Pada akhir tahun ke-4 kenabian, kondisi umat Islam yang sangat lemah baik itu segi jumlah maupun dari segi perpolitikan, dan ditambah setiap hari umat Islam disiksa dengan sadis oleh orang-orang kafir Quraisy, waktu demi waktu siksaan orang-orang kafir Quraisy kepada umat Islam makin gencar dilakukan, sehingga tidak ada tempat yang aman lagi di Mekkah,[2] hingga turunlah wahyu
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar. 10)
Kemudian akhirnya pada tahun kelima setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW menjadi nabi dan Rasul, kaum muslim di kota Mekah saat itu berada dalam kondisi tidak stabil. Banyak penyiksaan dan penindasan yang dialami oleh para sahabat. Jiwa dan raga mereka tertekan oleh pembesar Quraisy yang bertindak semena-mena kepada mereka hanya karena iman kepada Nabi.
Memang Nabi Muhammad SAW, pribadi tidak mengalami apa yang terjadi pada sahabatnya, karena di samping beliau selalu dilindungi Allah SWT, beliau -secara politik saat itu- berada dalam jaminan pamannya Abu Thalib, salah satu pembesar yang disegani di kalangan Quraisy, namun, Rasul SAW tidak mampu berbuat apa-apa, ketika melihat para sahabatnya dalam tekanan yang sedemikian rupa.
“Kalau pun kalian bersedia untuk keluar ke negari Habasyah, di sana ada seorang raja yang tak membiarkan seorang pun dianiaya di daerah kekuasaannya. Kalian tinggal lah di sana sampai Allah memberi jalan keluar,” ucap Nabi.
Habasyah adalah sebuah negara di belahan benua Afrika yaitu Ethiopia, Nama raja tersebut adalah Ashamah an-Najasy (Negus), yang lebih dikenal dengan raja Najasy. pada tahun 525 ketika kerajaan Aksum ini di pimpin oleh rajanya yang bernama Negus Kaleb pernah mengirim seratus ribu pasukan dan seratusan ekor gajah dan menugasi jendralnya yaitu Aryat dan Abrahah untuk memimpin pasukan tersebut untuk menaklukan kerajaan Yahudi yaitu kerajaan Himyar di Yaman, Arab selatan (wikipedia)
Tepatnya pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian, berangkatlah rombongan sahabat yang pertama hijrah ke Habasyah yang terdiri dari 12 laki-laki dan 4 wanita yang dipimpin langsung oleh Sayyidina Ustman bin Affan beserta istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah saw.
Di antara sahabat yang ikut hijrah ke Habasyah adalah:
Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah bin Abdu Syams
Sahlah binti Suhail bin Amr (Istri Abu Hudzaifah)
Az Zubayr bin Awwam bin Khuwailid bin Asad
Mush’ab bin Umair
Abdurrahman bin Auf
Abu Salamah bin Abdul Usd
Ummu Salamah binti Abu Umayyah (Istri Abu Salamah)
Ustman bin Madz’un
Amir bin Rabi’ah
Laila binti Abu Hastmah bin Hudzafah (Istri Amir bin Rabi’ah)
Abu Sabrah bin Abu Ruhm
Suhail bin Baidha’
Dengan sembunyi-sembunyi, berangkat lah kafilah pertama menuju negeri Habasyah. Beranggotakan dua belas laki-laki dan empat perempuan. Beberapa ada yang naik tunggangan, beberapa yang lain berjalan kaki. Sesampainya di tepi laut, dengan pertolongan Allah, mereka mendapati dua kapal yang sedang berlabuh dan segera membawa rombongan itu berlayar menuju belahan bumi lain, mencari harapan baru dalam perjalanan hidup.
Meski misi ini sudah dilaksanakan secara rahasia, namun pembesar Quraisy akhirnya mencium pergerakan kaum muslimin. Mereka tidak tinggal diam, serta-merta disiapkan pasukan khusus untuk mengejar kafilah muslimin. Sayang beribu sayang, pasukan itu tak mendapati satu kapal pun sesampainya mereka di tepian pantai. Misi pengejaran pun gagal.
