Abū Sulaymān Khālid ibn al-Walīd ibn al-Mughīrah al-Makhzūmī (585m–642m), atau juga dikenal dengan Sayf Allāh al-Maslūl (Pedang Allah yang terhunus), adalah seorang penunggang kuda yang tangguh dan pahlawan suku Quraisy. Ia terjun dalam Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandak di barisan kaum musyrikin. Kemudian, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan untuknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkan rasa cinta Islam ke dalam hatinya.
Ayahnya bergelar Abdu Syams. Ia salah seorang hakim di kalangan bangsa Arab pada masa jahiliah. Ia juga salah seorang pemimpin terkemuka suku Quraisy. Kekayaan yang dimilikinya sangat banyak, sampai seluruh suku Quraisy mesti berkumpul untuk membungkus Ka’bah dengan kiswah sementara ia cukup sendirian saja melakukannya. Ia termasuk orang yang mengharamkan khamr di masa jahiliah. Ia sempat bertemu dengan masa Islam pada saat berusia sangat lanjut, akan tetapi ia memusuhi Islam dan menentang dakwahnya, sampai ia meninggal tiga bulan setelah hijrah.
Ayah Khalid, Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia orang yang kaya raya. Dia menghormati Ka’bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka’bah. Pada masa ibadah haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.
Suku Bani Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, merekalah yang mengurus gudang senjata dan tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit. Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang lebih dibanggakan seperti Bani Makhzum. Ketika diadakan pemboikotan terhadap orang-orang Islam di lembah Abu Thalib, orang-orang Bani Makhzumlah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.
Ibunya Khalid bernama Ashma’ atau yang dikenal dengan Lubabah kecil; putri al-Harits bin Harb al-Hilaliah. Ia adalah saudari Lubabah besar; istri Abbas ibn Abdul Muththalib. Keduanya merupakan saudari Maimunah binti al-Harits; istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke kota Mekah dalam rangkaian umrah qadha. Ikut bersama Rasulullah, al-Walid bin Walid –saudara Khalid bin Walid– yang telah lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid.
Walid mencari-cari saudaranya, Khalid, tetapi tidak menemukannya. Ia pun menulis sepucuk surat kepada saudaranya.
“Bismillahirrahmanirrahim. Amma ba’d. Sesungguhnya aku tak menemukan sesuatu yang lebih mengherankan daripada jauhnya pikiranmu dari Islam. Engkau seorang yang cerdas. Tak seorang pun yang tidak mengenal agama seperti Islam. Aku pernah ditanya suatu kali oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dirimu. Beliau bertanya,
"Mana Khalid?"
Aku menjawab, "Semoga Allah memberinya hidayah".
Beliau bersabda lagi,
"Orang seperti Khalid tidak mengenai Islam? Andaikan ia gunakan kehebatan dan ketangguhannya –yang selama ini ia gunakan untuk yang lain– bersama kaum muslimin, tentu akan lebih baik baginya"
"Bergegaslah wahai saudaraku untuk menjemput peluang-peluang kebaikan yang sempat luput darimu."
Khalid bin Walid menerima surat dari saudaranya. Surat itu dibacanya dengan seksama. Ia sangat gembira mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya tentang dirinya. Hal itu semakin mendorongnya untuk masuk Islam. Akhirnya Khalid mengarahkan jiwa dan nuraninya pada agama baru yang setiap hari benderanya semakin naik dan berkibar. Cahaya keyakinan pun mulai berkilau di hatinya yang suci. Ia berkata dalam hatinya, “Demi Allah, sungguh jalan inilah yang lurus. Sesungguhnya dia (Muhammad saw) memang benar-benar seorang Rasulullah, Sampai kapan aku akan memeranginya? Demi Allah aku harus segera menemuinya untuk mengutarakan keIslamanku.”
Pada saat perjanjian Hudaibiyah, semua perhatian tokoh tokoh Qurays tertuju kepada Rasulullah saw, kecuali Khalid bin Walid dan Amr bin Ash yang kala itu sedang memimpin 200 pasukan berkuda yang mendapat mandat untuk memerangi kaum mukmin, namun tidak diketahui keberadaan mereka dimana, seolah Khalid dan pasukanya memang menyingkir agar tidak berpapasan dengan kaum mukmin pimpinan Rasulullah saw. Khalid bin Walid sebenarnya sudah mengetahui akan perjanjian Hudaibiyah tersebut dan mengakui bahwa sesungguhnya perjanjian tersebut adalah kemenangan moral terbesar bagi Rasulullah saw dan kedatangan Rasulullah saw ke Mekah adalah merupakan akhir perlawanan dirinya kepada Rasulullah saw. Meski demikian, kebencian Amr bin Ash terhadap Islam tidak lah berkurang, sementara Khalid setelah bertahun tahun memerangi kaum muslim, kini menjadi orang yang berpikiran ganda. Kehebatanya berperang membuatnya selalu dipercaya untuk memimpin pasukan berkuda dalam setiap peperangan kaum Qurays dengan kaum muslim, namun, belakangan ini ia mengakui bahwa sejak ia pulang dari perang Uhud dan perang Khandaq, perasaanya tidak membuatnya tenang, peperangan tersebut menurut pemikiran Khalid adalah sia sia dan Rasulullah saw pada akhirnya yang meraih kemenangan. Pada saat Rasulullah saw menarik pengikutnya dari Hudaybiyah, Khalid berkeyakinan bahwa Rasulullah saw adalah seorang pemimpin yang kawakan,"Orang ini dilindungi!", begitulah ungkapan Khalid bin Walid pada saat itu kepada orang orang disekitarnya. Di samping itu adapula pengaruh dari Ibu dan kerabatnya. Ibu Khalid, Asma, telah lama mengikuti Rasulullah saw, dan sekarang bibinya, Maymunah, yang telah menjadi istri Rasulullah saw.
