Perjanjian Hudaibiyah

Perjanjian Hudaibiyyah (bahasa Arab: صلح الحديبية‎) adalah sebuah perjanjian yang diadakan di wilayah Hudaibiyah Mekkah pada Maret, 628 M (Dzulqa'dah, 6 H). Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.

Pada bulan Dzulqaidah tahun ke-6 H/627 Rasulullah saw bermimpi pergi ke Mekkah bersama pengikutnya dan melakukan ibadah umrah.

"Sesungguhnya Allah telah membuktikan kepada rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya; (yaitu) sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat." (Qs. Al-Fath: 48)

Rasulullah saw menceritakan mimpinya kepada para sahabatnya sekaligus menjanjikan kepastian terjadinya peristiwa itu di waktu yang akan datang. Beliau mengajak para sahabatnya untuk bersiap diri berangkat ke Mekkah guna ibadah umrah. Musyrikin Quraisy memiliki dendam kesumat pada Islam, karena itu sebagai antisipasi akan terjadinya perseteruan dan halangan yang bakal mereka timbulkan, Rasulullah saw mengajak kabilah-kabilah Arab sekitar Madinah untuk ikut pergi ke Mekkah. Namun tidak banyak kabilah yang menerima ajakan beliau. Kebanyakan dari pihak Muhajirin dan Anshar yang siap menyertai Rasulullah saw.

Pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah. Jumlah itu termasuk 4 perempuan, di antaranya Ummu Salamah, istri Nabi saw. Selama meninggalkan Madinah, Rasulullah saw mewakilkan kepemimpinan Madinah kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Mereka mempersiapkan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada Allah SWT. Namun karena saat itu kaum Quraisy di Mekkah sangat anti terhadap kaum Muslim Madinah (terkait kekalahan dalam perang Khandaq), maka Mekkah tertutup untuk kaum Muslim. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci.

Atas perintah Nabi saw, saat itu kaum muslimin tidak membawa senjata kecuali pedang yang memang biasa dibawa kemana-mana. Begitu keluar dari wilayah Madinah dan sampai di Dzulhulaifah, sekarang tempat ini dijadikan nama masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Syajarah, Rasulullah saw dan pengikutnya mengenakan pakaian ihram. 70 ekor onta yang dibawa mereka tandai dengan cap hewan kurban dan digiring di depan rombongan. Tujuannya agar orang-orang, terlebih musyrikin Quraisy, tahu bahwa tujuan kedatangan mereka bukan untuk perang, namun umrah dan thawaf mengelilingi Kabah. Disebutkan, onta bekas milik Abu Jahal yang disita dari Perang Badar juga dibawa dan akan dikurbankan.

Begitu sampai di Usfan, daerah sekitar Mekkah, Rasulullah saw diberi kabar bahwa kaum musyrikin Mekkah telah mengetahui kedatangan kaum muslimin dan bertekad akan menghalangi masuknya kaum muslimin ke Mekkah. Kafir Quraisy menaruh pasukan di luar kota Mekkah dan mengirim Khalid bin Walid beserta 200 pasukan berkuda ke Kira' al-Ghamim untuk menghadapi kaum muslimin.

Mendengar kabar itu, Rasulullah saw bersabda, "Kasihan Quraisy, mereka menjadi korban nafsu perang". Ia lalu bertanya, "Siapa yang bisa menunjukkan jalan lain supaya kita tidak berhadapan dengan Quraisy?"

Atas panduan beberapa orang dari kabilah Bani Aslam, Rasulullah saw dan rombongannya melanjutkan perjalanannya ke Mekkah melalui jalan alternatif untuk menghindari pasukan Quraisy.  Dalam perjalanan tersebut, untuk pertama kalinya kaum muslimin melakukan Salat Khauf, tujuannya untuk berjaga-jaga dari serangan musuh.

Saat rombongan muslimin memasuki daerah Hudaibiyah tiba-tiba onta milik Rasulullah saw (Qashwa') berhenti dan duduk, Rasulullah saw lalu meyuruh pengikutnya di tempat itu. Ketika Rasulullah saw berada di Hudaibiyah, Budail bin Warqa' al-Khuza'i bersama orang-orang dari kabilah Khuza'ah datang menemui beliau. Rasulullah saw menjelaskan maksud kedatangannya, bahwa beliau dan rombongannya hanya ingin mengunjungi Baitullah, bukan perang. Bani Khuza'ah lalu mengabarkan hal itu pada kafir Quraisy. Quraisy menjawab, "Meski jika Muhammad tidak datang untuk perang, dia tetap tidak akan kami ijinkan memasuki Mekkah karena itu akan membuat orang-orang Arab menertawakan kami."