Setelah sekitar 3 bulan kaum muslimin tinggal di Habasyah, sebagian mereka kembali lagi ke Makkah karena mendengar kabar ada sikap melunak dari kaum musyrikin terhadap kaum muslimin. Namun berita tersebut ternyata dusta. Bahkan terjadi tekanan yang lebih keras dari mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa pemboikotan.
Karena tekanan musyrikin Quraisy semakin keras, maka sekitar 80 orang muslimin melakukan hijrah ke Habasyah. Hal ini membangkitkan kemarahan suku Quraisy, dan mendorongnya untuk berfikir tentang hijrah itu, serta menganggapnya sebagai bahaya besar. Hal ini karena hijrah itu akan menjadi sebab dikenalnya Islam di Habasyah, dan menjadi kesempatan mereka mempersiapkan diri untuk mengembalikan kekuatannya mendukung dan membela Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka yakin bahwa ini bukan sekedar hijrah untuk menyelamatkan diri, akan tetapi hijrah untuk menguatkan dan menyiapkan kaum muslimin.
Maka mereka berkumpul dan menyepakati pengiriman Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, bersama dengan membawa hadiah kepada Najasyi dan orang-orang di sekitarnya.
Keduanya berangkat. Setelah sampai di Habasyah kedunya membawa hadiah khsusus untuk Najasyi dan hadiah untuk orang-orang di sekelilingnya. Keduanya berkata kepada meraka,
إِنّ نَاساً مِنْ سُفَهَائِنَا فَارَقُوا دِيْنَ قَوْمِهِمْ ، وَلَمْ يَدْخُلُوْا فِي دِيْنِ الْمَلِكِ ، وَجَاءُوا بِدِيْنٍ مُبْتَدِعٍ ، لاَ نَعْرِفُهُ نَحْنُ وَلاَ أنْتُمْ ، وَقَدْ أَرْسَلْنَا أشْرَافَ قَوْمِهِمْ إِلَى الْمُلْكِ لِيَرُدَّهُمْ ، فَإِذَا رَجَوْنَا الْمَلِكَ فِي ذَلِكَ فَأشِيْرُوْا عَلَيْهِ بِأنْ يُرْسِلَهُمْ مَعَنَا
“Sesungguhnya ada beberapa orang bodoh dari bangsa kami yang meninggalkan agama kaumnya dan tidak memeluk agama tuan raja. Mereka datang dengan agama baru, yang kita dan kalian semua tidak mengenalnya. Dan sesunggunya para pembesar kaumnya telah mengutus kami kepada tuan raja untuk meminta pemulangan mereka, maka kami memohon hal ini kepada tuan raja agar mengirimkan mereka pulang bersama kami.”
Para pembantu Najasyi mengusulkan kepadanya agar menyerahkan kaum muslimin kepada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Maka Najasyi marah dan mengatakan,
لاَ وَاللهِ لاَ أسَلِّمُ قَوْماً جَاوَرُوْنِي وَنَزَلُوْا بِبِلاَدِي وَاخْتَارُوْنِي عَلَى مَنْ سِوَايَ ، حَتَّى أَدْعُوَهُمْ فَأَسْألُهُمْ عَمَّا يَقُوْلُ هَذَا فَإِنَّ كَانَا صَادِقِيْنَ سَلَّمْتَهُمْ إِلَيْهِمَا، وَإِنْ كَانَ الرِّجَالُ عَلَى غَيْرِ مَا يَقُوْلُ هَذَا مَنَعْتهم وأحْسَنْتُ جِوَارَهُمْ
“Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan kaum yang meminta perlindungan kepadaku, tinggal di negeriku dan memilih kami dari pada yang lainnya, sehingga kami panggil mereka dan kami tanyakan tentang apa yang dikatakan kedua orang ini. Jika betul kedua orang ini maka akan saya serahkan kepada mereka, dan jika mereka itu tidak seperti yang keduanya katakan, maka saya tidak akan menyerahkannya dan akan saya lindungi dengan baik.”