Pada malam itu Khalid bermimpi seperti berada di sebuah daerah sempit dan gersang. Tak ada tanaman dan tak ada air. Kemudian ia pergi menuju daerah yang hijau dan luas. Setelah bangun, Khalid berkata dalam hati, “sungguh ini sebuah mimpi yang baik.”
Khalid keluar dari rumahnya. Ia sudah bertekad untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mimpi yang ia alami semalam terus melekat dalam pikirannya dan seolah-olah berada di depan kedua matanya. Ia mencari seseorang yang bisa menemaninya menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Shafwan bin Umayyah. Khalid berkata pada Shafwan, “Wahai Abu Wahb, tidakkah engkau perhatikan kondisi kita? Kita ibarat gigi geraham sementara Muhammad telah menguasai bangsa Arab dan non-Arab. Kalau kita datang menemui Muhammad lalu kita ikuti langkahnya, niscaya kemuliaan Muhammad juga kemuliaan kita.”
Shafwan bin Umayyah sangat enggan menerima ajakan Khalid. Ia berkata, “Andaikan tak ada lagi yang tersisa selain diriku sendiri, sungguh aku tak akan pernah mengikutinya selama-lamanya.”
Akhirnya Khalid bin Walid meninggalkan Shafwan bin Umayyah. Ia berkata dalam hati, “Orang ini, saudara dan bapaknya terbunuh di Perang Badar.”
Kemudian Khalid berjumpa dengan Ikrimah bin Abu Jahal. Khalid berkata kepada Ikrimah seperti yang dikatakannya kepada Shafwan bin Umayyah. Jawaban yang diberikan Ikrimah juga sama dengan jawaban Shafwan bin Umayyah.
Lalu Khalid kembali ke rumahnya dan mempersiapkan kudanya. Ia mulai melangkah. Tiba-tiba ia bertemu dengan Utsman bin Thalhah yang merupakan sahabat dekatnya. Ia menyampaikan rencananya untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata Utsman menerima ajakannya. Akhirnya keduanya pergi dengan tujuan yang sama. Di jalan mereka bertemu dengan Amru bin Ash. Amru berkata pada keduanya, “Marhaban.”
“Marhaban bika,” balas keduanya.
“Mau ke mana kalian?” tanya Amru.
“Apa yang menyebabkan engkau keluar di waktu begini?” keduanya balik bertanya.
“Kalau kalian, apa yang menyebabkan kalian keluar?” Amru balas bertanya.
“Untuk masuk Islam dan mengikuti Muhammad,” jawab Khalid dan Utsman serentak.
“Itulah yang membuat aku datang ke sini,” timpal Amru sambil tersenyum.
Mereka berangkat sampai tiba di Madinah. Di jalan, sebelum bertemu Rasulullah, Khalid bertemu dengan saudaranya; al-Walid. Al-Walid berkata, “Cepatlah. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kedatanganmu dan beliau sangat gembira dengan kedatanganmu. Beliau sedang menunggu kalian.”
Mereka memeprcepat langkah dan segera masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khalid lebih dulu masuk dan ia segera menyampaikan salam pada Rasulullah. Rasulullah membalas salamnya dengan wajah berseri.
Khalid segera berucap, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mari ke sini!”
Ketika Khalid bin Walid sudah mendekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjukimu. Aku memang sudah melihat kecerdasan dalam dirimu dan aku berharap semoga kecerdasan itu membawamu pada kebaikan.”
Setelah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah banyak berada pada posisi yang menentang kebenaran, maka berdoalah kepada Allah untuk mengampuniku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Islam akan menghapus segala dosa yang telah berlalu.”
Khalid melanjutkan, “Wahai Rasulullah, doakanlah aku!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ya Allah, ampunkanlah Khalid atas segala perbuatannya yang menghalangi manusia dari jalan-Mu.”
