Assabiqunal Awalun

Pemeluk Islam pertama (bahasa Arab: السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ, translit. al-sabiqun al-awwalun‎) adalah orang-orang terdahulu yang pertama kali masuk/memeluk Islam. Mereka dari golongan kaum Muhajirin dan Anshar, mereka semua sewaktu masuk Islam berada di kota Mekkah, sekitar tahun 610 Masehi pada abad ke-7. Pada masa penyebaran Islam awal, para sahabat nabi di mana jumlahnya sangat sedikit dan golongan as-sabiqun al-awwalun yang rata-ratanya adalah orang miskin dan lemah.

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ(1) قُمْ فَأَنْذِرْ(2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ(3) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

“Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu beri peringatan, dan agungkanlah Rabb mu, bersihkan pakaianmu, dan tinggalkan perbuatan dosa” (QS. Al Muddatstsir: 1-5)

Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah berdakwah. Mula-mula ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga, sahabat, pengasuh dan budaknya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam.

Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Muhammad sejak ibunya masih hidup. Setelah mereka, lalu masuk yang lainnya. Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan Thalhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan orang telah masuk Islam. Sedangkan menurut sejarah Islam, putri Abu Bakar yaitu Aisyah adalah orang ke 21 atau 22 yang masuk Islam.

Madrasah Pertama, Nabi Muhammad mulai merasa perlu mencari sebuah tempat bagi para pemeluk Islam dapat berkumpul bersama. Di tempat itu akan diajarkan kepada mereka tentang prinsip-prinsip Islam, membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, menerangkan makna dan kandungannya, menjelaskan hukum-hukumnya dan mengajak mereka untuk melaksanakan dan mempraktikkannya. Pada akhirnya Muhammad memilih sebuah rumah di bukit Shafa milik Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Semua kegiatan itu dilakukan secara rahasia tanpa sepengetahuan siapa pun dari kalangan orang-orang kafir.

Rumah Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam ini merupakan Madrasah pertama sepanjang sejarah Islam, tempat ilmu pengetahuan dan amal saleh diajarkan secara terpadu oleh sang guru pertama, yaitu Nabi Muhammad. Ia sendiri yang mengajar dan mengawasi proses pendidikan disana.

Ibnu Hisyam pernah menulis 40 nama as-sabiqun al-awwalun. Ia menulis Khadijah dalam nomor urut pertama, Asma' di nomor urut 18, dan Aisyah di nomor urut 19. Umar bin Khattab berada jauh di bawah Aisyah. Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Al-Shiddiq, Ummu Aiman, dan Bilal bin Rabah, merekalah orang yang pertama kalinya mengucap kalimat dua syahadat, lalu menyebar ke yang lainnya. Kesemuanya berasal dari kabilah Quraisy, kecuali Bilal bin Rabah.Yang termasuk as-sabiqun al-awwalun adalah sebagai berikut:

Khadijah binti Khuwailid
Zaid bin Haritsah
Ali bin Abi Thalib
Abu Bakar Al-Shiddiq
Bilal bin Rabah
Ummu Aiman
Hamzah bin Abdul Muthalib
Abbas bin Abdul Muthalib
Abdullah bin Abdul-Asad
Ubay bin Ka'ab
Abdullah bin Rawahah
Abdullah bin Mas'ud
Mus'ab bin Umair
Mua'dz bin Jabal
Aisyah
Umar bin Khattab
Utsman bin Affan
Arwa' binti Kuraiz
Zubair bin Awwam bin Khuwailid
Abdurrahman bin Auf
Sa'ad bin Abi Waqqas
Thalhah bin Ubaidillah
Abdullah bin Zubair
Miqdad bin Aswad
Utsman bin Mazh'un
Sa'id bin Zaid
Abu Ubaidah bin al-Jarrah
Waraqah bin Naufal
Abu Dzar Al-Ghiffari
Umar bin Anbasah
Sa’id bin Al-Ash
Abu Salamah bin Abdul Asad
Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam
Yasir bin Amir
Ammar bin Yasir
Sumayyah binti Khayyat
Amir bin Fuhairah
Ja'far bin Abi Thalib
Khabbab bin 'Art
Ubaidah bin Harits
Ummu al-Fadl Lubaba
Shafiyyah binti Abdul Muthalib
Asma' binti Abu Bakar
Fatimah bin Khattab
Suhayb Ar-Rummi

Menurut sejumlah riwayat, di usianya yang ke-8 tahun, Ali Bin Abi Thalib sudah bersedia masuk Islam setelah mendengar dakwah Nabi Muhammad saw. Uniknya, Ali Bin Abi Thalib tidak meminta izin terlebih dahulu pada orang tuanya untuk masuk Islam di usia yang sangat belia.

