Ali bin Abi Thalib tidak pernah menyembah berhala atau bersujud kepada berhala sepanjang hidupnya. Hal itulah yang menyebabkan penyebutan nama Ali disertai dengan doa khas Karramallahu Wajhah. Tidak lain, itu merupakan bentuk penghormatan untuk Ali bin Abi Thalib yang tidak pernah melakukan perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah. Di samping itu, Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai seorang yang tidak pernah melihat aurat dirinya sendiri dan aurat orang lain. Ia begitu menjaga pandangannya sehingga terbebas dari melihat aurat seseorang.
Fatimah adalah putri termuda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dan bagian dari beliau dari ibu yang mulia wanita shalihah Khadijah binti Khuwailid, saat itu ia telah berusia sekitar dua puluh tahun, Rasulullah memang sering mengatakan bahwa Ali adalah laki laki yang sangat pantas menjadi sumai dari Fatimah, tapi belum ada akad yang pasti. Abu Bakar dan Umar pernah melamar Fatimah akan tetapi secara halus Rasulullah saw menolaknya, dan Rasulullah tidak memberikan alasan y
lain kecuali Rasulullah memang sedang menunggu petunjuk dari Allah swt. Hanya seminggu setelah kepulanganya dari Badar maka datnglah kepastian bahwa Fatimah akan dinikahkan dengan Ali.
Pada awalnya Ali ragu ragu karena dirinya merasa sangat miskin, karena ayahnya yaitu Abu Thalib memang bukanlah seorang yang berada, meskipun Ali memiliki rumah kecil di dekat mesjid. Karena ia tahu bahwa keputusan Rasulullah tidak bisa diragukan maka ia pun akhirnya merasa yakin.
Imam Abu Dawud dan an-Nasa`i meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Berikanlah sesuatu kepadanya.” –Maksud beliau sebagai mahar pernikahan- Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya, “Lalu di mana baju perang huthamiyah milikmu.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Yang dimaksud baju perang huthamiyah adalah penisbatan kepada Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais pembuat baju perang. Ada yang berkata, baju perang disebut dengan huthamiyah karena ia tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.
Setelah dilakukan akad nikah dan kemudian Rasulullah saw mengadakan resepsi pernikahan dengan menyembelih seekor biri biri jantan dan banyak kaum anshar yang memberikan gandum, Abu Salamah adalah sepupu ke dua pengantin itu dan sangat bersemangat membantu mereka karena merasa sangat banyak hutang budi kepada ayah Ali yaitu Abu Thalib yang telah melindunginya dari kekejaman Abu Jahal dan anggota sukunya yang sangat membenci kaum muslim. Begitu juga dengan Umm Salamah dan Aisyah yang turut menyiapkan semua perhelatan pernikahan Ali dan Fatimah.
Salah satu serambi mesjid itu kini digunakan sebagai tempat singgah para pendatang baru yang belum memiliki tempat tinggal dan persediaan makanan, mereka itu di sebut Ahlu Suffah, mengacu kepada sebuah bangku batu yang diletakan di sana untuk kepentingan mereka, karena mesjid berdampingan dengan rumah Rasulullah saw maka beliau merasa bertanggung jawab terhadap bertambahnya para pengungsi yang tinggal di sana,.
Keadaan para pengungsi itu amat buruk, mereka berdatangan dari berbagai penjuru suku Arab, ada yang datang sendirian dan ada pula yang berkelompok, terpikat dengan ajaran Rasulullah saw dan kaum muslim yang beritanya sudah tersebar diantara suku suku Arab. Akibatnya mereka yang tinggal berdekatan dengan mesjid itu terutama keluarga Rasulullah saw jarang merasa kenyang ketika makan. Rasulullah saw sering menganjurkan kepada mereka,"Makanan untuk seorang dicukupkan untuk berdua, makanan berdua dicukupkan untuk berempat, makanan berempat dicukupkan untuk delapan orang".
Sebelum menikah, Fatimah sudah seperti tuan rumah bagi para Ahlu Suffah itu, namun kehidupanya setelah menikah dengan Ali lebih miskin. Fatimah benar benar sendirian mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu, Ali bekerja sebagai pencari dan pengangkut air, dan Fatimah bekerja sebagai penggiling gandum, "Aku terus menggiling gandum hingga ke dua tanganku melepuh," keluh Fatimah suatu saat kepada suaminya Ali, kemudian Ali membalas,"Aku juga telah menimba dan mengangkat air hingga dadaku sakit," ujar Ali,"dan Allah telah memberikan banyak tawanan perang kepada ayahandamu, maukah engkau pergi kepadanya meminta satu orang untuk membantu kita?", tanya Ali.
