Siti Kadijah

Nasab Khadijah bertemu dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek kelima, Qushay. Ia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Muhammad saw. Orang pertama yang menerima dakwah Islam. Dan wanita yang paling dicintai beliau. Di masa jahiliyah, sebelum kenal dengan Muhamad saw, Khadijah radhiallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang wanita yang kaya dan seorang pedagang besar. Ia bekerja sama dengan beberapa pedagang untuk bagi hasil barang dagangannya. Karena pedagang laki-lakilah yang terbiasa bersafar ke Syam untuk berdagang. Sedangkan wanita-wanita di masa itu tidak terbiasa keluar-keluar menuju tempat yang jauh. Inilah tradisi Arab kala itu, hal ini juga sesuai dengan sifat menjaga kesucian diri yang beliau miliki.

Kadang Muhammad juga bekerja pada sebagian pedagang Mekah. Seperti pada Khadijah binti Khuwalid. Bersama teman-temannya, Muhammad pernah menjual barang dagangan Khadijah ke Hubasyah. Sebuah pasar dekat Mekkah. Menurut Muhammad, Khadijah adalah orang baik. Hormat dan ramah pada pembantunya. Kata Muhammad; "Belum pernah kulihat seorang majikan sebaik Khadijah. Setiap aku dan temanku pulang, ia secara sembunyi-sembunyi memberi kami makanan"

Sejak saat itu, Nabi Muhammad saw. semakin menekuni dunia usaha atau dagang. Merujuk buku Muhammad A Trader, Nabi Muhammad saw. sudah menjadi pemimpin kafilah dagang ke luar negeri pada saat usianya baru 17 tahun. Ia berdagang hingga ke 17 negara lebih. Diantaranya Syam, Yordania, Bahrain, Busra, Irak, Yaman, dan lainnya.

“Pedagang yang baik adalah pedagang yang mudah dalam membeli dan mudah dalam menjual.” (HR. Bukhari, dari Jabir)

Muhammad muda dikenal sebagai masyarakat Arab sebagai pribadi yang jujur dan bisa dipercaya sehingga ia mendapatkan julukan al-Amin. Julukan tersebut ini tidak didapat secara singkat dan tiba-tiba, melainkan dalam waktu yang lama. Karena memiliki julukan dapat dipercaya, banyak pedagang yang mempercayakan daganganya kepada Muhammad saw. Maka tidak heran jika Muhammad saw. kerap kali berdagang tanpa modal sepeser pun, alias menjualkan barang dagangan orang lain dengan imbalan bagi hasil. Hal itulah yang menghantar Muhammad saw. menjadi seorang pedagang yang berhasil, jujur, profesional, dan disegani siapapun. Muhammad saw. juga memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pelanggannya. Ia sangat ramah dan menghormati pelanggannya. Bahkan, ia mendahulukan kepentingan pelanggannya atas dirinya sendiri. Mengenai ini, ada sebuah cerita menarik.  Suatu ketika Adullah bin Abdul Hamzah membeli suatu barang dari Muhammad saw. dan ia berjanji akan menemui Nabi Muhammad saw. di suatu tempat karena ada urusan tertentu. Naasnya, Abdullah lupa kalau punya janji dengan Nabi Muhammad saw. Tiga hari setelahnya, dia baru ingat dan langsung ke tempat tersebut untuk menemui Nabi Muhammad saw. Ia terbelalak karena Nabi Muhammad saw. masih ada di tempat itu. Dalam berdagang, Rasulullah mengedepankan sikap jujur, ikhlas, dan profesional. Maksudnya, tidak pernah membohongi pelanggannya dan ikhlas menjalankan usahanya. Meski demikian, Rasulullah adalah seorang yang profesional. Ia selalu mencari cara yang beda dan baru dalam menjual barang dagangannya.