Kemudian Najasi mengutus seseorang untuk menghadirkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Setelah dipanggil dan hadir di hadapan Najasi, mereka ditanya,
مَا هَذَا الدِّينُ الَّذِي قَدْ فَارَقْتُمْ فِيهِ قَوْمَكُمْ ، وَلَمْ تَدْخُلُوا بِهِ فِي دِينِي ، وَلَا فِي دِينِ أَحَدٍ مِنْ هَذِهِ الْمِلَلِ ؟
“Agama apakah yang telah membuat kalian meninggalkan kaum kalian, juga tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku, atau ke dalam agama orang pengikut berbagai kepercayaan?”
Ja’far Bin Abu Thalib Menjelaskan Tentang Islam
أَيُّهَا الْمَلِكُ كُنَّا قَوْمًا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ وَنُسِيءُ الْجِوَارَ يَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعَفَافَهُ فَدَعَانَا إِلَى اللَّهِ لِنُوَحِّدَهُ وَنَعْبُدَهُ وَنَخْلَعَ مَا كُنَّا نَعْبُدُ نَحْنُ وَآبَاؤُنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ الْحِجَارَةِ وَالْأَوْثَانِ وَأَمَرَنَا بِصِدْقِ الْحَدِيثِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَحُسْنِ الْجِوَارِ وَالْكَفِّ عَنْ الْمَحَارِمِ وَالدِّمَاءِ وَنَهَانَا عَنْ الْفَوَاحِشِ وَقَوْلِ الزُّورِ وَأَكْلِ مَالَ الْيَتِيمِ وَقَذْفِ الْمُحْصَنَةِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ قَالَ فَعَدَّدَ عَلَيْهِ أُمُورَ الْإِسْلَامِ فَصَدَّقْنَاهُ وَآمَنَّا بِهِ وَاتَّبَعْنَاهُ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ فَعَبَدْنَا اللَّهَ وَحْدَهُ فَلَمْ نُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَحَرَّمْنَا مَا حَرَّمَ عَلَيْنَا وَأَحْلَلْنَا مَا أَحَلَّ لَنَا فَعَدَا عَلَيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُونَا وَفَتَنُونَا عَنْ دِينِنَا لِيَرُدُّونَا إِلَى عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَأَنْ نَسْتَحِلَّ مَا كُنَّا نَسْتَحِلُّ مِنْ الْخَبَائِثِ فَلَمَّا قَهَرُونَا وَظَلَمُونَا وَشَقُّوا عَلَيْنَا وَحَالُوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ دِينِنَا خَرَجْنَا إِلَى بَلَدِكَ وَاخْتَرْنَاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ وَرَغِبْنَا فِي جِوَارِكَ وَرَجَوْنَا أَنْ لَا نُظْلَمَ عِنْدَك أَيُّهَا الْمَلِكُ
“Wahai raja, kami dulu adalah kaum Jahiliyyah menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat perbuatan keji, memutus silaturrahmi, berbuat buruk kepada tetangga, yang kuat dari kami memakan yang lemah. Kami berada dalam kondisi itu hingga Allah utus kepada kami Rasul dari kami yang kami kenal nasabnya (garis keturunannya), kejujurannya, sikap amanah dan iffah pada dirinya. Beliau mengajak kami untuk untuk beribadah hanya kepada Allah dan melepaskan sesembahan yang disembah oleh kami dan ayah-ayah kami berupa batu dan berhala-berhala. Beliau memerintahkan kami untuk jujur dalam menyampaikan berita, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari hal yang diharamkan dan menjaga darah (orang lain). Beliau melarang kami dari perbuatan keji, ucapan palsu, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang baik berbuat zina. Beliau memerintahkan kami untuk menyembah Allah semata tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun. Beliau memerintahkan kepada kami untuk shalat, zakat, shaum (puasa) –kemudian beliau menyebutkan perintah-perintah Nabi yang lain- selanjutnya Ja’far berkata maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikutinya. Maka kami beribadah hanya kepada Allah tidak berbuat syirik sedikitpun. Kami mengharamkan yang diharamkan kepada kami dan kami menghalalkan yang dihalalkan kepada kami. Maka dengan itu kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan memfitnah kami dari Dien kami agar kami kembali menyembah berhala-berhala selain Allah, kembali menghalalkan yang sebelumnya kami halalkan berupa keburukan-keburukan. Ketika kaum kami itu memaksa dan mendzhalimi kami hingga berat itu kami rasakan, mereka mencegah kami dari Dien kami, maka kami keluar menuju negeri anda. Kami memilih Anda bukan yang lain kami ingin berada dekat dengan Anda. Kami berharap tidak didzhalimi ketika berada di sisi (dekat) Anda wahai raja.” (H.R Ahmad)
Lalu Najasyi bertanya, “Apakah ada padamu sebagian yang dibawakan oleh Nabimu dari Allah yang dapat kamu bacakan kepadaku?”
