Piagam Madinah

Empat Belas Abad yang lalu sebelum banyak masyarakat dunia mengenal konsitusi tertulis, bersamaan tahun pertama Hijrah pada tahun 622 M, Rasulullah Muhammad telah membuat “Piagam Madinah” yang dikenal konstitusi tertulis pertama di dunia dan sangat luar biasa.

Penyebutan konstitusi tertulis pertama di dunia ini bukan tanpa dasar. Sebab konstitusi Aristoteles Athena yang ditulis pada papirus, ditemukan oleh seorang misionaris Amerika di Mesir baru pada tahun 1890 dan diterbitkan pada tahun 1891, itupun tidak dianggap sebuah konstitusi. Tulisan-tulisan hukum lainnya pada perilaku masyarakat kuno telah ditemukan, tetapi tidak dapat digambarkan sebagai konstitusi.


Sementara itu, sejarahnya konstitusi Amerika Serikat baru disusun beberapa tahun setelah pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat (AS) yang ditanda tangani pada tahun 1776. Itupun mengalami banyak perubahan (amandemen).

Namun “Piagam Madinah” (Madinah Charter) adalah konstitusi tertulis pertama mendahului Magna Carta, yang berarti Piagam Besar, disepakati di Runnymede, Surrey pada tahun 1215. Landasan bagi konstitusi Inggris ini pula yang menjadi rujukan Amerika membuat konstitusi yang selama ini dianggap oleh Barat sebagai “dokumen penting dari dunia Barat” dan menjadi rujukan/model banyak negara di dunia.

Kehadiran “Piagam Madinah” nyaris 6 abad mendahului Magna Charta, dan hampir 12 abad mendahului Konstitusi Amerika Serikat ataupun Prancis.

Kandungan “Piagam Madinah” terdiri daripada 47 pasal, 23 pasal membicarakan tentang hubungan antara umat Islam yaitu; antara Kaum Anshat dan Kaum Muhajirin.

24 pasal lain membicarakan tentang hubungan umat Islam dengan umat lain, termasuk Yahudi.

“Piagam Madinah” atau juga dikenal “Perjanjian Madinah” atau “Dustar al-Madinah” juga “Sahifah al-Madinah” dapat dikaitkan dengan Perlembagaan Madinah karena kandungannya membentuk peraturan-peraturan yang berasaskan Syariat Islam bagi membentuk sebuah negara (Daulah Islamiyah) yang menempatkan penduduk berbagai suku, ras dan agama (yang tinggal di Madinah/Yatsrib kala itu adalah kaum Arab Muhajirin Makkah, Arab Madinah, dan masyarakat Yahudi yang hidup di Madinah). Beberapa alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyusun draf kesepakatan berupa Piagam Madinah, pertama Madinah merupakan wilayah yang dihuni kelompok masyarakat yang heterogen. Kedua, penduduk Madinah pra-Islam dikenal sebagai kelompok yang akrab dengan peperangan dan konflik, terutama yang dilakukan oleh dua suku besar Aus dan Khazraj. Keduanya bersama sekutu masing-masing dari kelompok Yahudi, yakni bani Quraizhah dan bani Nadhir, berseteru tanpa henti. Konon, bani Quraizhah sebagai sekutu suku Aus, sedangkan Bani Nadhir dan Bani Qainuka sebagai suku Khazraj. Sejarah mencatat, tidak kurang dari 120 tahun mereka berseteru dan terlibat peperangan (Said Ramadhan Al-Buthy, Fiqih Sirah: Hikmah Tersirat dalam Lintas Sejarah Hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Terjemahan Fuad Syaifudin Nur, dari Fiqh as-Sirah An-Nabawiyyah ma’a Mujaz Litarikh al-Khalifah ar-Rasyidah, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2010, hal. 180). 

Setidaknya ada empat perang besar yang terjadi di antara keduanya, yaitu (1) perang Sumir, ‘Aus menang atas Khazraj; (2) perang Ka’b, Khazraj menang atas ‘Aus; (3) perang Hathib, Khazraj menang atas ‘Aus; (4) sebagai puncaknya perang Bu’ats, ‘Aus menang atas Khazraj pada tahun 617 M. Namun setelah Rasulullah hijrah (622 M), kedua musuh bebuyutan ini berangsur-angsur damai. Bahkan mereka sendiri yang sangat merindukan perdamaian, namun selama itu tidak ada yang menyatukan (Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 2004, hal. 24). 