Setelah itu kafir Quraisy mengirim lagi beberapa perwakilan menemui pihak Islam untuk berunding, namun kedua pihak tidak mendapatkan kesepakatan. Urwah bin Mas’ud adalah utusan dari pihak Quraisy sebagai utusan untuk berunding dengan rombongan Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw memerintahkan rombongannya untuk beristirahat di Tsaniyyatul Marar, datanglah Urwah bin Mas’ud lalu duduk di hadapan baginda dan berkata, "Ya Muhammad, kamu mengumpulkan semua suku sebagai umatmu. Kamu datang kepada suku Quraisy untuk menakut-nakuti mereka. Suku yang banyak menelurkan pemimpin yang gagah berani. Mereka bersumpah atas nama Allah, agar tidak sejengkal pun yang dapat dimasuki. Demi Allah, mungkin besok kami akan mengizinkanmu untuk memasuki tanah kelahiranmu.”

Seperti kebiasaan bangsa Arab, Urwah berbicara dengan Rasulullah SAW sambil berusaha menggapai janggut beliau. Namun upayanya itu telah dihalangi al-Mughirah sambil berkata, “Lepaskan tanganmu dari Rasulullah. Jika tidak, tanganmu akan ku potong dan tidak akan utuh lagi.” Ujarnya

Rasulullah saw hanya tersenyum. Kemudian Urwah bertanya, “Siapa dia ini, ya Muhammad?” Rasulullah saw menjawab, “Ini adalah putra saudaramu, al-Mughirah bin Syu’bah.”

Urwah berkata, “Lelucon apakah ini Muhammad? Hei, kau! Bukankah aku telah membelamu atas pengkhianatanmu itu?" ujar Urwah merujuk kepada tragedi pembunuhan yang dilakukan al-Mughirah di Busaq. ‘Urwah adalah paman al-Mughirah yang turut membelanya atas tragedi tersebut.

Rasulullah saw kemudian menjawab, “Aku telah menerima keislamannya. Sedang urus harta yang kau bicarakan itu". Mendengar pembelaan Rasulullah saw tersebut, Urwah pun berhenti mengadili Al-Mughirah.

Urwah lantas menyaksikan betapa setianya para sahabat kepada baginda. Jika Rasulullah berwudhu, mereka segera ikut berwudhu. Ketika Rasulullah meludah, mereka segera membersihkannya. Tidak ada sehelai rambut baginda yang jatuh melainkan mereka pasti memungutnya.

Lalu Urwah pun kembali kepada kaum Quraish lalu berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya aku telah berkunjung kepada Kisra, Parsi, dan an-Najasyi di istana-istana mereka, tapi tak kudapati seorang raja pun yang sayangnya melebihi sayangnya Muhammad terhadap pengikutnya, sehingga pengikutnya menyerahkan apa saja yang diminta olehnya. Buanglah prasangka buruk kalian.”

Urwah menyebut demikian kerana kaum kafir Quraish menyangka kedatangan Rasulullah saw adalah untuk berperang, tetapi setelah melihat bagaimana para sahabat melayan Nabi saw, dia tahu baginda saw adalah seorang yang berakhlak mulia. Urwah telah menyaksikan betapa hormat dan setianya para sahabat terhadap Nabi saw. Kata Urwah:

“Demi Allah, tidaklah Rasulullah saw membuang ludah kecuali jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka, maka ia mengusapkannya ke wajah dan kulitnya sendiri. Jika Rasulullah saw memerintahkan mereka, maka mereka bersegera melakukannya. Jika ia berwudhu, maka mereka hampir-hampir berkelahi kerana memperebutkan bekas air wudhunya. Jika ia berbicara, maka mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak berani menatap wajahnya secara langsung kerana begitu hormat kepadanya.” (Hadis Sahih Bukhari Jilid 3. Hadis Nombor 1255, - Topik Perjanjian Hudaibyah)

Urwah bin Mas'ud pernah kunjungi banyak kerajaan besar masa itu tetapi dia tidak pernah melihat penghormatan yang begitu hebat sekali seperti yang diberikan oleh para sahabat kepada Rasulullah SAW. Urwah begitu kagum sekali dengan penampilan sederhana dan akhlak baginda SAW sehingga dia percaya kedatangan Nabi saw ke Mekkah bukanlah berniat untuk perang. Oleh itu, dia pun menyuruh kaum kafir Quraish untuk buang pra-sangka mereka.

Namun, hanya cacian orang orang Qurays yang terlontar terhadap usulan dari Urwah, para pemuka Quraisy (termasuk Abu Sufyan yang pernah merasa malu di mata masyarakat Arab karena gagal menghadapi muslimin dalam Perang Ahzab pada tahun ke-5 H/626) menganggap kedatangan kaum muslimin ke Mekkah merupakan penghinaan dan sindiran tajam bagi mereka.