Kemudian Ja’far membacakan surah Maryam dari awal surah sampai pada ayat 31,
فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ
“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?’ Berkata Isa: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 29 – 31)
Ketika Najasyi mendengar Al-Qur’an itu ia berkata, “Sesungguhnya yang ini dan yang dibawa Isa adalah keluar dari sumber yang sama.” Kemudian ia berkata kepada kedua utusan Quraisy, “Pulanglah kalian berdua, kami tidak akan serahkan mereka kepada kalian berdua.”
Keesokan harinya Ibnul-Ash mendatangi kembali Najasyi dan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya kaum muslimin ini, mengatakan tentang Isa dengan perkataan yang berbahaya”
Nasjasyi memanggil mereka dan menanyakan kepada mereka tentang perkataan mereka terhadap Nabi Isa.
Ja’far menjawab, “Isa adalah abdullah (hamba Allah), rasul-Nya, dan kalimat yang diberikan kepada Maryam yang suci”
Najasyi lalu memungut sebatang ranting pohon dan tanah. Ia kcmudian berujar, “Demi Allah, apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi isa bin Maryam meski seukuran ranting ini.” Kemudian Raja Najasy memukulkan tongkatnya ke tanah, seketika yang di istana terdiam dan kaget, raja Najasy pun berkata, “Demi Allah sesungguhnya apa yang dikatakan kalian tentang Isa tidak jauh berbeda dengan apa yang kami yakini.”
Para uskup geram mendengar pernyataan raja Najasy dan Najasy pun berkata “Ada apa dengan kalian?” para uskup tersebut diam membisu tak berani membalas ucapan sang Najasyi.
Kemudian Najasyi berkata kepada kaum muslimin "Kalian akan aman di negeriku, barangsiapa melecehkan kalian, ia pasti merugi dan barang siapa merendahkan kalian ia pasti merugi. Walaupun memiliki gunung emas tapi jika aku harus menyakiti salah satu dari kalian (kaum muslimin) maka hal itu sangat kubenci.”
Kemudian raja Najasy mengembalikan hadiah-hadiah yang telah diberikan oleh utusan dari Quraisy, dan mereka pun pulang dengan kecewa dan kaum Muslimin pun mendapat perlindungan yang aman di negeri Habasyah.
Hijrah ini mendatangkan keuntungan yang besar. Kegagalan kaum kafir memulangkan kaum muslimin dari Habasyah menjadi jalan terungkapnya kebatilan dan kebodohan paganisme, serta menjadi jalan untuk mengungkapkan prisnsip-prisnip Islam yang toleran dan ajarannya yang bermanfaat.
Peristiwa ini juga berdampak pada tersebarnya ketakutan di Mekah, membuat tokoh-tokoh kafir Qurays bimbang dan tidak tahu apa lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka merasa bahwa kendali telah lepas dari tangannya, dan mereka yang berlindung di Habasyah akan menjadi duta tentang kebaikan Islam, menjadi kekuatan dan penopang utamanya.
