Thaif

Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah Radhiyallahu anha, gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah saw semakin meningkat. Kaum Quraisy tak peduli dengan kesedihan yang tengah menghinggapi diri Rasulullah saw. Hingga akhirnya, Beliau saw memutuskan keluar dari Mekkah untuk menuju Thaif di kawasan Hijaz. Thaif merupakan sebuah kota di Provinsi Mekkah, Arab Saudi pada ketinggian 1.700 m di lereng Pegunungan Sarawat. Thaif merupakan salah satu kota yang memiliki hawa sejuk, karena berada di lembah pegunungan Asir dan pegunungan Al Hada. Thaif yang terletak sekitar 67 kilometer dari Makah ini terkenal dengan perkebunan anggur, kurma, sayuran lainnya, termasuk juga banyak tumbuh pohon Zaqqum, pohon berduri. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap penduduk Thaif mau menerimanya.


Muhamad saw pergi ke Thâ’if bersama anak angkatnya Zaid bin Hâritsah. Mereka berjalan kaki tanpa menunggang unta. Tujuannya agar Quraisy tak mencurigai perjalanan yang memakan waktu sekitar empat hari itu. Setelah melewati perjalanan yang berat dan melelahkan, Rasulullah saw tiba di Thâ’if. Peluh membasahi tubuh Muhamad saw. Hari-hari penuh perjuangan mulai dilalui Muhamad saw dan Zaid. Kemudian Beliau menemui salah satu suku ternama di Thaif yaitu Suku Bani Tsaqif, merupakan suku yang paling dekat dengan Makkah dan masih memiliki hubungan saudara dengan Rasulullah Saw. Yaitu dengan nenek Rasulullah Saw, ibu dari Hasyim bin Abd Manaf.

Di sana beliau menemui para pemuka Bani Tsaqif yaitu Abd Yalil, Mas’ud dan Hubaib, mereka adalah anak-anak ‘Amr bin Umair Ats-Tsaqafy. Nabi meminta pertolongan kepada mereka, tetapi mereka menjawab dengan jawaban kasar. Setelah permintaan Rasulullah terhadap ketiga pemuka Bani Tsaqif tidak dikabulkan, Rasulullah Saw meminta agar tidak menyiarkan berita kedatangan Nabi ke Thaif kepada orang-orang Makkah. Tetapi permintaan tersebut pun tidak mereka kabulkan, melainkan mereka menyiarkan berita kedatangan Nabi kepada kaum kafir Quraisy di Makkah.

Rasulullah saw berada di Thâ’if  selama 15 malam. Selama itu, Nabi saw mengunjungi sejumlah pasar dan tempat pertemuan. Setiap kali berjumpa dengan orang, beliau mengucap salam dan menyeru untuk mengikrarkan kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.

Jika bertemu orang-orang Yahudi, nabi Muhammad saw langsung mengenalkan ajaran yang dibawanya. Saat bertemu orang-orang Nasrani, Nabi saw melakukan hal yang sama. Begitu pula saat bertemu orang-orang musyrik.

Suatu saat, Rasulullah saw bertemu dengan penduduk Thâ’if. Beliau langsung menawarkan agama Islam kepada mereka, tapi ajakan tulus itu ditolak mentah-mentah, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” kata salah satu di antara mereka.

Rasulullah saw tak memaksa mereka dan berkata “Jika kalian menolak memberikan perlindungan dan masuk Islam, janganlah kalian mengabarkan kepada Quraisy bahwa aku datang untuk minta pertolongan.”

Di luar dugaan, permintaan itu juga ditolak penduduk Thâ’if. Akhirnya, Nabi saw mengajukan permohonan terakhir. “Jika kalian menolak, biarkan aku pergi,” ujar Nabi saw dengan lembut.
“Demi Allah, engkau tidak akan bisa keluar sampai engkau dilempari dengan batu. Agar engkau tidak akan pernah kembali lagi ke sini, selamanya,” teriak mereka. Dengan cepat, penduduk Thâ’if membentuk dua barisan. Sejurus kemudian, mereka membungkukkan badan untuk mengambil batu. Tangan mereka kini telah penuh dengan batu keras. Jumlahnya banyak. Setiap orang telah siap melempari Rasulullah saw dengan batu yang tergenggam di tangan.

Untuk beberapa saat, Muhamad saw dan anak angkatnya Zaid bin Hâritsah diam tak bergerak. Mereka tak menduga dengan situasi yang berubah cepat. Batu-batu mulai dilontarkan. Nabi saw dan Zaid berusaha lari.