Melihat perkembangan Muhammad, Abu Thalib  berpikir bahwa Muhammad sudah saatnya mandiri. Menjalankan usahanya sendiri, bukan usaha orang lain.  Karenanya ketika penduduk Mekkah akan memberangkatkan kafilah dagang ke Syam, Abu Thalib berkata pada Muhammad "Sudah saatnya kau, Muhammad, berdagang secara mandiri. Kau bisa ikut serta dalam kafilah Syam. Bukankah usiamu sudah dua puluh lebih? Apalagi keadaan saat ini sangat sulit. Sudah beberapa tahun kita dicekik paceklik"

Muhammad memahami usulan pamannya tersebut. Tetapi dia bingung, "Tetapi, paman, dari mana harta yang bisa kubawa dalam ekspedisi musim panas ini?" Pamannya tersenyum dan mengingatkan "Lihat pemuda-pemuda Quraisy itu! Mereka bekerja pada orang lain dengan cara bagi hasil. Kenapa kau tidak bekerja seperti mereka?"

Cara pandang Muhammad terbuka. Dia mulai berpikir keras. Dengan pedagang mana dia bekerjasama. Lalu bagaimana cara berhubungan dengan para pedagang besar itu. Apalagi penduduk Mekkah itu pada dasarnya pedagang tulen. Mereka jarang menyerahkan barang dagangannya pada orang lain. Kalau tidak dijalankan sendiri, mereka akan menyuruh anak-anaknya. Karenanya Muhammad pun meminta saran pamannya "Siapa yang rela menyerahkan dagangannya kubawa ke tempat yang jauh?"

Sebagaimana dulu Abu Thalib mencari pemilik hewan ternak yang baik dan jujur supaya bisa bekerjasama dengan Muhammad, kali inipun Abu Thalib memberikan saran konglomerat yang baik, terhormat, jujur dan bisa bekerjasama dengan Muhammad. Kata Abu Thalib "Khadijah binti  Khuwailid! Banyak laki-laki dari kaummu bekerja padanya.mereka untung. Kalau kamu datang kesana, dia pasti akan lebih memilihmu daripada yang lain. Sebab, ia sudah mengenalmu saat kamu dan temanmu menjalankan daganganya di Hubasyah.

Muhammad sangat tertarik dengan saran Abu Thalib. Masalahnya Muhammad tidak terbiasa menawarkan diri. Ia takut ditampik dan ditolak dengan cara tidak layak. Karenanya Muhammad berkata pada pamannya "Mudah-mudahan ia menyuruh orang kesini".Jawaban pasif yang tidak memuaskan Abu Thalib. Dikarenakan keadaan Mekah saat itu sedang menghadapi krisis ekonomi sehingga ia tak lagi mampu membiayai Muhammad muda. Maka datanglah Abu Thalib kepada Khadijah dan berkata:

“Aku dengar kau mempekerjakan pemuda Mekkah ke Syam dengan bayaran dua ekor unta? Pekerjakanlah Muhammad dan bayar dia dengan empat ekor unta.”

Khadijah menjawab:

لو سألتَ لبعيدٍ بَغِيضٍ فعلنا فكيف وقد سألتَ لحبيبٍ قريبٍ

“Jika kau meminta bayaran empat unta untuk orang lain yang aku benci saja pasti aku lakukan, apalagi untuk kerabat yang aku sukai.”

Dan Khadijah sangat senang mendengarnya. Sebagai pedagang, Ia senang kalau dagangannya dibawa seorang pemuda berjuluk "Al-Amin", orang terpercaya.

Karenanya esok hari, Khadijah mengirim utusan menawarkan kerjasama dagang dengan Muhammad. Dengan senang hati Muhammad menerimanya tawaran itu. Terpenuhilah impian pamannya. Selain itu, Khadijah juga memberi kehormatan lain. Khadijah memerintahkan budak kepercayaannya, Maisarah, untuk menemani perjalanan dagang Muhammad. Khadijah berpesan agar Maisarah patuh pada Muhammad dan memenuhi segala keperluannya. Berangkatlah kafilah dagang Mekkah ke Syam dengan Muhammad didalamnya.

Setelah kembali dari Syam, Maisarah melaporkan semua aktivitas di Syam. Maisarah bercerita bagaimana Muhammad, berinteraksi dengan orang, tidak pernah menipu, tidak bertengkar juga kejadian aneh seputar diri Muhammad. Tentang awan berarak yang meneduhinya dari terik matahari di sepanjang perjalanan. Juga tentang rahib di Bashra (Syam) yang berkata, "Orang yang berada di bawah pohon itu tak lain adalah seorang nabi utusan",ketika Muhammad istirahat dibawah sebuah pohon.