Atas keberaniannya itu, sahabat Ali termasuk golongan orang-orang yang masuk Islam pertama kali dari kalangan anak-anak. Kisahnya, Ali Bin Abi Thalib suatu saat mengamati Nabi Muhammad saw dan istrinya Siti Khadijah. Ali ketika itu menyaksikan sebuah 'gerakan ritual' yang sedang dilakukan Nabi dan istrinya itu. Tanpa pikir panjang, Ali yang masih kecil bertanya kepada Nabi tentang gerakan yang baru saja disaksikannya. Nabi Muhammad saw pun menjelaskan bahwa ia baru saja melaksanakan salat. Karena tertarik, Ali Bin Abi Thalib langsung masuk Islam.

Pada awalnya golongan ini hanya terdiri dari kaum miskin dan lemah, kemudian setelah menempuh waktu semakin bertambah dan masuk beberapa orang dari lapisan golongan masyarakat, yang terdiri dari pemuka adat, pemimpin suku, panglima perang, ibu rumah tangga, anak-anak, majikan, saudagar, pengusaha, pedagang, petani, peternak binatang, pelayan rumah tangga, orang merdeka, budak.

Para budak banyak yang tertarik dengan prinsip yang diajarkan oleh Islam, yaitu tentang kesetaraan manusia di hadapan Allah, Rasulullah mempersaudarakan sebagian muslim dari golongan aristokrat Quraisy dengan sekelompok muslim lain yang dari golongan budak. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, kuat maupun lemah, merdeka maupun budak, Arab maupun non-Arab, semua setara. Menurut kacamata Islam, Allah tidak pernah melihat umat-Nya berdasarkan profesi/ pangkat dan jabatan seseorang, yang Allah nilai hanya iman dan taqwa hamba-Nya.

As-Sabiqun al-Awwalun yang Salaf, memiliki beberapa tugas penting yang harus diemban mereka. Tugas itu meliputi:

Bertauhid (mengesakan Allah),
Beriman kepada para malaikat, rasul, kitab-kitab Allah, takdir
Menegakkan salat,
Menunaikan zakat,
Melakukan keadilan,
Melakukan amal kebaikan,
Meninggalkan kekejian,
Meninggalkan kemungkaran,
Meninggalkan kezaliman,
meninggalkan penyembahan berhala,
Berhala harus dihancurkan,
Melarang kemusyrikan,
Darah tidak ditumpahkan,
Tidak ada jiwa yang harus dibunuh kecuali karena kebenaran,
Jalan-jalan tetap aman,
Tali silaturahmi terus dijalin,
Menjunjung tinggi kesetaraan/ kemerdekaan manusia,
Mencegah keburukan,
Mempertahanan bela agama,
Menyebarkan secara diam-diam agama yang dibawa oleh Muhammad.

Di antara mereka yang bisa baca tulis, walaupun jarang ada yang bisa baca tulis, selalu menulis kan ayat ayat yang yang telah mereka pelajari pada media pelepah pelepah kurma, tulang, kayu. Kala itu jarang sekali ada kertas, meskipun ada maka harganya sangat mahal. Namun, Rasulullah saw selalu menekankan kepada para pengikutnya agar menghafal semua ayat ayat yang sudah diturunkan.

Setiap ada ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan di dalam hati. Zaid bin Tsabit berkata, "Kami menyusun Alquran di hadapan Rasulullah pada kulit binatang".

Di masa kenabian, dalam berbagai literatur hadis dan sirah, diceritakan ada dua sahabat Nabi yang beliau percaya sebagai sekretarisnya untuk menulis wahyu telah keluar dari Islam. dalam hal ini, al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari di bab Alamat Nubuwwah fi al-Islam meriwayatkan sebuah hadis riwayat Anas bin Malik RA yang menceritakan bahwa ada seorang Nasrani dari Bani Najjar yang masuk Islam. Saat memeluk Islam, ia  membaca dan menulis Surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Ia pun memiliki kedudukan sebagai sekretaris Nabi SAW. Selanjutnya, ia murtad dan kembali memeluk agama Nasrani. Setelah itu ia berkata, “Muhammad tidak mengetahui (dariku) kecuali apa yang aku tuliskan untuknya.”

Kemudian Allah menakdirkan kematian untuknya. Di saat para kerabat orang itu menguburkan jenazahnya, ternyata tanah (bumi) tidak mau menerimanya. Bumi memuntahkan kembali jasadnya. Awalnya Rasulullah SAW dan para sahabatnya dituduh mengeluarkan jasadnya. Namun, hal itu ternyata berulang kali terjadi. Ketika dikuburkan, jasad itu muncul kembali ke permukaan Para kerabatnya pun menggalikan kembali liang yang paling dalam untuknya. Tapi hasilnya tetap sama, jasad itu keluar lagi ke permukaan tanah. Akhirnya mereka menyadari, bahwa kejadian itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Dan jasad Nasrani itu diletakkan begitu saja di atas tanah.