Batu-batu itu beterbangan menuju tubuh Nabi saw dan Zaid. Keduanya terus berusaha menyelamatkan diri mencari tempat persembunyian, tetapi mereka kalah cepat. Batu-batu itu silih berganti mendarat di kepala dan sekujur tubuh mereka. Nabi saw tak dapat lagi mengelak. Zaid berusaha menggunakan tubuhnya untuk melindungi Rasulullah saw, tetapi sia-sia saja. Batu itu datang bak hujan deras yang turun dan langit, menghujam tubuh beliau tak kenal henti.

Mereka melempar batu yang diarahkan ke pembuluh darah di atas tumit Nabi saw sehingga kedua sandal beliau saw basah bersimbah darah. Darah segar mulai mengucur dari tubuh Rasulullah saw.

Muhamad saw dan Zaid terus berlari menghindani amukan penduduk Thâ’if, hingga Rasulullah saw berlindung di kebun anggur milik ‘Utbah bin Rabiah dan Syaibah bin Rabiah, yang terletak tiga mil dari kota Thâ’if.

Setelah merasa aman, Nabi saw menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk di sana. Di tempat itu, Rasulullah saw berdoa sambil menahan sakit yang mulai menjalar tubuhnya.

اَللُّهُمَّ اِلَيْكَ اَشْكُوْ ضَعْفَ قُوَّتِي، وَقِلَّةَ حِيْلَتِيْ وَهَوَانِيْ عَلَى النَّاسِ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ، وَاَنْتَ رَبِّي، اِلَى مَنْ تَكِلُّنِيْ اِلَى بَعِيْدٍ يَتَجَهَّمُنِيْ ؟ اَوْ اِلَى عَدُوٍّ مَلَكْتَهُ اَمْرِيْ ؟ اِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ غَضَبٌ عَلَيَّ فَلاَ اُبَالِيْ وَلَكِنْ عَافِيَتَكَ هِيَ اَوْسَعُ لِيْ، أَعُوْذُ بِنُوْرِوَجْهِكَ الَّذِيْ اَشْرَقَتْ بِهِ الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ اَمْرُ الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ مِنْ اَنْ تُنَزِّلَ بِي غَضَبُكَ اَوْ تَحُلُّ بِي سَخَطُكَ، لَكَ الْعَتْبَي حَتَّى تَرْضَي، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّبِكَ

“Wahai Rabb-Ku, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai Rabb-ku yang Maha Rahim. Engkaulah Robbnya orang-orang yang lemah dan Engkaulah Robb-ku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada musuh yang akan menerkamku, atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asal Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya muka-Mu yang mulia yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap. Dan atas-Nyalah teratur segala urusan dunia dan akhirat. Dari Engkau menimpakan atas diriku kemarahanMu atau dari Engkau turun atasku adzab-Mu. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Engkau.”

Rasulullah saw tidak menyadari bahwa gerak-geriknya diperhatikan dua putra Rabi’ah. Keduanya tak tega melihat penderitaan yang dialami Rasulullah saw. Lalu Utbah bin Rabiah memanggil ‘Addâs, seorang hamba beragama Nasrani yang mengabdi pada mereka. “Ambillah setandan anggur ini dan bawakan untuk orang tersebut!” kata keduanya. Anggur itu diberikan kepada Rasulullah saw yang kemudian mengulurkan tangannya untuk menerima pemberian tersebut. “Bismillah,” ucap Muhammad saw sesaat seusai menerima anggur itu dan lalu memakannya, Addas terperanjat. Ia tidak pernah mendengar perkataan itu sebumnya.

“Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini.”
“Kamu berasal dan negeri mana? Dan apa agamamu?” tanya Nabi saw.
“Aku seorang Nasrani dan penduduk Nina-wy (Nineveh/Persia),” jawab ‘Addâs.
“Itu negeri seorang saleh bernama Yunus bin Matta,” kata Rasulullah saw.
Addâs semakin penasaran, “Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”
“Dia adalah saudaraku, seorang nabi, demikian pula dengan diriku.” jawab Rasulullah saw.
Addâs tertegun. Ia terkejut mendengar jawaban itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung merengkuh memeluk Rasulullah saw. Ia juga mencium kedua tangan dan kedua kaki Nabi saw. Sementara, kedua putra Rabi’ah menyaksikan adegan itu dengan penuh keheranan. Ketika ‘Addâs datang, keduanya berujar, “Celakalah dirimu! Apa yang terjadi denganmu?”
“Wahai tuanku! Tiada sesuatu pun di bumi ini yang lebih baik daripada orang itu! Dia telah memberitahukan kepadaku hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi,” jawab ‘Addâs.
“Celakalah dirimu, wahai ‘Addâs! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu! Sebab agamamu lebih baik daripada agamanya,” kata mereka berdua.

