalamnya yaitu kejujuran iman dan menangnya kebenaran tanpa tanding.

Hal ini tak hanya bagi bangsa Arab yang muslim tapi juga masyarakat yang masih kafir. Sebab, kekuatan Romawi menurut perkiraan bangsa Arab sebelumnya adalah kekuatan yang tidak bisa ditandingi dan dikalahkan. Sekadar menyebut Romawi saja mereka sudah gentar. Apalagi jika berhadapan. Kalaupun bicara tentang kekalahan Romawi, mereka tak pernah bermimpi umat Islamlah pelakunya.

Perang Mu’tah yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, menguatkan memori di otak bangsa Arab di masa jahiliyah, bahwa Romawi adalah kekuatan yang tidak terkalahkan. Tapi itu tidak berlaku bagi umat Islam. Semangat bahwa mereka akan menaklukkan Romawi itu bahkan sudah digaungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di era Makkiyah. Bahkan, ketika terjadi Perang Khandaq, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang lagi bahwa Konstantinopel yang menjadi pusat kekuatan Romawi akan mereka taklukkan. Dengan demikian, mobilisasi besar-besaran pasukan muslim ini diperlukan untuk melenyapkan kekalahan psikis dalam jiwa bangsa Arab itu.

Kemenangan pasukan Islam yang bersifat lokal dan mampu menantang kekuatan terbesar di dunia saat itu, bukan karena motif fanatisme, rasisme, atau untuk mewujudkan obsesi pemimpin saat itu. Motifnya hanya satu; untuk memerdekakan. Lantaran humanisme menyerukan untuk memerdekakan jiwa,  maka tak ada pergelutan perang melawan Romawi, mereka lebih memilih untuk melarikan diri ke arah utara. Dengan demikian, pasukan muslim berhasil meraih kemenangan tanpa peperangan karena mereka meninggalkan kawasan-kawasan tersebut untuk daulah Islam. Sebagai hasilnya, akhirnya kaum Nasrani yang sebelumnya memiliki hubungan yang sangat loyal terhadap negara Romawi seperti pemerintahan Daumatul Jandal dan pemerintahan Ailah (Kota Uqbah saat ini di teluk Uqbah) tunduk pada Daulah Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat berisi ketetapan hak dan kewajiban mereka.

Tak hanya itu, kabilah-kabilah Arab lain di Syam yang sebelumnya belum tunduk pada kekuasaan Islam di Tabuk akhirnya sangat terpengaruh oleh Islam. Sebagian besar kabilah-kabilah tersebut mulai mengevaluasi sikap dan membanding-bandingkan keuntungan terus loyal pada Romawi atau beralih memberikan loyalitas kepada daulah Islam yang sedang berkembang. Itu semua terjadi setelah penaklukan Islam di negara Syam.

Meski sebelumnya sudah ada beragam usaha, namun efek yang ditimbulkan tidak sekuat seperti yang ditimbulkan Perang Tabuk. Perang ini merupakan indikasi permulaan aksi-aksi berkelanjutan untuk menaklukan berbagai negeri, juga penaklukan-penaklukan  yang diteruskan oleh para khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat.

Kemenangan psikis itu penting. Kemenangan psikis adalah pemantik untuk kemenangan fisik. Inilah yang menjelaskan mengapa kalangan sekular dan Barat tidak akan pernah memberikan restu untuk kemenganan tentara Islam.

Menariknya peperangan tabuk yang terjadi di bulan Rojab tahun ke-9 Hijriyah ini adalah berhasilnya Rosulullah saw dan para sahabatnya menumbangkan pamor hegemoni emperium Romawi atas negeri Arab dan kawasan teluk pada umumnya.

Kemenangan yang diraih oleh kaum muslimin merupakan kemenangan gemilang yang menampilkan keberanian dan keperwiraan sementara kaum kuffar Romawi pulang dengan menyimpan sikap pengecut dan kehinaan. Saat itu, 40.000 lebih pasukan Romawi telah disiapkan dengan tambahan personel dari penguasa Bashroh Bani Ghassan. Mereka telah bergerak menuju perbatasan Syam dan jazirah.