Pemuka Quraisy kemudian memerintahkan Mukriz bin Hafash, seorang yang dikenal pemberani dan nekad, beserta empat puluh sampai lima puluhan orang berkuda menyusul rombongan muslim untuk menggertak mereka. Bahkan mereka diharap bisa menangkap seorang muslim dan diserahkan ke pihak Quraisy untuk dijadikan sandera. Maksudnya agar mereka dapat memaksa pihak muslimin untuk memenuhi keinginan mereka. Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan, Mukriz bin Hafash dan orang-orangnya gagal melaksanakan tugas, bahkan mereka sendiri yang akhirnya ditawan pasukan Islam. Ketika tawanan itu dibawa ke hadapan Rasulullah saw beliau menyuruh supaya mereka dilepaskan. Meski sebelumnya Mukriz bin Hafash dan orang-orangnya telah menyerang rombongan muslimin dengan panah, dikatakan sampai menyebabkan meninggalnya seorang muslim bernama Ibnu Zunaim, namun atas titah Rasulullah saw mereka semua dibebaskan dan dibiarkan kembali ke Quraisy dengan selamat.

Rasulullah saw memutuskan untuk mengirim delegasi ke pihak Quraisy. Awalnya Rasulullah saw menunjuk Umar bin Khattab, namun Umar mengatakan bahwa di Mekkah tidak ada ada orang yang bisa menolongnya, sedangkan orang-orang Quraisy sudah mengetahui bagaimana kerasnya permusuhannya pada mereka, mungkin saja mereka bakal membunuhnya. Dengan alasan itu Umar menolak diutus ke Mekkah. Dia menyarankan Rasulullah saw supaya mengutus Utsman saja, karena dia berasal dari Bani Umayyah dan memiliki banyak saudara berpengaruh di mata pemuka Quraisy.

Kemudian Rasulullah saw mengutus Utsman ke Mekkah. Untuk kesekian kalinya Rasulullah saw menerangkan kepada orang-orang Mekkah tentang maksud kedatangannya ke Mekkah (yaitu berziarah ke Baitullah lalu segera kembali ke Madinah), tetap saja mereka tidak mau tahu. Begitu sampai di Mekkah, pihak Quraisy tidak membiarkan Utsman kembali ke rombongan Rasulullah saw. Akhirnya tersebar isu bahwa Quraisy telah membunuh Utsman. Isu itu tersebar luas di kalangan muslimin, sebab itu Rasulullah saw menyeru pengikutnya untuk berbaiat padanya. Baiat itu dikenal dengan istilah Baiat Ridhwan. Seluruh muslimin yang hadir di Hudaibiyah berbaiat pada Rasulullah saw, kecuali Jadd bin Qais.

Hudaibiyah memang sebuah ujian yang nyata. Terbayangkah sebelum itu, Nabi SAW meminta baiat para sahabat berupa Baiatul Ridzwan. Nabi SAW resah karena Utsman bin Affan yang diutus ke kalangan Quraisy untuk membuka jalan rombongan bisa menunaikan ibadah haji di Makkah tak juga kembali. Ikrar ini dibuat demi men cegah perang. Ikrar itu berbunyi:

"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah me ngetahui isi hati mereka, lalu diturunkan-Nya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini." (Bai'at ar-Ridz wan).

Setelah beberapa waktu diketahui bahwa Utsman tidak dibunuh, dia hanya ditahan di Mekkah, Pihak Quraisy mengutus wakil ke pihak muslimin untuk mengadakan perjanjian damai. Di antara kesepakatan dari perjanjian tersebut adalah, untuk tahun itu kaum muslimin harus pulang ke Madinah tanpa mengunjungi Baitullah di Mekkah, dan tahun berikutnya baru boleh datang kembali. Inginnya supaya Quraisy tidak merasa dipermalukan di hadapan kabilah Arab lain. Orang yang diutus Quraisy bernama Suhail bin Amr. Ketika Rasulullah saw melihatnya beliau bersabda, "Quraisy mengutus orang ini karena ingin berdamai."

Setelah kedua pihak sepakat untuk membebaskan tawanan, Rasulullah saw dan perwakilan Quraisy lalu menandatangani kesepakatan damai. Rasulullah saw melihat, kesepakatan itu akan memberi keuntungan bagi kaum muslimin, karenanya beliau bersikap lunak. Contohnya adalah menerima permintaan Suhail bin Amr untuk mengganti kalimat "Bismillahirrahmanirrahim" pada pembukaan teks kesepakatan menjadi "Bismika Allahumma". Selain itu Rasulullah saw juga setuju untuk mengganti istilah "Rasulullah" di belakang nama beliau menjadi "Muhammad bin Abdullah."

Sikap lunak yang ditunjukkan Rasulullah saw membuat sebagian sahabat tidak terima dan menyampaikan kritik tajam. Bahkan ada yang berbicara keras dan bertanya dengan cara tidak sopan pada Rasulullah saw. Di antaranya adalah Umar bin Khattab, dia bersikap kasar pada Nabi saw.