Keadaan ini kemudian hari di ceritakan sendiri oleh Rasulullah saw saat ditanya oleh istri tersayang, yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

 هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Apakah pernah datang kepadamu satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril, lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain (Gunung Abu Qubais dan Gunung al-Ahmar) kepada penduduk Thaif.”  Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].

Peristiwa itu membuat hati Nabi saw menjadi tenteram. Perjalanan diteruskan hingga sampai ke lembah Nakhlah (pohon kurma). Selama beberapa hari, Nabi saw dan Zaid berdiam di sana. Di sinilah Nabi saw didatangi jin yang berasal dan Nusaybin. Mereka tertarik mendengarkan al-Qur`ân yang sedang dilantunkan oleh Rasulullah saw dan kemudian sekumpulan jin tersebut mengimaninya. Peristiwa itu disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam dua surat, yaitu al-Ahqâf dan al-Jin ayat 1 hingga 15.

Allah berfirman dalam surat al-Ahqâf ayat 29-31:

 وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ ﴿٢٩﴾ قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿٣٠﴾ يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

"Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur`ân, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur`ân) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih."

Gumpalan awan kegetiran, keputusasaan, dan kesedihan yang tidak henti membebani Nabi saw sejak keluar dari Thâ’if perlahan sirna. Tekad beliau telah bulat: kembali ke Makkah untuk memulai langkah baru. Namun, Zaid bin Hânitsah mempertanyakan keinginan Nabi saw itu. “Bagaimana bisa engkau kembali menemui mereka, sedangkan mereka telah mengusirmu?” tanya Zaid. “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan menjadikan apa yang engkau lihat sebagai kemudahan dan jalan keluar. Sungguh, Allah akan menolong agama-Nya dan akan memenangkan Nabi-Nya,” beliau memberikan jawaban.

Rasulullah saw meneruskan perjalanannya menuju Makkah. Saat telah hampir memasuki kota, Nabi saw memilih menetap di Hirâ’. Beliau kemudian mengutus seseorang dari suku Khuza’ah mendatangi Akhnas bin Syuraiq untuk meminta perlindungan. “Aku ini adalah sekutumu, maka seorang sekutu tidak mernberikan suaka!” kata Akhnas menolak permintaan Sang Utusan. Nabi saw lalu mengirim utusannya lagi menemui Suhail bin ‘Amth. Penolakan serupa dilakukan Suhail, “Sesungguhnya Bani Amir tidak memberikan perlindungan kepada Bani Ka’ab.”

Kemudian, Rasulullah saw mengirim anak angkatnya Zaid untuk menemui al Muth’im bin ‘Adi. Berbeda dengan dua orang sebelumnya, kali ini permintaan Muhamad saw diterima. Muth'im bin Adi adalah seorang pemuka Qurays yang dulu pernah meminang Aisyah anak gadis Abu Bakar untuk dijodohkan dengan puteranya yaitu Jubair bin Muth'im, namun pertunangan itu dibatalkan karena Muth'im bin Adi enggan menikahkan puteranya dengan seorang Muslimah Aisyah.

“Kami akan lindungi,” ujar al Muth’im, Ia lalu mengambil senjata, mengajak anak-anak dan kaum kerabatnya untuk berangkat, “Pakailah senjata dan diamlah kalian di sudut-sudut Baitullah! Karena sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad.” ujar Muth'im bin Adi kepada para pengikutnya. A1-Muth’im lalu mengutus seseorang untuk menemui Rasulullah saw. “Katakan pada Muhammad, temui aku sekarang,” kata al-Muth‘ im.

Rasulullah saw bersama Zaid bin Hâritsah segera pergi menemui al-Muth’im di Masjid al-Harâm. Itulah pertama kali Nabi saw masuk ke Makkah setelah pergi ke Thâ’if. Tampak al-Muth’im bin ‘Adi berada di atas kuda tunggangannya. Ia sedang berteriak lantang kepada orang-orang Quraisy.
“Wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan pada Muhammad, maka janganlah ada seorang yang mengganggu dan mengejeknya!”