Mundurnya pasukan Romawi menjadi pertanda runtuhnya pamor hegemoni Imperium Romawi atas jazirah Arab. Di sat yang bersamaan kekuasaan Islam meluas hingga langsung berhadapan dengan batas territorial emperium romawi dan Persia. Inilah kemenangan kebenaran tanpa tanding atas kebathilan. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا (81

“Katakanlah (wahai Muhamad) telah datang kebenaran dan lenyaplah kebathilah, sesungguhnya kebathilan itu mudah lenyap,” (QS. Al Isro’ : 81).

Di saat yang bersamaan momentum perang Tabuk menjadi garis pemisah yang jelas antara orang mukmin sejati dengan orang munafik. Di saat itulah turunnya surat At Taubah secara utuh. Dari mulai pemberangkatan pasukan kaum muslimin hingga sekembalinya mereka dengan kemenangan besar ke kota Madinah. Itulah sebabnya muncul nama lain dari surat At Taubah dengan penyebutan surat “Al-Fadlihah” yang bermakna membuka kedok kaum munafikin.

Dengan peristiwa tersebut Allah ta’ala menurunkan sebuah perintah agung kepada seluruh orang-orang yang telah mengikrarkan syahadat agar jujur dengan keimanannya melalui firman-Nya yang mulia :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur”. (QS. At Taubah : 119)

Beberapa hari setelah pasukan muslim tiba di Madinah, ada kabar bahwa Abdullah bin Ubay sakit keras. Abdullah, putra Abdullah bin Ubay yang sudah masuk Islam tetap melayani ayahnya walaupun lelaki yang menyebabkan kelahirannya itu seorang munafik yang jahat. Abdullah merawat ayahnya dengan cermat dan penuh kasih sayang.

Tapi, walau begitu tetap saja hati Abdullah terasa gundah. Ia merasa sangat berat setiap melihat ayahnya dengan nafasnya yang semakin sesak.

Pertanda ajalnya kian mendekat. Ingin sekali ia memberi tahu Rasulullah tentang sakit ayahnya ini dan memohon kepada manusia agung penuh pesona itu agar Rasulullah bersedia menjenguk ayahnya sebelum benar-benar meninggal dunia. Abdullah melihat bahwa sepertinya ayahnya itu sangat ketakutan menghadapi kematiannya; membayangkan siksaan neraka yang mengancamnya. Abdullah tahu persis, ketika dalam kondisi yang segar-bugar dahulu, Abdullah bin Ubay melakukan banyak makar jahat terhadap Islam.

Akhirnya, selaku anak yang berbakti kepadaorang tua, ia pun datang menghadap Rasulullah dan mengutarakan maksudnya. Walau bagaimana pun Abdullah ingin ayahnya sadar dan bergabung bersama dirinya dalam ikatan Islam.

Waktu itu, kebetulan Umar bin Khattab tengah menemani Rasulullah. Ketika mendengar apa yang diutarakan oleh Abdullah itu, wajah Umar seketika berubah masam. Padahal Rasulullah sendiri hanya tersenyum lembut mendengar permintaan Abdullah.

Umar, sambil mengernyitkan jidat, melarang Rasulullah agar tidak meluluskan permintaan gembong kaum munafik itu. Alasannya jelas, Abdullah bin Ubay telah banyak merugikan kepentingan kaum muslimin, dan bukan sekali dua kali mengkhianati Rasulullah. Fitnah-fitnah keji yang dilancarkannya pun sering sekali benar-benar menjatuhkan nama Rasulullah. Yang paling hebat adalah ketika adanya desas-desus yang disebarkan oleh Abdullah bin Ubay hanya selang beberapa waktu sebelum sakitnya. Hampir saja terjadi pertumpahan darah di antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor akibat ulahnya itu. Belum lagi larinya sebagian pasukan Perang Uhud yang dipimpin oleh Abdulllah bin Ubay dan mengakibatkan hampir hancurnya pasukann tentara Islam dalam peperangan itu.

Sambil memakai jubahnya, Rasulullah berkata kepada Umar, “Aku menghargai permintaannya, hai Sahabatku.”