Menurutnya isi kesepakatan damai sangat menghina kaum muslimin. Dia bersikeras atas anggapannya itu, sampai-sampai Abu Ubaidah al-Jarrah berkata padanya supaya berlindung kepada Allah swt dari kejahatan bisikan setan dan merubah pandangannya yang keliru itu. Di kemudian hari Umar sendiri mengakui bahwa saat di Hudaibiyah dia bahkan sampai ragu akan kenabian Nabi Muhammad saw. Dia juga menyatakan: "Dulu aku menolak titah Rasulullah saw atas pandangan pribadi".

Seusai perundingan Rasulullah saw bersabda pada Ali ra, "Tulislah 'Bismillahirrahmanirrahim'". Suhail bin Amr berkata, "Ini bukan cara kami, harus ditulis sebagaimana yang sudah biasa di kalangan kami, yaitu 'Bismika Allahumma'." Atas titah Rasulullah saw, Ali ra  menulis sebagaimana yang diminta Suhail.

Saat Rasulullah saw melanjutkan, "Tulislah, 'Berikut adalah kesepakatan antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr'." Suhail kembali menyela, "Kalau kami menerimamu sebagai 'Rasulullah' tentunya kami tidak akan pernah bermusuhan dan berperang denganmu, bagian ini juga harus dihapus dan diganti dengan 'Muhammad bin Abdullah'." Rasulullah saw pun menerima permintaan itu. Rasulullah saw melihat Ali ra merasa tidak enak hati karena harus menghapus kata "Rasulullah" dari belakang nama Nabi Muhammad saw. Karenanya beliau bersabda pada Ali, "Ya Ali, tunjukkan di bagian mana, biar aku sendiri yang menghapusnya."

Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.

"Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah"

Selepas penandatanganan perjanjian Hudaibiyah, Abu Jandal bin Suhail bin Amr datang seorang penduduk Mekah yang merupakan anak dari Suhail bin Amr sendiri. Dia ingin menggabungkan diri dengan kaum Muslimin. Dia hendak pergi bersama mereka. Melihat anaknya berlaku demikian, Suhail memukul wajah anaknya.

Abu Jandal r.a. adalah seorang pemeluk Islam yang saat itu sedang ditawan oleh kaum Quraisy. Dia banyak mengalami penyiksaan dan penderitaan karena ke-Islamannya. Ketika dia mendengar Nabi saw. sedang berkemah di Hudaibiyah, ia segera melarikan diri menuju tenda Nabi saw. dengan harapan apabila bergabung dengan kaum muslimin ia dapat terhindar dari musibah yang dialaminya. Ayah Abu Jandal r.a. yaitu Suhail yang pada waktu itu belum memeluk Islam (ia baru memeluk Islam pada waktu futuh Makkah) adalah wakil pihak Quraisy untuk berunding dengan Nabi saw. ketika perjanjian Hudaibiyah akan ditandatangani, ia telah menampar Abu Jandal r.a. dan memaksanya kembali ke Makkah. Oleh karena perjanjian Hudaibiyah itu belum ditandatangani, maka Nabi saw. menyatakan bahwa larinya Abu Jandal r.a. ke pihak kaum muslimin belumlah terikat di bawah perjanjian itu.

Nabi saw. berkata kepada Suhayl, “Engkau tidak bisa memaksanya kembali ke Makkah dan saya berharap agar ia dikembalikan kepadaku”.

Tetapi ayah Abu Jandal menolak alasan-alasan Rasulullah saw itu. Penderitaan Abu Jandal r.a. ini sangat menyakiti perasaan para sahabat. Tetapi apa daya, karena menginginkan perdamaian, Nabi saw. terpaksa menyerahkannya kembali kepada pihak Quraisy sambil menghiburnya dengan kata-kata sebagai berikut: “Janganlah engkau bersedih, wahai Abu Jandal, insya Allah, Allah akan membuka jalan bagimu.”

Direnggutnya leher Abu Jandal untuk di bawa kembali kepada kaum Quraisy. Abu Jandal pun berteriak keras. "Saudara-saudara Muslimin. Saya akan dikembalikan ke pada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini!" Kaum Muslimin pun gelisah. Mereka tidak senang dengan hasil perjanjian tersebut.

Mikraz dan Huwaythib adalah kerabat Suhayl yang melihat peristiwa tersebut merupakan permulaan yang tidak menguntungkan bagi pihak Rasulullah saw dalam  perjanjian gencatan senjata tersebut, kemudian ikut bicara,"Hai Muhamad, kami akan memberikan perlindungan atas namamu", ujarnya, dengan demikian Abu Jandal akan di bawa bersama mereka dan di jauh kan dari ayahnya, Suhayl, agar tidak disiksa oleh Suhayl.