Cerita Maisarah mengingatkan Khadijah, ucapan sepupunya, Waraqah bin Naufal. Seorang monotheis sejati yang teguh menyembah Allah berdasar Agama Ibrahim. Ia sangat tekun membaca Taurat dan Injil, suka mencela agama Quraisy, menjauhkan diri dari kesenangan dunia. Waraqah sempat mengatakan bahwa sudah saatnya datang seorang nabi yang akan menghancurkan berhala-berhala, menyeru manusia menyembah satu Tuhan, mengajak mereka berbudi luhur dan menghindari perangai buruk. Khadijah yakin, Muhammad lah orang nya.

Demi memastikan, Khadijah kembali mendatangi sepupunya itu. Dia ceritakan semua tentang Muhammad, termasuk cerita dari Maisarah. Waraqah terkejut dan meminta Khadijah mengulangi ceritanya. Setelah diulangi, Waraqah menyimak dengan sangat teliti, termenung, terdiam sejenak. Dengan gugup, Waraqah berkata, "Kalau benar apa yang kaukatakan itu, Khadijah, maka tak ayal lagi itulah ciri-ciri nabi umat ini. Inilah saat yang ditunggu-tunggu itu"

Kesimpulan Khadijah serta informasi Maisarah dan Waraqah tentang diri Muhammad, meninggalkan perasaan tidak menentu pada diri Khadijah. Sejak itu, hatinya selalu gelisah. Ada sesuatu yang terus melintas di hatinya, tidak bisa dikendalikan, liar dan menyiksa. Berulangkali Khadijah menepisnya, tetapi berulangkali juga perasaan itu muncul. Makin dilupakan, makin kuat bayangan itu datang. Ketika dirasa ia tidak bisa lagi menanggungnya, Khadijah memutuskan berbagi cerita dengan teman dekatnya, Nafisah bin Munyah.

Sore hari yang lenggang ketika mereka asyik bercengkrama, tiba-tiba Nafisah berkata, "Kulihat wajahmu bermendung. Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu. Atau sekedar dugaanku saja?"

Khadijah terkaget dan terdiam cukup lama mendengar pertanyaan itu. Terdiam tidak sebagaimana biasanya. Ketika Nafisah mendesaknya supaya menceritakan apa yang dialaminya, tanpa sadar Khadijah bertanya, "Apa pendapat mu tentang Muhammad?"

"Kenapa kau bertanya begitu?Apa pedulimu?" Tetapi setelah melontarkan pertanyaan itu, Nafisah sadar apa yang sebenarnya bergolak dalam diri Khadijah. Mereka pun terdiam cukup lama.

Sadar bahwa sahabatnya telah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hatinya, Khadijah pun berani berbicara "Tetapi mana mungkin aku dengan Muhammad? Dia pemuda belia, dimuliakan di tengah kaumnya, bersih nasabnya. Sedangkan aku wanita berumur empat puluh, lima belas tahun lebih tua darinya, janda yang dua kali bersuami. Apakah mungkin ia mau menerimaku?"

Nafisah refleks menjawab "Tidak, Khadijah! Meskipun umurmu sudah berkepala empat, di tengah kaummu kau memiliki tempat terhomat, Nasabmu agung, kau juga tampak muda dan kuat, seperti masih berusia tiga puluh, atau bahkan dibawah itu. Dan jangan lupa, tidak sedikit orang yang melamarmu, membincangkanmu setiap hari, tetapi mereka kau tolak"

Khadijah lega mendengar jawaban sahabatnya itu. Menyejukan dan menumbuhkan harapan bahwa mimpinya bisa menjadi kenyataan. Tetapi tiba-tiba dari Khadijah berkata, "Tetapi, manakah jarak antara hasratku dan hasrat Muhammad Ibn Abdullah, antara cintaku dan cintanya? Bagaimana ia bisa tahu jalan menuju aku, dan bagaimana ia bisa menempuh jalan itu? Nafisah, apa yang kita bicarakan ini tak lebih dari seiris mimpi yang sangat jauh, yang segera sirna saat mata terjaga. Ini hanya puncak lamunanku semata."