Umar tidak bisa berkata apa-apa lagi tapi ia tetap juga mengiringi Rasulullah dari belakang menuju kediaman Abdullah bin Ubay.

Setiba di sana, Umar makin mendongkol. Pasalnya, ternyata si munafik itu bisa merengek-rengek kepada Rasulullah minta dikasihani. Abdullah bin Ubay memohon agar Rasulullah melepaskan jubahnya itu untuk menyelimuti badannya yang tengah menggeliat-geliat menahan sakit. Tampaknya, Abdullah bin Ubay ingin mati dengan berselimutkan jubah Rasulullah.

Wajah Umar berubah, menahan amarah yang sangat. Terdengar giginya menggeretak dan tangannya mengepal. Sekali ini, dengan wajah keras dan merah ia memberi isyarat kepada Rasulullah agar tidak menuruti apa yang diminta oleh salah satu musuh besarnya itu.

Namun, apa tindakan Rasulullah? Rasulullah sadar, ia adalah pemimpin bagi semua orang, semua manusia, bahkan rasul untuk jin dan sebangsanya. Ia adalah rahmat buat alam semesta. Bagaimana jadinya jika seandainya ia tidak memberikan teladan yang baik dalam tingkah lakunya? Maka, seketika itu juga, Rasulullah segera melepas jubahnya, dan tanpa terlihat rasa benci sedikitpun, ia menyelimutkannya pada tubuh Abdullah bin Ubay yang sekarang semakin menggigil keiinginan. Sesaat setelah jubah itu menyelimuti tubuhnya, nafas yang terakhir Abdullah bin Ubay terlepas. Ia mati. Terkabullah keinginan pemuka kaum munafik itu mati dengan berselimut jubah Rasulullah yang suci. Rasulullah memandangi saja.

Tantangan Adu Laknat dari Rasulullah untuk Kaum Najran
Sementara Abdullah tertunduk, dan beberapa bulir air mata tampak membasah di wajahnya.

Sedangkan Umar terlihat masih kecewa. Lelaki yang berjuluk Singa Padang Pasir itu berujar, “Ya, Rasulullah, engkau ini bagaimana? Bukankah Abdullah bin Ubay itu musuhmu?”

Rasulullah berpaling kepada Umar. Seulas senyum terhias di wajahnya. “Bukan, Umar. Dia lah yang memusuhiku,” jawabnya.

“Rasulullah, semasa hidupnya dia tidak pernah sedikitpun menghentikan usaha culasnya untuk membinasakan dan menghancurkan ajaran kita. Dia juga tidak pernah berhenti mengacau masyarakat Madinah yang rukun dan damai. Ia adalah dedengkot kaum munafik!”

“Betul sekali katamu Umar,” tukas Rasulullah dengan masih tetap tenang.

Umar memandang sinis ke arah mayat Abdullah bin Ubay yang mulai membiru, “Alangkah beruntungnya dia kalau begitu bisa mati dengan berselimutkan jubahmu. Padahal kami para sahabatmu, belum tentu akan memperoleh kesempatan dan nasib sebaik dia.”

Rasulullah sadar, bahwa Umar tidak bisa menyembunyikan kebenciannya kepada Abdullah bin Ubay itu. Maka dengan bijak ia berkata, “Umar, jangan sempitkan pikiranmu. Apakah aku tidak boleh membuatnya senang barang sebentar sebelum ia mengalami azab berkepanjangan di neraka sana? Abdullah bin Ubay tidak akan selamat dari siksa Allah hanya karena mengenakan jubahku ketika ajalnya. Sebabku jubahku tidak akan menyelamatkan siapa-siapa. Manusia hanya akan selamat oleh iman dan amal salehnya sendiri.”

Setelah perkataan Rasulllah tersebut, barulah Umar tampaknya sedikit mengerti dan kemarahannya mulai mereda. Di sisi lain, karena peristiwa itu, Umar semakin mengagumi kepribadian orang yang selalu dibelanya. Betapa Muhammad bin Abdullah selalu saja menjadi terdepan dalam memberikan sikap dan perhatian, bukan hanya sekadar dalam ucapan-ucapannya saja.