Dalam konteks ini, Piagam Madinah tidak bisa dilepaskan dari strategi Rasulullah mendamaikan kedua suku tersebut, sekaligus menyatukan semua penduduk Madinah, baik pendatang maupun penduduk setempat, baik muslim maupun non-muslim, setelah sebelumnya beliau berhasil mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar (Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Terjemahan Abdullah Haidir dari Ar-Rahiqul Makhtum: Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyyah ala Shahibi Afdhali Shalati wa as-Salam, 1999, Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi Pendatang al-Sulay-Riyadh, 2005, hal. 77). 

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mencontohkan prinsip konstitusionalisme dalam perjanjiannya dengan segenap warga Yatsrib (Madinah). “Piagam Madinah” yang dibuat Rasulullah mengikat seluruh penduduk yang terdiri dari bebagai kabilah (kaum) yang menjadi penduduk Madinah.

Inilah isi Undang-Undang Dasar tertulis yang terdiri dari 47 pasal itu:

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, di kalangan Mukminin dan Muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka;

(1). Sesungguhnya mereka (kaum Muhajirin dari Makkah, kaum Anshat dari Madinah dan kaum yang menggabungkan diri dengan mereka dalam wilayah Madinah) itu merupakan satu umat, diantara komunitasmasyarakat lain.
(2). Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap dalam kebiasaan mereka dalam bahu-membahu membayar diyat (tebusan atas pembunuhan) di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara Mukminin.
(3). Banu ‘Auf tetap dengan kebiasaan mereka dan bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum Mukminin.
(4). Banu Sa’idah tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara kaum Mukminin.
(5). Banu Al-Hars tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara Mukminin.
(6). Banu Jusyam tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara Mukminin.
(7). Banu An-Najjar tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara Mukminin.
(8). Banu ‘Amr bin ‘Awf tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara Mukminin.
(9). Banu Al-Nabit tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara Mukminin.
(10). Banu Al-‘Aws tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara Mukminin.
(11). Sesungguhnya Mukminin tidak boleh membiarkan orang lain dalam menanggung beban yang berat dalam tebusan dan diyat diantara mereka tetapi membantunya dengan baik dalam poembayaran tebusan atau diyat tersebut.
(12). Seorang Mukmin tidak diperbolehkan membuat menyalahi perjanjian yan telah dibuat dengan Mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya.
(13). Orang-orang Mukmin yang taqwa harus menentang orang yang mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, atau bermaksud jahat, atau melakukan permusuhan dan kerusakan di kalangan Mukminin. Setiap orang harus bersatu dalam menentang kedzaliman tersebut, sekalipun itu dilakukan oleh anak dari salah seorang di antara mereka.
(14). Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya untuk membantu orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.
(15). Jaminan Allah itu satu untuk seluruh kaum. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat dalam hubungan kekarabatan. Sesungguhnya Mukminin itu saling membantu, dan tidak boleh bergantung kepada golongan yang lain.
(16). Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita, mereka berhak mendapatkan pertolongan dan bantuan, selama kaum Mukminin tidak terzalimi dan mereka (Yahudi) itu tidak melakukan permusuhan dengan mereka.
(17). Perdamaian Mukminin adalah satu. Seorang Mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta Mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
(18). Setiap pasukan yang ikut berperang bersama kita, maka kita harus bahu-membahu dan membantu satu sama lain.
(19). Orang-orang Mukmin itu membalas pembunuh Mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
(20). Orang musyrik Madinah dilarang memberikan perlindungan harta dan jiwa orang musyrik Quraisy Makkah, dan tidak boleh ikut campur-tangan dalam perang melawan orang beriman.
(21). Barangsiapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela untuk menerima diyat. Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.
(22). Tidak dibenarkan orang Mukmin yang mengakui piagam ini, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, maka dia akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.
(23). Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya dirujuk kepada ketentuan Allah Taala dan keputusan Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam.
(24). Kaum Yahudi bersama kaum Muslimin diikutkan memikul biaya peperangan yang terjadi dengan serangan musuh dari luar Madinah.
(25). Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah mempunyai hak yang sama kaum Mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Kebebasan beragama ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat sebab hal demikian akan merusak diri dan keluarga.
(26). Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(27). Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(28). Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(29). Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(30). Kaum Yahudi Banu Al-‘Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(31). Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(32). Kaum Yahudi Banu Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(33). Kaum Yahudi Banu Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
(34). Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
(35). Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi) dalam Madinah.
(36). Tidak seorang pun dibenarkan untuk berperang, kecuali seizin Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam. Ia tidak boleh dihalangi seseorang untuk (menuntut pembalasan) akibat luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali jika ia teraniaya. Sesunggunya Allah sangat membenarkan ketentuan ini.
(37). Bagi kaum Yahudi memiliki kewajiban untuk membayar biaya dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh yang melanggar piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Dan memenuhi janji. Seseorang tidak boleh menanggung hukuman akibat (kesalahan) orang lain. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
(38). Kaum Yahudi bersatu dengan kaum Muslimin dalam menghadapi serangan luar.
(39). Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga yang mengikuti piagam ini.
(40). Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.
(41). Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.
(42). Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan dapat menimbulkan bahaya, maka urusannya diserahkan penyelesaiannya menurut ketentuan Allah Azza Wa Jalla dan keputusan Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik atas isi piagam ini.
(43). Sungguh tidak ada perlindungan bagi kaum kafir Quraisy Makkah dan juga bagi para pendukung mereka.
(44). Mereka (pendukung piagam) harus bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib (Madinah).
(45). Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksankan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum Mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
(46). Kaum Yahudi Al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
(47). Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Demikianlah isi perjanjian, yang berasal dari Muhammad Rasulullah.