Nabi SAW pun mengarahkan kata-katanya kepada Abu Jandal. "Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan satu jalan keluar. Kita sudah menadatangani persetujuan dengan golongan itu, dan ini sudah kita berikan kepada mereka. Dan mereka pun sudah pula memberikan kepada kita. Dengan nama Allah, kita tidak akan mengkhianati mereka."

Rombongan yang terdiri atas 1.400 orang itu geram melihat kejadian tersebut. Sebagian diantaranya dengan hati gusar. Banyak diantara mereka menghitung apa yang sudah dilakukan Nabi saw. Saat melakukan perjanjian dengan Suhail, Nabi kerap mengalah. Rasulul lah bersedia mengganti kalimat bismillahirrahmanirrahim dengan bismikal lahumma sesuai permintaan Suhail. Nabi saw pun mau untuk mengganti titel Mu ham mad Rasulullah dengan Muhammad bin Abdullah setelah diprotes Suhail yang memang tidak mengakui kenabian Muhamad saw.

Peristiwa Abu Jandal seakan mengukuhkan kembali pertanyaan mereka. Poin perjanjian Hudaibiyah yang menyebutkan golongan Quraisy yang menyeberang kepada Nabi Muhammad harus dikembalikan sementara kaum Muslimin yang hendak berpihak kepada Makkah tidak perlu dikembalikan dinilai tak seimbang. Sampai-sampai Umar bin Khattab menghampiri dan berkata kepada Rasulullah saw,"Bukankah engkau Nabi Allah?", dan Rasulullah saw mengiyakan,"Bukankah kita dipihak yang benar dan musuh dipihak yang salah?", ujar Umar, dan di iyakan oleh Rasulullah saw, "Lantas mengapa kita begitu lemah memepertahankan kehormatan agama kita?", ujar Umar, Rasulullah saw segera menjawab,"Aku Rasulullah dan aku tidak akan menentang Nya, Allah akan memberiku kemenangan", kemudian Umar berkata,"Tapi, bukankah engkau mengatakan kepada kami, kita haru pergi ke Baitullah dan bertawaf disana?", tanya Umar. "Begitulah, namun bukankah aku tidak mengatakan kita akan pergi tahun ini?, sesungguhnya kalian akan pergi ke Ka'bah dan bertawaf di sana", ujar Rasulullah saw sambil menunjuk ke arah Ka'bah. Umar diam, membenarkan ucapan Rasulullah saw.

Namun, kedongkolan Umar belum reda, dan menghampiri Abu Bakar: "Bukankah dia Rasulullah?" "Ya, memang!" "Bukankah kita ini Muslimin?" "Ya memang" "Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?" Abu Bakar pun menjawab: "Umar, duduklah di tempat mu. Aku bersaksi bahwa dia Rasulullah." Rasulullah saw kemudian shalat. Ia gelisah melihat keadaan orang-orang sekelilingnya.

Setelah keadaan mulai tenang, Nabi saw berdiri dan menyembelih hewan kurbannya. Ia duduk kembali. Rambut kepalanya di cukur sebagai tanda umrah sudah di mulai. Hatinya merasa tenteram. Rombongan lantas mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah saw. Sebagian ada yang menggunting rambut kawanya, lainnya ada yang memangkas rambut pendek.

Nabi SAW pun mendoakan orang-orang yang dicukur rambutnya. Orang-orang kembali gelisah. Mereka berkata: "Dan mereka yang memangkas rambut, ya Rasulullah?" "Dan mereka yang berpangkas rambut," kata Nabi saw. Sahabat kemudian bertanya: "Kenapa hanya doa yang bercukur yang didahulukankan? Bukan orang yang menggunting rambut juga?" Nabi saw menjawab: "Karena mereka tidak ragu-ragu."

Menurut berbagai riwayat, kaum muslimin berada di Hudaibiyah selama 10 hari lebih, ada yang mengatakan hingga 20 hari. Rasulullah saw mendirikan kemahnya di luar Haram, namun beliau melakukan salat di Haram. Begitu penulisan isi perjanjian selesai dan telah disetujui oleh masing-masing pihak, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya untuk menyembelih onta-onta mereka sebagai kurban dan mencukur kepala. Banyak sahabat yang tidak mematuhi perintah itu. Alasannya mereka kecewa dan tidak senang karena batal menunaikan haji. Mereka juga menganggap Perjanjian Hudaibiyah adalah bentuk kekalahan bagi kaum muslimin. Namun setelah melihat Rasulullah saw melakukan sendiri apa yang beliau perintahkan tadi, mereka akhirnya mengikutinya. Setelah itu Rasulullah saw beserta kaum muslimin kembali ke Madinah.

Dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah ke Madinah Allah swt menurunkan Surah Al-Fath kepada Rasulullah saw. Dalam surah tersebut Allah swt menyebut Perjanjian Hudaibiyah sebagai Fath Mubin (kemenangan yang nyata). Atas kesediaan kaum muslimin berbaiat pada Rasulullah saw, Allah swt menjanjikan pada mereka akan menganugerahi banyak kemenangan dan ghanimah berlimpah.

وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْوَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرً

"Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasanakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." QS Al-Fath 24

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Rasulullah menganggap surat ini kebaikan dari apa yang matahari terbit diatasnya (dunia) karena memang ada janji dan kabar gembira disana. Keterangan ini di tukil dari Hadis shahih Bukhari yang bersumber dari Umar bin Khattab. Rasulullah SAW bersabda: "Tadi malam telah turun wahyu kepadaku. Ayat itu lebih aku cintai dari apa yang matahari terbit diatasnya." Selanjutnya Nabi saw membacakan QS al-Fath tersebut.

Menurut mayoritas mufasir, janji Allah swt itu menyangkut kemengan dalam Perang Khaibar yang terjadi pada tahun ke-7 H/628. Dari Perang Khaibar kaum muslimin memperoleh banyak harta rampasan. Di dalam kitab Shahih Muslim tercatat ketika Surah Al-Fath turun setelah peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw mengirim orang untuk menemui Umar dan memperdengarkan wahyu yang turun itu padanya.

Hudaibiyah menorehkan sejarah berharga bagi kaum Muslimin. Iman kepada janji Allah lewat lisan Rasulullah saw akan datang. Untuk kebanyakan awam, perjanjian ini merugikan. Bagaimana tidak? Rombongan besar yang berjumlah lebih dari seribu orang itu harus kembali ke Madinah karena menerima keberatan kaum Quraisy. Padahal, mereka sudah menempuh perjalanan berliku dengan medan nan terjal. Mereka lebih suka untuk perang ketimbang pulang kembali ke Makkah. Namun, mereka pun taat meski berat kepada perjanjian yang sudah ditorehkan Nabi saw bersama Suhail bin Amr.

Hudaibiyah menjadi satu kemenangan yang nyata bagi kaum Muslimin. Sejarah mencatat, isi perjanjian ini merupakan satu kebijaksanaan dan pandangan yang jauh ke depan. Usai Hudaibiyah, kaum Quraisy pertama kali mengakui Muhammad bukan sebagai pemberontak. Namun, sebagai orang yang setara dengan mereka. Mereka pun mengakui kedaulatan Islam. Mereka juga membuat pengakuan jika Nabi saw berhak berziarah ke Ka'bah serta melakukan upacara-upacara ibadah haji. Satu peng akuan pula bahwa Islam diakui sebagai agama yang sah.

Gencatan senjata tersebut pun membuat pihak Muslimin jauh lebih aman. Kaum Muslimin tidak khawatir akan mendapat serangan Quraisy yang juga menjadi jalan untuk Islam lebih menyebar. Bukankah orang-orang Quraisy yang menjadi musuh utama orang Islam sudah tunduk dalam perjanjian. Dua bulan setelah Hudaibiyah, Nabi saw bahkan mulai mengirimkan surat surat kepada para raja dan kepala negara sekelas Heraklius di Romawi hingga Khosrou di Persia. Sejarah mencatat, usai perjanjian peletakan senjata tersebut, Islam tersebar jauh lebih besar.

Pada suatu hari saat di Hudaibaiyyah, orang-orang mengalami kehausan. Mereka tidak mendapatkan air untuk minum dan berwudhu kecuali sedikit yang ada di wadah minum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, lalu manusia berebut untuk mendapatkan air karena sangat sedikitnya air, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah yang terjadi dengan kalian?” Mereka menjawab, “Kami tidak memiliki air untuk berwudhu dan minum melainkan yang engkau miliki.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di sebuah tempat, lalu air memancar dari jari-jari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti mata air. Kemudian kamipun minum dan berwudhu.

Kemudian perawi hadits, Salim bin Abi Ja’d bertanya kepada Jaabir bin Abdillah: “Berapakah jumlah kalian?” Jaabir menjawab, “Seandainya jumlah kami seratus ribu, pastikan akan mencukupi. Akan tetapi jumlah kami hanya lima ratus orang).” (HR. Al-Bukhari no. 3576, dan Muslim no. 1856)

Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ketika itu waktu Ahsar telah tiba. Lalu manusia mencari air untuk berwudhu, tetapi tidak memperolehnya. Lalu ada seseorang membawakan air untuk berwudhu. Maka beliau meletakkan tangannya ke dalam bejana tempat air itu, dan menyuru semua orang berwudhu dari situ.” Anas bin Malik Radiyallahu Anhu berkata: “Saya melihat air keluar dari jari-jari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga semua orang dapat berwudhu dengan air itu.” (HR. Bukhari, 3573, dalam kitab Manaqib, Bab: Alamat Nubuwwah fil-Islam, dan Muslim, 2279)

