Aisyah

Menurut riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, sesudah meninggalnya istri pertama Rasulullah saw, yaitu Khadijah, beberapa waktu kemudian Khaulah yang sudah terbiasa membantu urusan keperluan rumahnya, menemui Muhammad saw untuk menasehati beliau agar menikah lagi,

ألا تزوج؟ قال: ومن؟ قالت: إن شئت بكراً وإن شئت ثيباً. قال: من البكر ومن الثيب؟ فقالت: أما البكر فعائشة بنت أحب خلق الله إليك

Khaulah: Apakah engkau tidak menikah lagi?
Rasul: Dengan siapa?
Khaulah: Engkau dapat menikahi seorang gadis atau wanita yang pernah menikah.
Rasul: Siapa bikr dan tsayyib yang engkau maksud?
Khaulah: Gadis itu adalah Aisyah putri sahabatmu.

Orang yang mengerti Bahasa Arab akan segera tahu bahwa kata al bikr tidak digunakan untuk anak kecil berusia 9 tahun. al-Bikr tepatnya digunakan untuk wanita yang belum menikah dan memasuki usia pernikahan.

Rasulullah SAW bersabda:
“Aku melihatmu (Aisyah) dalam mimpiku selama tiga malam. Malaikat datang membawamu dengan mengenakan pakaian sutra putih. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu’. Lalu kusingkapkan penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Aku bergumam, ‘Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makkah, bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian. Pada suatu hari di tahun itu, istri Abu Bakar Al-Shiddiq, Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir yang berasal dari Bani Al-Harits bin Ghanam bin Kinanah, menerima seorang tamu yang menjadi utusan Rasulullah Saw.

Dia adalah Khaulah binti Hakim, istri ‘Utsman bin Mazh’un, seorang sahabat yang memimpin rombongan pertama para sahabat beliau yang berhijrah ke Habasyah. Selepas dipersilakan masuk ke dalam rumah dan berbagi sapa dengan ibunda ‘Aisyah, Khaulah berkata kepada Ummu Ruman, “Wahai Ummu Ruman! Keberkahan dan kebaikan apakah yang sedang dianugerahkan Allah Swt. ke dalam rumah ini?”

“Ada apa gerangan, wahai Khaulah?” tanya Ummu Ruman kebingungan dan tak tahu ke mana arah pembicaraan tamunya itu.
“Saya diutus Rasulullah Saw. untuk meminang putrimu, ‘Aisyah,” jawab Khaulah binti Hakim segera mengemukakan maksud kedatangannya.'
“Khaulah tentu, saya senang sekali dengan pinangan itu. Tapi, tunggulah Abu Bakar. Sebentar lagi dia datang,” jawab Ummu Ruman dengan wajah berbinar-binar.

Benar, tak lama kemudian Abu Bakar Al-Shiddiq datang. Selepas berbagi sapa dengan sang tuan rumah, Khaulah pun mengemukakan maksud kedatangannya. Abu Bakar sangat gembira mendengar maksud kedatangan tamunya itu. Tapi, ada suatu persoalan yang mengganjal di hatinya, yaitu putrinya telah dilamar Muth’im bin ‘Adi. Namun, dia tak kuasa menjelaskan masalah itu. Akhirnya, istrinyalah yang menjelaskan masalah itu kepada Khaulah, “Wahai Khaulah! Kami tentu sangat gembira dengan pinangan Rasulullah Saw. Tapi, sejatinya Muth’im bin ‘Adi telah meminang ‘Aisyah untuk putranya, Jubair. Demi Allah, jika Abu Bakar telah menjanjikan sesuatu kepada seseorang, dia tidak akan mengingkarinya.Karena itu, berilah kesempatan kepadanya untuk datang kepada Muth’im.”

Jubair bin Muth'im adalah seorang anggota marga Nawfal dari suku Quraisy di Mekah, ia adalah putra Mut'im bin 'Adi. Ia terkenal karena pengetahuannya tentang silsilah bangsawan Qurays, yang ia klaim telah pelajari langsung dari Abu Bakar. Pada bulan September 622 Jubayr adalah salah satu dari mereka yang terlibat dalam rencana yang gagal untuk membunuh Muhammad saw. Kemudian pada Pertempuran Uhud Jubayr menjanjikan kebebasan kepada  budaknya Wahshy ibn Harb dengan syarat bisa membunuh Hamzah bin Abdul Muttalib karena Hamzah telah membunuh paman Jubair di Badr.