Rasulullah saw lalu dikawal sampai di Rukun Yamani (salah satu pojok Ka’bah). Muhamad saw terharu. Cukup lama hampir sebulan  Ká’bah tidak disentuhnya. Sekarang ini, rumah Allah itu telah ada di hadapannya. Nabi saw lalu thawaf kemudian shalat dua rakaat, dan pulang ke rumahnya dengan kawalan al-Muth’im bin ‘Adi dan anak-anaknya. Mereka masih siap siaga dengan senjata hingga Rasulullah saw memasuki rumahnya.

Kebaikan al-Muth’im terus dikenang Rasulullah saw meskipun ia kafir.

“Demi Allah Yang jiwa ini berada dalam genggaman-Nya seandainya Muth’im bin ‘Adi masih hidup, lalu dia berkata kepadaku tentang para tawanan kafir dalam Perang Badar, niscaya aku akan ikuti perkataannya.” (HR. Bukhâri).

Dikemudian hari, Abdullah bin Ahbar, atau nama aslinya Muhair bin Ahbar, mungkin tidak bisa benar-benar disebut sebagai sahabat Nabi SAW walau ia termasuk dalam karakteristik sahabat beliau. Muhair bin Ahbar adalah dari golongan jin yang telah memeluk Islam dan memegang teguh agama tauhid sejak zaman Nabi Nuh AS, Rasul pertama yang diutus oleh Allah SWT untuk menyeru umat dan kaumnya.

Generasi demi generasi dan Rasul berganti Rasul, Ibnu Ahbar ini mengimani para Rasul tersebut termasuk sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Bisa jadi ia termasuk dalam kelompok jin yang mengikuti risalah Nabi SAW sebagaimana disitir dalam Al Qur’an Surah Al Jin ayat 1-2.

Muhair bin Ahbar tinggal di Gunung Tursina bersama istrinya, tetapi ia lebih sering berkeliling melang-lang buana layaknya seorang musafir. Suatu ketika ia pulang ke rumah dan didapatinya istrinya sedang menangis. Iapun bertanya, “Kenapa engkau menangis?”

Istrinya yang juga memeluk Islam dan mempunyai kecintaan yang sangat besar kepada Nabi SAW, berkata, “Apakah engkau tidak tahu, sesungguhnya Musfir (salah satu jin kafir yang jahat) telah menjelek-jelekkan Nabi Muhammad SAW sehingga beliau menjadi sedih?”

Memang, beberapa waktu sebelumnya telah terjadi peristiwa menggemparkan di Makkah karena berhala milik Walid bin Mughirah, salah seorang tokoh kafir Quraisy, bisa berbicara. Peristiwanya berawal ketika kaum Quraisy ingin menyatukan pendapat dalam menyikapi dakwah Nabi SAW, terutama menjelang dimulainya musim haji. Satu hal yang pasti, mereka menolak dakwah dan ajakan beliau untuk bertauhid, tetapi alasan apa yang tepat dari penolakan tersebut?

Berbagai usul muncul, seperti menyatakan Nabi SAW sebagai dukun, penyair, penyihir, pengacau, dan berbagai usulan lain, bahkan sebagai orang sinting. Walid menolak semua usulan tersebut karena semua itu sangat jauh dengan kenyataan yang ada pada pribadi dan perilaku Nabi SAW. Ketika mereka meminta usulan dari Walid, ia meminta waktu tiga hari untuk memikirkannya.

Dalam tiga hari tersebut, Walid bin Mughirah melakukan penyembahan kepada berhalanya, Hubal secara intensif. Ia tidak makan, minum dan tidur, dan ia juga mengajak anggota keluarganya melakukan hal yang sama. Ia juga memberikan persembahan yang luar biasa. Setelah tiga hari, Walid berkata kepada Hubal, berhalanya, “Demi penyembahan yang aku lakukan dalam tiga hari ini, beritahu aku perihal Muhammad!” Saat itulah jin kafir yang bernama Musfir masuk ke dalam berhala Hubal dan berkata, “Muhammad bukanlah Nabi, jangan kau benarkan perkataannya!”