Adalah Ubaidillah bin Jahsy, ketika menyebutkan beberapa orang yang menghindari penyembahan orang-orang Quraisy terhadap berhala, Ibnu Ishaq berkata. “Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Ubaidullah bin Jahsy, Utsman bin Huwairits dan Zaid bin Amru bin Nufail. Sebagian mereka berkata pada sebagian yang lain, ‘Kalian tahu, demi Allah, kaum kalian ini sama sekali tidak berada dalam kebenaran. Mereka telah jauh menyimpang dari agama nenek moyang mereka, Ibrahim. Apa hebatnya sebongkah batu yang kita kelilingi, padahal ia tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, tidak membahayakan maupun memberi manfaat ? Carilah (kebenaran) untuk diri kalian masing-masing, sebab demi Allah kalian tidak berada di atas kebenaran", mereka juga merasa heran dengan kaum Qurays yang suka menjual patung patung berhala di pasar pasar, bagaimana mungkin tuhan mereka hanya bernilai beberapa dirham saja, semurah itukah harga tuhan tuhan mereka?, begitulah keheranan mereka.
Mereka kemudian berpencar ke berbagai negeri untuk mencari agama yang hanif, agama Ibrahim. Selanjutnya Waraqah bin Naufal masuk agama Nasrani. Ubaidullah bin Jahsy tetap dalam kebimbangan hingga ia masuk Islam kemudian hijrah bersama kaum muslimin ke Habasyah. Ia membawa istrinya, Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang juga telah masuk islam. Tetapi ketika tiba di negeri ini Ubaidullah memeluk agama Nasrani dan meninggalkan agama Islam sampai ia mati di sana sebagai seorang kristiani.”
Kemudian Ibnu Ishaq berkata, “Muhammad bin Ja’far bin Zubair telah bercerita kepadaku, “Ubaidullah bin Jahsy –ketika telah masuk Kristen—melewati sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di negeri Habasyah. Ia berkata, ‘Kami telah melihat, sedangkan kalian masih meraba-raba.’ Maksudnya, kami telah menemukan kebenaran, sedangkan kalian masih mencari-carinya dan belum menemukannya.” (Ar-Raudhul Unuf, II: 538)
Selanjutnya, Ibnu Ishaq menuturkan peristiwa datangnya Ja’far bin Abi Thalib dari Habasyah. Ia berkata, “Muhammad bin Ja’far bin Zubair bercerita kepadaku dari Urwah yang berkata, “Ubaidillah berangkat (Ke Habasyah) bersama kaum muslimin sebagai serorang muslim. Ketika telah tiba di negeri Habasyah, ia memeluk agama Nasrani.” Urwah melanjutkan, “Bila ia melewati muslimin –Dan seterusnya seperti hadits di atas—“ Sanad hadits ini shahih tetapi mursal. Riwayat ini adalah yang paling shahih berkenaan dengan berita beralihnya Ubaidullah bin Jahsy ke dalam agama Nasrani.
Kisah ini juga diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat. Ia berkata, “Muhammad bin Umar mengabarkan kepada kami, Abdullah bin ‘Amru bin Sa’id bin ‘Ash, Ummu Habibah Menuturkan, “Dalam mimpi aku melihat Ubaidullah bin Jahsy, suamiku dalam rupa yang sangat buruk dan menjijikkan. Aku terperanjat. Spontan aku mengatakan, ‘Demi Allah, keadaannya akan berubah.’ Dan ternyata keesokan harinnya ia berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku telah meneliti semua agama dan aku tidak melihat yang lebih baik daripada Agama Nasrani. Dulu aku pernah memeluk keyakinan ini. Kemudian aku masuk agama Muhammad, dan kini aku kembali ke agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, itu tidak lebih baik bagimu.’ Aku lalu mengisahkan mimpi yang aku lihat, tetapi ia tidak memperdulikannya. Akhirnya ia kecanduan minum khamr sampai meninggal dunia.” (Thabaqat Ibnu Sa’ad, VII: 97)
Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan kisah ini ketika menyebutkan jumlah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat membicarakan Ummu Habibah, ia berkata, “Sebelum menjadi istri Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, ia menikah dengan Ubaidullah bin Jahsy yang telah masuk Islam dan hijrah ke Habasyah. Namun kemudian Ubaidullah murtad dan memeluk agama Kristen. Ia mati di sana dalam agama Kristen.” (Thabaqat Ibni Sa’ad, VII: 218)