Abu Bakar Al-Shiddiq pun berangkat ke rumah Muth’im bin ‘Adi. Selepas berbagi sapa dengan Muth’im dan istrinya, yang kala itu masih belum memeluk Islam, Abu Bakar pun mengemukakan maksud kedatangannya. Mendengar hal itu, Ummu Jubair, istri Muth’im pun berkata kepada tamunya,

“Wahai putra Abu Quhafah! Andaikata kami menikahkan putra kami dengan putrimu,apakah engkau akan mengajaknya memeluk agama yang engkau peluk?”
“Bagaimana pendapatmu tentang ucapannya?” tanya Abu Bakar kepada Muth’im bin ‘Adi tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan Ummu Jubair tersebut.
“Menurut saya, dia mengatakan seperti yang telah didengar,” jawab Muth’im bin ‘Adi, yang mengisyaratakan bahwa mereka enggan menikahkan putranya dengan Aisyah yang beragama Islam.
Setelah mendapat kepastian jawaban dari tuan rumah bahwa pinangan atas diri ‘Aisyah tidak dilanjutkan, Abu Bakar pun sangat gembira sekali. Atas dasar itu, dia pun menerima pinangan Rasulullah Saw. atas diri putrinya, ‘Aisyah.

Tidak lama kemudian, dia pun menikahkan beliau dengan putrinya itu. Tapi, karena putrinya kala itu masih terlalu muda usia, dia masih tetap tinggal bersama kedua orangtuanya hingga usia Aisyah menginjak dewasa. Dalam hal ini banyak kalangan yang berpendapat bahwa Aisyah dinikahkan pada umur 6 tahun dan hidup bersma Rasulullah saw ketika Aisyah menginjak umur 9 tahun dengan berdasarkan kepada hadits imam Bukhari dan imam Muslim namun justru imam Bukhari dan imam Muslim pernah menuliskan hadits tentang Aisyah yang turut serta dalam perang uhud yang terjadi pada tahun 3 hjriah, dengan catatan bahwa Aisyah hidup bersama dengan Rasulullah saw pada umur 9 tahun di tahun ke 2 hijriah maka ketika perang uhud berlangsung pada tahun ke 3 hijriah itu artinya bahwa Aisyah pada saat membantu pasukan muslim pada saat perang uhud berumur 10 tahun, tentu saja hal ini adalah hal yang sangat mustahil bahwa Rasulullah saw melibatkan anak perempuan yang masih berumur 10 tahun untuk turut serta dalam perang tabuk walaupun hanya di bagian logistik pasukan.

Anas r.a. berkata: "Ketika terjadi tragedi dalam Perang Uhud, banyak prajurit Islam yang lari meninggalkan Nabi saw. Aku melihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim sibuk sekali melayani pasukan. Mereka menyingsingkan pakaian sehingga kelihatan olehku gelang-gelang kaki mereka. Dengan langkah cepat mereka mengangkat girbah air di atas punggung mereka untuk memberi minum pasukan Islam. Kemudian pergi lagi mengisi girbah air tersebut, lalu datang lagi untuk memberi minum pasukan sampai isi girbah itu kosong ..."
(Bukhari, Kitab: Jihad, Bab: Kaum wanita berperang dan bertempur bersama kaum pria, jilid 6, hlm. 418. Muslim, Kitab: Jihad, Bab: Kaum wanita berperang bersama kaum pria, jilid 5, hlm. 196.)

Sudah seharusnya kita semua mengetahui bahwa tidak ada manusia yang sempurna termasuk imam Bukhari dan imam Muslim, bahkan Rasulullah saw sendiripun pernah melakukan beberapa kesalahan diantaranya Rasulullah saw pernah menjanjikan sesuatu kepada orang lain tanpa ucapan "Inshaa Allah" dan akhirnya mendapat teguran langsung dari Allah SWT. Begitu juga dengan kekeliruan banyak pihak dari kalangan muslim maupun non muslim yang menyatakan bahwa hadits dari imam Bukhari dan imam Muslim adalah bebas dari kesalahan, dalam hal ini berkaitan dengan umur Aisyah ketika hidup bersama dengan Rasulullah saw, sejatinya masih banyak riwayat lain yang menyebutkan bahwa Aisyah hidup bersama dengan Rasulullah saw ketika Aisyah sudah menginjak umur dewasa.