Kemudian Utsman bin Thalhah dan Amru ibnul Ash pun maju dan membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah memberi sesuatu pun kepada para sahabatnya lebih banyak dari yang diberikannya kepada Khalid bin Walid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada sahabat-sahabat yang lain,
“Jangan sakiti Khalid karena sesungguhnya ia adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Dia hunuskan pada orang-orang kafir.”
Abu Bakar ash-Shiddiq Menafsirkan Mimpi Khalid
Suatu kali Khalid bin Walid berjumpa dengan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia berkata dalam hati, “Aku akan sampaikan mimpi yang pernah kualami kepada Abu Bakar.”
Setelah Khalid menceritakan kepada Abu Bakar mimpi yang ia alami, Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya daerah hijau yang luas itu adalah jalan keluar yang menjadi tempat Allah menunjukimu pada Islam dan sesungguhnya daerah yang sempit itu adalah masa yang engkau lalui dalam kemusyrikan.”
Khalid bin Walid telah masuk Islam. Ia membelakangi tuhan-tuhan nenek moyangnya dan seluruh bentuk pujaan kaumnya. Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin lainnya ia menyongsong dunia baru. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkannya berada di bawah panji Rasulullah dan kalimat tauhid.
Pada saat pembebasan Mekah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk masuk ke Mekah dari arah atas. Khalid dan orang-orang bersamanya masuk ke Mekah dari tempat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata ia dihadang oleh beberapa orang kaum Quraisy. Di antara meraka ada Shafwan bin Umayyah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amru. Mereka mengahalangi Khalid untuk masuk dan bahkan menghunus senjata serta melemparinya dengan ketapel. Khalid mengobarkan semangat sahabat-sahabatnya dan memerangi kaum Quraisy tersebut. Sebanyak 24 orang kaum Quraisy menemui ajal sementara 2 orang kaum muslimin menemui syahadah. Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan pembebasan Mekah untuk Rasul-Nya dan segenap kaum muslimin.
Patung Uzza terletak di daerah Nakhlah. Suku Quraisy, Kinanah, dan Mudhar sangat mengagungkannya. Orang-orang yang memelihara dan yang menjaganya adalah Bani Syaiban (yang berasal) dari Bani Sulaim dan merupakan sekutu Bani Hasyim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Walid untuk menghancurkan Uzza. Ketika penjaga patung Uzza yang berasal dari Bani Sulaim mendengar bahwa Khalid bin Walid sedang menuju ke sana untuk menghancurkannya, ia segera menggantungkan pedangnya di pundak patung Uzza tersebut. Kemudian ia naik ke atas bukit yang terletak di dekat sana lalu berkata,
“Wahai Uzza, siapkan dirimu, tak ada yang lain selainmu yang mampu menghadang Khalid yang telah siaga. Siapkan dirimu, karena jika engkau tidak membunuh Khalid, niscaya engkau akan ditimpa dosa yang dekat dan tak berdaya.”
Setelah Khalid sampai di sana, ia segera menghancurkan Uzza. Setelah kembali, Rasulullah bertanya kepadanya,
“Apa yang engkau lihat?”
Khalid menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.”
Rasulullah menyuruhnya untuk kembali ke sana. Ketika Khalid sampai ke tempat itu, dari dalam ruangan tempat patung Uzza dihancurkan keluarlah seorang wanita hitam yang menguraikan rambutnya sambil menaburkan tanah ke kepala dan mukanya. Khalid segera mengayunkan pedangnya dan berakhirlah hidup wanita itu. Khalid berkata,
“Wahai Uzza engkau dikufuri dan dirimu tidak suci. Aku lihat Allah telah menghinakanmu.”
Kemudian Khalid menghancurkan rumah (ruangan) tempat patung itu lalu ia ambil seluruh harta yang ada di sana. Setelah itu ia kembali. Ia ceritakan kepada Rasulullah semua hal yang terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Itulah Uzza dan ia tak akan pernah disembah lagi untuk selama-lamanya.”
Khalid bin Walid bin Mughirah bin Abdullah bin Umair bin Makhzum. Ia dijuluki saifullah (pedang Allah). Ia seorang pahlawan Islam, panglima para mujahid, dan pemimpin pasukan yang selalu dibantu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tak pernah terkalahkan baik di masa jahiliah maupun setelah Islam. Ia memiliki ide-ide yang cemerlang, keperkasaan yang tiada tara, dan taktik yang jitu. Ia termasuk salah seorang juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gelarnya/kun-yahnya adalah Abu Sulaiman.
Khalid bin Walid telah mengikuti berbagai peperangan. Tak sejengkal pun bagian tubuhnya melainkan terdapat “cap” syuhada (bekas besetan pedang atau tusukan tombak). Ia pernah berkata, “Malam di kala aku dihadiahi seorang pengantin atau aku diberi kabar gembira dengan kelahiran anakku tidaklah lebih aku sukai daripada malam yang sangat dingin dalam barisan pasukan kaum Muhajirin di saat paginya aku akan berhadapan dengan musuh.”