Qadhi Iyadh berkata, “Kisah yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (dipercaya) ini dari kalangan jamaah yang banyak, sanadnya sampai kepada para sahabat. Dan peristiwa itu terjadi di tempat-tempat berkumpulnya sebagian mereka, di tempat keramaian, dan di tempat berkumpulnya pasukan perang. Tidak ada satu pun yang mengingkari perawi tersebut. Sehingga hal ini merupakan sebuah tambahan yang menjelaskan tentang kenabiannya.” (Fathul-Bari, 6/676)

Ibnu Abdil Barr menukil perkataan Imam Al-Muzani, bahwasanya ia berkata: “Keluarnya air dari jari-jemari Rasulullah itu merupakan mukjizat yang lebih agung ketimbang keluarnya air dari batu ketika Nabi Musa memukulkan tongkatnya yang kemudian memancarkan air darinya. Karena keluarnya air dari batu merupakan perihal yang telah dimengerti dan dikenal, berbeda dengan keluarnya air di antara daging dan darah.” (Fathul-Bari, 6/677)

Setelah mereka mulai pulang kembali ke Madinah, perasaan Umar mulai resah, dan semaki gelisah ketika ia mendekati Rasulullah saw untuk bercakap cakap, sementara Rasulullah saw seakan akan mengambil jarak untuk menghindar. Beberapa sat kemudian kegelisahan Umar menghilang ketika melihat wajah Rasulullah saw berseri seri bahagia,"Telah diturunkan kepadaku beberapa ayat", ujar Rasulullah saw," yang lebih kusukai daripada segala sesuatu di bawah matahari ini.

Wahyu yang baru turun tersebut memberi keyakinan bahwa perjalanan yang baru mereka lakukan dianggap sebagai sebuah kemenangan, karena wahyu tersebut dimulai dengan kalimat,

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata",(QS Al Fath 1) 

Ayat itu juga membicarakan tentang perjanjian Hudaibiyah;

"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya" (QS. Al Fath 18)

Kebahagiaan Jannah dengan janji Rhidwan bagi siapa saja yang memenuhi janji setianya. Karenanya, perjanjian ini dikenal juga dengan nama perjanjian Rhidwan, Turunya sakinah, hati yang damai, juga disebutkan dalam ayat yang lainya ;

"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah, di samping keimanan mereka yang telah ada... supaya Dia memasukan orang orang mukmin laki laki dan perempuan ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah" (QS Al Fath 4-5)

Mimpi Rasulullah saw juga dibenarkan oleh Allah SWT.

"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, yaitu bahwa sesungguhnya kamu akan memasuki Masjidil Haram, insha Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat" (QS Al Fath 27)

Sehari setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw terbangun dari tidur siangnya karena mendengar perdebatan yang agak sengit, Beliau mengenali suara Ali, Zayd dan Ja'afar, dan jelas sekali mereka sedang berselisih satu sama lainya. Semakin mereka mengemukakan pendapatnya semakin membuat mereka menjauh dari kesepakatan. Rasulullah saw membuka pintu dan memanggil mereka masukdan menayakan apa yang menyebabkan mereka berselisih. Mereka menegaskan bahwa sengketa itu menyangkut kehormatan; siapa diantara mereka yang paling berhak mengasuh putri Hamzah yaitu Umarah, yang kini berada di rumah Ali sejak kedatanganya dari Mekah. "Kemarilah, aku akan memberi keputusan diantara kalian", ajak Rasulullah saw.

Setelah mereka semua duduk, pertama tama Beliau menoleh kepada Ali dan menanyakan apa yang hendak dikatakanya. "Dia adalah putri pamanku, dan akulah yang membawanya dari Mekah, maka aku paling berhak mengasuhnya", ujar Ali. Lalu, Rasulullah saw menoleh kepada Ja'far, kemudian Ja'far berkata,"Dia juga putri pamanku dan bibinya tinggal dirumahku", ujarnya, istrinya Ja'far, Asma, adalah bibi Umarah dari pihak ibu. Sedangkan Zayd berkata,"Dia puteri saudaraku", Zayd telah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Hamzah ketika mereka tiba di Madinah dan Hamzah telah berwasiat menyerahkan semua urusanyakepada Zayd. Tidak diragukan lagi, masing masing mengaku paling berhak. Maka, sebelum memutuskan perkara, Rasulullah saw memuji mereka masing masing, Beliau berkata kepada Ja'far, "Engkau mirip denganku dalam rupa dan karakter", setelah melihat mereka merasa tentram, maka Rasulullah saw menetapkan keputusanya dengan memenangkan Ja'far. "Engkau paling berhak atasnya, kedudukan seorang bibi sama dengan ibu", ujar Rasulullah saw, Ja'far tidak berkata apa apa, melainkan bangkit  dan menari berputar putar mengelilingi Rasulullah saw, "Ja'far apa apan ini?", ujar Rasulullah saw keheranan, dan Ja'far menjawab,"Inilah yang kulihat dilakukan oleh oang orang Abysinia (Habasyah) untuk menghormati raja mereka, jika Negus membuat seseorang senang maka orang itu akan berdir dan menari mengelilinginya", ujarnya.