Nafisah tersenyum. Lalu sambil menepuk dada dia berkata, "Serahkan masalah ini padaku, pasti beres."Selesai berkata seperti itu, Nafisah pun pergi. Meninggalkan Khadijah yang duduk termenung sendiri.

Dalam kesendiriannya, tiba-tiba Khadijah teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Kala itu waktu sudah memasuki Dhuha. Ketika Khadijah sedang berkumpul dan bersenda gurau dengan sahabat-sahabat kecilnya, tiba-tiba muncul seorang Yahudi di hadapan mereka. Tanpa diketahui darimana munculnya. Sepertinya orang itu dituntun kekuatan ghaib mendatangi Mekkah. Mungkin juga sudah mencium sesuatu yang menimbulkan ketakjuban dirinya kala itu. Laki-laki Yahudi berhenti tepat di depan mereka, tertawa sejadi-jadinya dan berkata, "Telah tiba masa kedatangan nabi terakhir, siapa di antara kalian dapat menjadi istrinya, lakukanlah !" teriaknya.

Semua wanita yang berkumpul, tersentak mendengar ucapan lelaki itu. Mereka menganggap dia lelaki gila. Karenanya mereka membalas kata-kata laki-laki itu dengan makian dan cemoohan pahit. Tidak tertinggal juga disertai lemparan batu. Semua wanita-wanita yang berkumpul melakukan itu, kecuali Khadijah. Ia terkesan dengan kata-kata pria Yahudi itu. Khadijah tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia ingat peristiwa ini.

Beberapa hari kemudian Nafiysah lalu datang kepada Muhammad dan menanyakan mengapa pemuda itu belum menikah. ''Aku tidak memiliki apa-apa untuk berumah tangga,'' jawab Muhammad.

Nafiysah lalu mengatakan ada seorang wanita yang tertarik kepada Muhammad, Khadijah. Setelah ditanya apakah Muhammad bersedia menikahi Khadijah, Muhammad mengiyakan.

Setelah itu, Khadijah meminta Nafiysah untuk bertemu. Kepada Muhammad, Khadijah menyampaikan perasaannya. ''Putra pamanku, aku mencitaimu karena kebaikanmu padaku. Engkau selalu terlibat dalam urusan masyarakat tanpa menjadi partisan. Aku menyukaimu karena engkau bisa diandalkan, luhur budi, dan jujur bertutur kata.''

Kemudian kedua keluarga bertemu. Ayah Khadijah, Khuwailid, telah meninggal sehingga keluarga Khadijah diwakili pamannya, Amr putra Asad. Keluarga Muhammad diwakili Hamzah dan Abu Thalib. Kesepakatan dicapai, Muhammad memberi mahar 20 ekor unta betina.

Khutbah Abu Thalib Ketika Melamar Khadijah Untuk Muhamad saww

الحمد لله الذي جعلنا من زرع إبراهيم، وذرية إسماعيل، وضئضيء معدّ، وعنصر مضر، وجعلنا حضنة بيته، وسوّاس حرمه، وجعله لنا بيتا محجوجا، وحرما آمنا، وجعلنا حكام الناس. ثم إن ابن أخي هذا محمد بن عبد الله لا يوزن به رجل من قريش إلا رجح عليه برا، وفضلا، وكرما، وعقلا، ومجدا، ونبلا، وإن كان في المال قلّ، فإن المال ظل زائل، وأمر حائل، وعارية مسترجعة، وهو والله بعد هذا له نبأ عظيم، وخطر جليل! وله في خديجة بنت خويلد رغبة، ولها فيه مثل ذلك، وما أحببتم من الصداق فعليّ