Dan beberapa “nasihat” Musfir untuk Walid yang pada dasarnya menjelek-jelekkan Nabi SAW. Walid sangat gembira, dan mengabarkan hal tersebut kepada pemuka kafir Quraisy lainnya. Mereka mengundang Nabi SAW pada keesokan harinya untuk berkumpul di halaman Ka’bah. Nabi SAW datang bersama Abdullah bin Mas’ud. Ketika mereka telah berkumpul semua, mulailah Walid memberi persembahan kepada berhalanya dan menanyakan seperti hari sebelumnya. Musfir segera masuk ke dalam Hubal dan mengatakan perkataan seperti hari sebelumnya. Kaum kafir Quraisy itu bersorak gembira. Ibnu Mas’ud bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, apa yang dikatakan berhala tersebut?”

“Tenanglah Abdullah, sesungguhnya itu setan…”

Kembali kepada Muhair bin Ahbar, begitu mendengar penjelasan istrinya, ia sangat marah. Ia mencari jejak si Musfir dan mengejarnya hingga membawanya ke Makkah. Ia berhasil menemukannya di antara Shafa dan Marwah dan membunuhnya di sana.

Nabi SAW dalam perjalanan pulang dengan perasaan gundah dan sedih. Beliau tahu betul bahwa semua itu adalah rekayasa setan terkutuk, tetapi bagaimana cara meyakinkan mereka. Dalam kegundahan tersebut, tiba-tiba beliau bertemu penunggang kuda berpakaian hijau, yang sedang menuntun kudanya mendekati beliau. Setelah dekat, ia mengucapkan salam kepada beliau. Nabi SAW berkata, “Siapa kamu? Salam yang kamu ucapkan sungguh terasa amat indah bagiku?”

“Saya dari bangsa jin, saya telah memeluk Islam sejak jaman Nabi Nuh AS…” Kata Muhair bin Ahbar.

Mulailah ia menceritakan pengalamannya sejak melihat istrinya menangis dan cerita tentang beliau bersama Walid, juga pengejarannya terhadap Musfir. Ia juga menceritakan kalau baru saja membunuh Musfir di antara Shafa dan Marwah, kepalanya terpotong dan berada di kandang kuda, sedangkan badannya terbang di antara shafa dan Marwah, menyerupai seekor kambing tanpa kepala. Ia juga menunjukkan pedangnya yang masih berlumur darah Musfir.

Nabi SAW amat gembira mendengar cerita Muhair tersebut, dan mendoakan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Beliau kemudian berkata, “Siapa namamu?”
“Muhair bin Ahbar, saya tinggal di Gunung Tursina…”
Kemudian Muhair berkata lagi, ” Ya Rasulullah, apakah engkau tidak ingin aku mengejek mereka lewat berhala-berhala mereka, sebagaimana mereka telah mengejek engkau?”

“Lakukan saja kalau engkau suka,” kata Nabi SAW.

Tampaknya kaum kafir Quraisy masih “mabuk kemenangan” dengan peristiwa sebelumnya sehingga mereka mengundang Nabi SAW untuk hadir dalam pertemuan yang sama keesokan harinya. Mereka menghiasi Hubal dengan baju dan berbagai persembahan, kemudian berkata, “Hai Hubal, betapa cerah penglihatanku hari ini jika engkau mengejek Muhammad.”

Muhair yang telah siap di tempat tersebut, segera masuk ke dalam Hubal dan mengeluarkan perkataan yang sangat mengagetkan kaum kafir Quraisy, “Wahai penduduk Makkah, ketahuilah bahwa Muhammad ini adalah Nabi yang haq, agamanya benar, ia mengajak kepada jalan yang benar. Kalian semua dan berhala-berhala kalian ini tidak ada gunanya, jika kalian tidak membenarkan dan mengimaninya, kalian akan berada di neraka jahanam, kekal di dalamnya. Ikutilah Muhammad, ia Nabi Allah, dan mahluk terbaik-Nya.”

Kaum kafir Quraisy terlongong tak percaya, dari “bibir” berhala Hubal yang sama, tetapi sangat jauh berbeda dengan perkataan kemarinnya. Abu Jahal segera tanggap atas situasi tersebut, ia segera bangkit dan mengambil berhala Hubal, kemudian membanting ke tanah hingga pecah berkeping-keping.

Nabi SAW pulang dengan gembira. Beliau juga sempat memberikan nama baru buat Muhair, yakni Abdullah bin Ahbar. Ibnu Ahbar sangat gembira dengan pemberian nama baru oleh Nabi SAW tersebut, ia menyenandungkan syair untuk membanggakan nama barunya dan perjuangannya membela Nabi SAW.[]