Pada hari berikutnya, datang seorang muslim lainnya yang juga pernah disiksa di Makkah karena masuk Islam, berhasil melarikan diri ke Madinah untuk mendapat perlindungan dari Rasulullah satv., dia adalah Abu Bashir r.a. Permintaan Abu Bashir untuk tinggal di Madinah terpaksa ditolak oleh Nabi karena menghormati perjanjian Hudaibiyah. Kaum Quraisy mengutus dua orang untuk membawanya kembali ke Makkah. Ketika dua orang itu menjemputnya, dia diserahkan kepada mereka, tetapi Rasulullah saw. menasihatinya supaya bersabar dan mengharapkan pertolongan Allah.

Dalam perjalanan ke Makkah, Abu Bashir r.a. berhasil melepaskan ikatan tanganya. Abu Bashir r.a. berkata kepada salah seorang kafir yang mengawalnya, “Hai sobat, alangkah bagusnya pedangmu itu.”

Mendengar pedangnya dipuji sedemikian rupa, orang itu merasa bangga lalu mengeluarkan pedang itu sambil berkata, “Engkau benar, pedang ini memang bagus dan saya telah menggunakannya untuk membunuh beberapa orang.” dengan sombongnya sambil berkata demikian dia menyodorkan pedangnya kepada Abu Bashir r.a, yang tak curiga sedikitpun bahwa Abu Bashir sudah terlepas dari ikatan tanganya.

Pengawal tersebut kaget dan tidak sempat mencegah ketika Abu Bashir berhasil merampas pedangnya, ketika pedang itu sudah berada di tangan Abu Bashir r.a., maka Abu Bashir r.a. segera membunuh pemilik pedang itu. Melihat peristiwa itu, pengawal yang lain merasa bahwa ia pun akan dibunuhnya juga, maka segera ia lari ke Madinah untuk mengadukan kejadian itu kepada Nabi saw. Ia berkata kepada Nabi saw., “Teman saya telah dibunuh, dan sekarang dia mengincar saya.”

Sementara itu Abu Bashir r.a. telah tiba di hadapan Nabi saw.. Ia berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, engkau telah menyerahkan saya untuk menunaikan perjanjian engkau dengan pihak kafir Quraisy. Tetapi saya tidak terikat sedikit pun dengan petjanjian itu, karena saya khawatir mereka akan merusak iman saya, maka saya telah melepaskan diri dari mereka.”

Nabi saw. berkata, “Sekalipun saya merasa senang dapat menolongmu, tetapi secara tidak sadar engkau sedang menyalakan api peperangan.”

Mendengar perkataan Nabi saw. Abu Bashir r.a. berpikir dia akan diserahkan kembali kepada kaum musyrikin seandainya mereka berhasil membujuk Nabi saw.. Oleh karena itu ia segera pergi meninggalkan Madinah menuju ke sebuah tempat di padang pasir dekat pantai. Tidak lama kemudian Abu Jandal r.a. pun menyertainya setelah melepaskan diri dari kaum Quraisy. Demikian pula orang-orang muslim lainnya yang ditawan oleh kaum kafir Quraisy, mereka pun melarikan diri dan bergabung dengan Abu Bashir r.a., sehingga jumlah mereka semakin banyak.

Dalam beberapa hari perjalanan, Abu Bashir pun tiba di sebuah hutan yang tidak dijumpai makanan sedikit pun. Mereka tidak menemukan kebun dan penduduk, sehingga mereka mengalami penderitaan hidup yang amat berat di tempat persembunyian itu. Hanya Allah Swt. yang mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya.

Karena tidak terikat dengan perjanjian Hudaibiyah, mereka selalu mengganggu dan menyerang kafilah-kafilah Quraisy yang lewat ke tempat persembunyian mereka. Demikian hebatnya gangguan mereka, sehingga pihak Quraisy tepaksa menemui Nabi saw. untuk membujuk beliau agar menghentikan gangguan-gangguan mereka itu dan menarik kembali rombongan mereka. Dengan demikian perjalanan kafilah-kafilah Quraisy akan lancar kembali. Kemudian Rasulullah saw. mengirim surat dan mengizinkan mereka memasuki Madinah. Diceritakan bahwa ketika menerima surat dari Nabi saw. itu Abu Bashir sedang mengalami sakaratul maut. Abu Bashir r.a. kemudian wafat sambil memegang surat dari Rasulullah saw.. (Hr. Bukhari – Fathul Baari)