"Segala puji bagi Allah yang menjadikan kita sebagai keturunan Nabi Ismail, sebagai anak cucu Ma’ad, sebagai keturunan Mudhar, sebgai penjaga Baitullah, pengawal tanah Haram-Nya, yang tanah ini menjadi tempat ibadah haji, yang suci dan aman, dan menjadikan kita hakim bagi manusia. Ini anak saudaraku, Muhammad bin Abdillah, jika ditimbang dengan laki-laki manapun juga, maka ia lebih berat dari mereka semua kebaikannya, keutamaannya, kemuliaannya, akalnya, kedermawanannya, dan kebijaksaannya. Meskipun hartanya sedikit, namun harta itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang cepat perginya serta merupakan pinjaman yang akan dikembalikan. Dia ini, demi Allah, telah ada kabar baik tentangnya dan ia memiliki kedudukan yang mulia di tengah masyarakat. Ia menyukai Khadijah binti Khuwailid, begitu juga sebaliknya. Dan mahar apa yang kalian sukai, saya yang akan menanggungnya."

Dari pernikahan selama sekitar 25 tahun bersama Khadijah, Muhammad dikaruniai enam anak. Anak pertama, seorang laki-laki bernama Qasim. Lalu lahir empat putri yakni Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Anak ke enam mereka adalah anak laki-laki, Abdallah. Kedua anak laki-laki Muhammad wafat saat masih anak-anak.

Di hari pernikahannya, Muhammad membebaskan budak yang ia miliki sebagai warisan dari ayahnya, Barakah atau yang dikenal dengan sebutan Ummu Aiman. Khadijah sendiri menghadiahi Muhammad seorang budak berumur 15 tahun, Zaid putra Haritsah. Muhammad sangat menyayangi Zaid, begitu pula Zaid. Ayahnya Zaid Haritsah berasal dari suku Kalb yang daearah kekuasaanya terbentang dari Suriah dan Irak. Ia telah lama mencari Zaid. Mengetahui itu, Zaid menitipkan pesan berupa sebuah syair untuk ayahnya melalui jamaah haji asal Kalb. Syair yang menyatakan Zaid berada di tangan terbaik dari kalangan terhormat. Haritsah bersama seorang saudaranya, Ka'b, menyusul Zaid ke Mekkah dan menemui Muhammad. Dalam pertemuan itu, Muhammad mempersilakan Zaid memilih dan Zaid memilih Muhammad. ''Keterlaluan kau, Zaid! Engkau lebih memilih perbudakan dibanding kebebasan, memilih Muhammad dibanding ayah dan pamanmu?,'' kedua orang Kalb itu menghardik.

Muhammad saw memotong pembicaraan. Ia lalu mengajak Zaid, Haritsah, dan Ka'b ke Kabah. Berdiri di Hijr, Muhammad saw berseru. ''Wahai semua yang hadir! Saksikan bahwa Zaid adalah anakku dan ahli warisku.''

Sejak hari itu, Zaid dikenal dengan Zaib bin Muhammad sampai Allah SWT menurunkan wahyu yang menegaskan hubungan anak angkat dan tidak berhaknya mereka atas waris orang tua angkat.

Pada suatu saat Mekah sedang dilanda paceklik yang parah, dan hal ini sangat mempengaruhi kehidupan Abu Thalib yang memang hidup dalam kekurangn, oleh karena itulah Muhamad saw kemudian mendatangi pamannya yang lain, Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau meminta pamannya itu untuk ikut serta membantu Abu Thalib. “Wahai paman, saudaramu, Abu Thalib, banyak keluarga. Kau tahu orang-orang sedang dilanda krisis. Mari kita ke sana, kita ringankan bebannya,” kata Muhamad saw.    Seketika itu, Muhamad saw dan Abbas bertandang ke rumah Abu Thalib. Kepada Abu Thalib, Muhamad saw menyatakan bahwa beliau ingin menanggung atau mengasuh sebagian keluarganya. Abu Thalib mempersilahkannya, namun ia meminta agar Uqail tetap bersamanya.  Muhamad saw kemudian mengasuh Ali bin Abi Thalib, sedangkan Abbas mengambil Ja’far bin Abu Thalib. Ja’far masih tetap bersama Abbas sampai ia hijrah ke Habasyah (Ethiopia).
Seperti tertera dalam buku Hayatush Shahabah (Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandhlawi, 2019),