Pada akhir tahun keenam Hijriyah, ketika Nabi Muhammad SAW pulang dari Hudaibiyah, beliau menulis surat kepada raja-raja. Tujuannya adalah untuk mengajak mereka masuk Islam.
Ketika ingin menulis surat-surat tersebut, dikatakan kepada Nabi bahwa mereka tidak mau menerima surat kecuali jika surat itu diberi stempel. Maka, Nabi pun membuat stempel dari perak bertuliskan: "Muhammad Rasul Allah." Tulisan ini terdiri dari tiga baris, Muhammad sebaris, Rasul sebaris, dan Allah sebaris.
Beliau memilih beberapa sahabat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk dijadikan utusan kepada raja-raja. Tokoh ulama besar, Al Manshurfuri menegaskan, bahwa Nabi mengirim beberapa utusan-utusan ini pada awal bulan Muharram, tahun ke tujuh hijriyah, beberapa hari sebelum berangkat menuju Khaibar.
Salah satu surat yang dikirimkan itu adalah kepada Raja Mesir dan Iskandariyah, Al Muqauqis. Nabi menulis surat kepada Juraij bin Matta, yang bergelar Al Muqauqis.
Berikut isinya:
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Al Muqauqis pembesar bangsa Qibthi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba'du:
Aku mengajakmu untuk memeluk Islam. Masuk Islamlah engkau, niscaya engkau selamat. Masuk Islamlah, Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Namun bila engkau berpaling, niscaya engkau akan menanggung dosa bangsa Qibthi.
(Allah berfirman), 'Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) sama antara kami dengan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dna tidak mempersekutukanNya dengan apapun dan tidak (pula) sebagian yang lain sebagai sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka. 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)'." (Ali Imran:64)
Nabi memilih Hathib bin Abi Balta'ah untuk membawa surat ini. Ketika Hathib masuk menjumpai Muqauqis, ia berkata kepadanya, "Sebelum kamu ada raja yang menganggap dirinya adalah Tuhan yang Mahatinggi, lalu Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia, Allah telah menyiksanya. Maka ambillah pelajaran dari orang lain, jangan orang lain mengambil pelajaran darimu."
Muqauqis menjawab, "Sesungguhnya kami telah mempunyai agama tersendiri, yang tidak akan kami tinggalkan kecuali karena ada agama yang lebih baik darinya."
Hathib berkata, "Kami mengajakmu kepada agama Islam yang telah dicukupkan oleh Allah, maka tinggalkanlah agama selainnya. Sungguh, Nabi ini telah mengajak manusia, kemudian yang paling menentangnya adalah kaum Quraiisy, yang paling memusuhinya adlaah orang Yahudi dan yang paling dekat dengannya adalah orang-orang Nasrani. Sungguh, tidaklah kabar gembira yang dibawa Musa mengenai Isa melainkan seperti kabar gembira yang dibawa Isa mengenai Muhammad, dan tidaklah ajakan kami kepadamu kepada Alquran kecuali seperti ajakanmu kepada ahli Taurat kepada Injil. Karena setiap Nabi yang bertemu suatu kaum, mereka itu adalah umatnya, maka wajib bagi mereka mematuhinya. Dan engkau termasuk salah seorang yang bertemu dengan Nabi ini. Kami tidak melarangmu memeluk agama Isa tetapi kami memerintahkanmu untuk masuk Islam."
Muqauqis berkata, "Aku telah memperhatikan tentang Nabi ini, aku dapati ia tidak memerintah hal yang tidak disukai dan tidak melarang hal yang disukai. Ia bukanlah seorang tukang sihir yang sesat dan bukan pula seorang dukun pembohong. Aku temukan tanda kenabian padanya ketika ia dapat mengeluarkan sesuatu yang disembunyikan dan menceritakan sesuatu yang dirahasiakan. Seterusnya aku akan mempertimbangkan dulu."
Muqauqis kemudian mengambil surat Nabi itu lalu diletakkan dalam sebuah bejana kecil yang terbuat dari gading. Ia memberi stempel di atasnya lalu diserahkan kepada seorang pelayannya. Kemudian ia memanggil tukang tulis yang mengerti bahasa Arab, lalu menulis surat balasan kepada Nabi:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kepada Muhammad bin Abdillah dari Muqauqis pembesar bangsa Qibthi (Mesir). Keselamatan atasmu. Amma ba'du.
Suratmu telah kubaca dan aku memahami apa yang engkau sebutkan di dalamnya dan apa yang engkau serukan. Aku tahu bahwa seorang Nabi masih ada dan tadinya aku mengira ia akan muncul dari negeri Syam. Utusanmu telah aku muliakan dan aku kirim untukmu dua orang perempuan yang keduanya mempunyai kedudukan yang tinggi di Mesir, juga aku hadiahkan untukmu sehelai kain dan seekor bagal (Peranakan kuda dan keledai) untuk tungganganmu. Semoga keselamatan selalu atasmu."
Tidak lebih dari itu isi tulisannya dan ia juga tidak masuk Islam. Dua gadis yang dimaksud adalah Mariyah dan Sirin. Sedangkan bagl diberi nama duldul, ia berumur panjang sampai zaman Muawiyah.
Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah saw telah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.
Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah radhiallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaganya dan kandungannya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira.
Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah dengan Mariyah di rumah Hafshah, sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya (yang artinya),
“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Q.S. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh, itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali radhiallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, namun kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Pada saat meninggalnya Ibrahin bin Muhamad, terjadilah gerhana bulan, yang mengakibatkan anggapan yang tidak tidak dari masyarakat Madinah dan memunculkan pendapat yang mengait ngaitkan gerhana bulan dengan kematian anak dari Rasulullah saw. Oleh karena itulah Rasulullah saw menolak langsung anggapan orang orang tersebut dan mengatakan bahwa bulan dan matahari tidak bisa mengatur hidup matinya seseorang, karena yang mengatur hidup mati seseorang hanyalah berada di tangan Allah SWT.
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.