Walaupun dengan agak ragu Fatimah pergi mengunjungi Rasulullah saw, "aduhai, ada apakah gerangan yang mendorongmu datng kesini putri kecilku", Rasulullah menyambut Fatimah, kemudian Fatimah berkata,"aku datang untuk menyampaikan salam sejahtera", tukasnya, karena segan dengan ayahnya maka Fatimah tidak berani meminta sesuatupun kepada ayahnya, kemudian Fatimah pulang dan setelah berada di rumahnya maka disambut oleh Ali,"Bagaimana hasilnya?", tanya Ali,"aku malu minta sesuatu kepadanya", jawab Fatimah, kemudian mereka berdua pergi mengunjungi Rasulullah saw, dan rupanya Rasulullah saw sudah mengetahui keinginan Ali dan Fatimah kemudian Rasulullah saw lalu berkata,"Aku tidak akan memberikan apa apa kepada kalian, sementara membiarkan para ahli sufdah itu kelaparan, aku tidak punya persediaan yang cukup untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan mereka, aku hanya dapat menggunakan dana hasil penebusan para tawanan itu,".
Kedua suami istri itupun pulang dengan kecewa, akan tetapi pada malam harinya, ketika telah bersiap untuk beranjak tidur, mereka mendengar suara Rasulullah saw meminta ijin untuk masuk.
Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan gandum kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam sedang mendapatkan tawanan perang, Fatimah pergi kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tetapi dia tidak bertemu dengan beliau, dia bertemu Aisyah, Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pulang Aisyah mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur, aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku, jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, itu lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu.”
Alkisah (Kisah ini diambil dari kitab Uqudullujain Karya Imam Nawawi Al-Bantani), suatu hari masuklah Rasulullah SAW., menemui putrinya Fatimah. Rasulullah mendapati putrinya sedang menggiling syair (sejenis gandum) dengan menggunakan sebuah raha atau penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah bertanya pada putrinya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah? Semoga Allah SWT., tidak menyebabkan matamu menangis”.
Fathimah berkata, “Ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumah tanggalah yang menyebabkan anakmu menangis”.
Lalu duduklah Rasulullah di sisi putrinya. Fathimah melanjutkan perkataannya, “Ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta ‘Ali (suaminya) mencarikan ananda seorang jariah (budak) untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.
Mendengar perkataan putrinya ini maka bangunlah Rasulullah mendekati batu penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu sambil mengucapkan “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah SWT. Rasulullah SAW meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk putrinya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah SWT dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.
Rasulullah berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah SWT”.
Maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “Ya Rasulullah SAW, demi Allah Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya, kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah SWT suatu ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan”. "Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka".
Rasulullah saw kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-zahra di dalam surga”.
Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu, kemudian diamlah ia.
Rasulullah bersabda kepada putrinya, “jika Allah SWT menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh-Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.
Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.
Ya Fathimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah SWT akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang.
Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah SWT akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak rida denganmu tidaklah akan aku doakan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa rida suami itu daripada Allah SWT dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah SWT?
Ya Fathimah, apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah, maka para malaikat untuknya dan Allah SWT akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah SWT mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil. Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga, dan Allah SWT akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat. Perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah SWT akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah SWT akan memandangnya dengan pandangan rahmat.
Ya Fathimah, perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat), “teruskanlah amalmu maka Allah SWT telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang”.
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta menggunting kukunya maka Allah SWT akan memberinya minuman dari sungai-sungai surga dan Allah SWT akan meringankan sakaratul mautnya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman surga seta Allah SWT akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Shirat”.
Nabi mengingatkan, “Jika seorang wanita melayani suaminya sehari semalam dengan baik, tulus, ikhlas serta dengan hati yang benar, Allah akan mengampuni segala dosanya dan akan dicatat untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya dengan seribu kebaikan dan dikaruniakan seribu pahala haji dan umroh.” (Hr. Abu Daud)
Rasulullah saw. Kemudian bersabda kembali, “Ketika seorang suami pulang ke rumah, kemudian isteri menyambutnya dengan senyuman, dan bersegera mengulurkan tangannya untuk mengambil tangan suaminya, maka dosa-dosa mereka berdua serta merta berguguran sebelum kedua tangan mereka dilepaskan.” (Hr. Abu Daud)
Ali dan Fatimah melahirkan dua orang anak, Cucu Nabi yang pertama ialah Hasan. Beliau lahir pada pertengahan bulan Ramadhan pada tahun 3 Hijriah.
Kabar gembira ini membuat Nabi Muhammad Saw sangat berbahagia. Karena akan ada generasi penerus perjuangan dan keturunan beliau.