Demikianlah isi dari “Piagam Madinah” yang merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Sejak itu seluruh Negara dan pemerintahan di dunia mengikut sistem perundang-undangan tertulis, sebagaimana yang pernah dirintis oleh Rasulullah Muhammad.*/Arifin Ismail, bahan diambil dari Kitab Shirah Ibnu Hisyam, Darul Qutub, Beirut, 2001)

Tujuan Suci Piagam Madinah Dari beberapa poin di atas, tampak bahwa Piagam Madinah merupakan peraturan yang dirancang untuk persatuan umat, pertahanan nasional, kebebasan dan kerukunan beragama. Kaum Muslimin dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya bersama-sama untuk bertanggung jawab dan mewujudkan keutuhan dan kedaulatan negara. Kaum Yahudi juga sekutu-sekutunya dianggap sebagai bagian dari kaum Muslimin selama mereka tidak melanggar dan menentang pemerintahan.

Ini artinya, untuk menciptakan bangsa yang berdaulat dibutuhkan masyarakat yang kuat, kompak, dan taat terhadap pemerintahan. Ini pula yang diterapkan Rasulullah, tidak hanya kepada kaum Muslimin tetapi kepada yang non-muslim. Selain itu, keadilan Rasulullah dalam perjanjian itu juga terlihat dalam memperlakukan seluruh penduduk Madinah tanpa diskriminatif. Kesetaraan dalam hukum, juga dapat ditunjukkannya dengan tidak menganakemaskan kaum Muslimin, atau menganaktirikan yang non-muslim. Siapa pun yang zalim dan khianat dihukum sesuai peraturan yang berlaku (Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota Madinah, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Kompas, 2009, hal. 317). 

Dalam waktu singkat Madinah berubah menjadi kekuasaan yang disegani dan layak diperhitungkan. Bahkan, warga Makkah sendiri ketika itu sempat mengkhawatirkan kaum Muslimin melakukan pembalasan kepada mereka. Mereka juga khawatir, kafilah dagang mereka yang berangkat ke (Suriah) akan diganggu sehingga masa depan perdagangan mereka akan hancur. Namun, Rasulullah bukan tipe pendendam dan penguasa yang suka menyalahgunakan kekuasaan. Piagam Madinah dibuat bukan untuk memporak-porandakan kekuatan lawan, melainkan membangun umat yang kuat secara politik, bebas dan damai dalam beragama, serta makmur dan berkeadilan secara hukum dan ekonomi, sehingga kekhawatiran masyarakat Makkah pun tidak terjadi.