Belum genap setahun kabar gembira sampai ke teliga Nabi Muhammad Saw. Tepatnya pada tanggal 5 sya’ban tahun 4 Hijriah. Lahirlah cucu beliau yang kedua yang bernama Husein.
Cucu-cucu beliau merupakan kesayangan baginda Nabi Muhammad Saw. Bahkan kedua nama tersebut merupakan pemberian dari beliau. Pada awalnya ketika hari ketujuh setelah kelahiran cucu pertama, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memberikan nama Harb. Namun, dilarang oleh Nabi lalu beliau beri nama Hasan. Nama Hasan pada saat itu adalah nama yang unik karena belum pernah ada seorang Arab Qurays pun yang menggunakan nama tersebut.
Begitupun pada cucunya yang kedua, ketika hendak diberi nama Harb lagi oleh Sayyidina Ali. Karena cinta beliau terjadap peperangan dan keberanian. Akan tetapi dilarang kembali dan diberi nama Husein, artinya "Hasan Kecil".
Sahabat Abu Bakrah mengisahkan, suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang memangku cucunya Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Sambil memangku cucunya, beliau berbicara kepada kami. Sesekali beliau menghadap kepada kami, dan sesekali beliau mencium cucunya. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، إِنْ يَعِشْ يُصْلِحْ بَيْنَ طَائِفَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Sejatinya cucuku ini adalah seorang pemimpin besar. Dan bila ia berumur panjang, niscaya dia akan mempersatukan/ mendamaikan antara dua kelompok ummat Islam yang sedang bertikai” (HR Ahmad dan lainnya).
Begitu juga dengan Husein bin Ali, bahwa Rasulullah saw sudah mengetahui bahwa Husein akan mati syahid karena dibunuh oleh para penghianat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, di antaranya dari ‘Ali, ia berkata:
“Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: “Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: “Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?”. Aku menjawab: “Ya. Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”
Suatu ketika Rasullullah SAW mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana beliau hanya menjumpai putrinya, Fathimah. Ketika beliau bertanya tentang keberadaan kedua cucunya, Fathimah berkata kalau keduanya sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air pada orang Yahudi karena pada hari itu memang tidak ada persediaan makanan bagi mereka sekeluarga.
Rasulullah SAW menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air. Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Rasulullah SAW berkata kepada Ali, “Wahai Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari akan menyengat mereka?”
Ali menjawab, “Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak memiliki sesuatu pun untuk dimakan, karena itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih banyak kurma untuk Fathimah.”
Rasulullah SAW akhirnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir kurma untuk bisa dibawa pulang.
Rasulullah saw memiliki beberapa pedang diantaranya adalah Azab, AL Battar, Al Hattaf, kini disimpan di Museum Topkapi di Turki dan Mesir, begitu juga dengan Zulfikar tapi keberadaan Pedang Zulfikar tidak pernah ditemukan di mana pun.
Salah satu senjata terkuat yang pernah ada di planet bumi adalah pedang bernama Zulfikar. Pedang milik Nabi Muhammad SAW itu sangat populer dalam sejarah peradaban Islam.
Pedang Zulfikar kerap menjadi kunci kemenangan kaum Muslimin atas musuh-musuhnya. Tak heran bila kemudian muncul pepatah terkenal yang berbunyi,
“la fata illa Ali, la sayf illa Dzu I-Fiqar”.
“Tidak ada pemuda selain Ali, dan tidak ada pedang selain Zulfiqar”.
Bahkan, tak sedikit orang yang menyebut bahwa kekuatan Pedang Zulfikar sebanding dengan seribu prajurit. Bentuk pedang ini pun diketahui ada banyak versi. Tapi dari sekian banyak hasil penafsiran, bentuk Pedang Zulfikar yang paling populer adalah seperti pada gambar di atas. Modelnya melengkung dan berujung ganda.
Asal usul pedang ini pun diketahui masih abu-abu. Banyak yang mengatakan bahwa Pedang Zulfikar adalah hasil rampasan Perang Badr yang dimenangkan oleh kaum Muslimin. Kala itu, Rasulullah SAW sangat menyukai bentuk pedang Zulfikar, ia pun membawa pedang tersebut bersamanya.
Kisah berlanjut ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk memberikan pedang itu kepada Ali bin Abi Thalib dalam Perang Uhud. Berkat Pedang Zulfikar, kondisi kaum Muslimin yang sedang terdesak akhirnya bisa teratasi. Hal tersebut semakin meyakinkan Rasulullah SAW untuk memberikan Pedang Zulfikar kepada Ali. Sejak saat itu, Ali selalu menggunakan pedang tersebut hingga maut memisahkan mereka.