Imam Muslim menambahkan: “Ada seorang lelaki nasrani dari kalangan Bani Najjar yang masuk Islam dan  menghafal surat al-Baqarah dan surat Ali Imran. Laki-laki ini menjadi sekretaris Nabi. Kemudian ia kabur dan berafiliasi kepada ahli kitab.” Dalam kisah ini, tidak diceritakan bahwa Nabi SAW memerintahkan sahabat lainnya untuk mencari sahabat yang murtad ini dan tidak ada perintah pula untuk membunuhnya. Dengan kata-kata lain, nabi hanya membiarkannya.

Sahabat Nabi yang lain yang dipercaya Nabi untuk menulis wahyu yang murtad atau keluar dari Islam ialah Abdullah bin Abi Sarh. Abu Dawud dalam Sunan-nya, di bab al-Hukmu fi man irtadda meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas, beliau berkata: “Abdullah bin Abi Sarh ditugaskan oleh Nabi untuk menulis wahyu. Setan kemudian menyesatkannya sehingga ia berkomplot dengan kaum kafir Quraisy. Rasul SAW menyuruh untuk membunuhnya di hari penaklukkan kota Mekah. Lalu Abdullah meminta perlindungan kepada Usman bin Affan lalu Rasul pun membebaskanya dari pembunuhan.” Keterangan lebih detail lagi disampaikan oleh Ibnu al-Asir.

Ibnu al-Asir dalam al-Kamil fi at-Tarikh meriwayatkan tentang murtadnya Abdullah bin Abi Sarh dengan mengatakan: “Usman bin Affan memiliki  saudara sepersusuan yang bernama Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh al-Qurasyi al-Amiri. Sahabat Nabi ini telah masuk Islam sewaktu di Mekah. Beliau mengemban tugas mulia dari Nabi sebagai pencatat wahyu. Namun ternyata Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin “mempermainkan wahyu”.

Ia mencatat wahyu sekehendak hatinya. Jika Rasulullah saw menyampaikan bahwa  jika ayat tersebut masuk ke dalam surat al-Kafirun, Abdullah menulisnya dengan “az-zhalimun”. Jika Rasulullah saw mendiktekan ‘azizun hakim’ maka Abdullah menuliskannya dengan sebutan ‘alimun hakim’ dan seterusnya sampai-sampai kemudian hal tersebut diketahui oleh Nabi SAW melalui turunnya ayat 93 dari surat al-An’am. Lalu karena ketahuan, Abdullah kabur ke Mekah dan menjadi murtad. Ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy bahwa “agama jahiliyyah” lebih baik daripada Islam dan berkomplot dengan kaum kafir Quraisy dalam memusuhi Nabi.

"Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah". Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya." (Al An'am 93)

Saat terjadinya penaklukan kota Mekah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh lari. Ia takut dibunuh dan lantas kemudian meminta jaminan keamanan kepada Usman bin Affan. Usman lalu menyembunyikannya sampai keadaan tenang. Setelah kondisi tenang, Usman bin Affan membawa Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh ini kepada Rasulullah SAW. Saat datang menemui Rasulullah, Rasul pun terdiam tidak menjawab dalam jangka waktu yang sangat lama.”  Keadaan menegang tetapi kemudian tegangan menurun dan Rasulullah mengeluarkan jaminan keamanan bagi Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh. Usman dan Abdullah kemudian pamit. (Baca : Sahabat Nabi yang Murtad Setelah Membunuh)

Surga Bagi As-Sabiqun al-Awwalun, Menurut kepercayaan Islam, As-Sabiqun al-Awwalun akan mempunyai tempat tinggal yang mulia, Surga Jannatun Na'im.

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (At-Taubah ayat 9:100)

Diperkuat oleh dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan muslim dan lain-lainnya, dimana Nabi Muhammad bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.”

Dan demikianlah pengikut Rasulullah saw pada saat itu walaupun banyak yang menentang namun ada pula yang simpati terhadap Rasulullah saw. Pada suatu hari adalah seorang Abu Dzar Al Ghifari  datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung karena sudah melakukan perjalanan yang sangat jauh, namun sinar matanya bersinar bahagia. Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka’bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan. Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.

Samar-samar  ia memperoleh petunjuk kediaman Nabi Muhammad. Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sedang duduk seorang diri.

“Selamat pagi, wahai kawan sebangsa.”
“Wa alaikum salam, wahai sahabat,” jawab Rasulullah.
“Anda dari mana, kawan sebangsa?” tanya Rasulullah.”Dari Ghifar,” jawabnya.
Kemudian Abu Dzar berujar “Bacakanlah kepadaku hasil gubahan Anda!”
“Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur’an yang mulia,” kata Rasulullah saw, kemudian membacakan wahyu Allah Subhanahu Wata’ala.

Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya.”
Rasulullah saw pun bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya…”

Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Bibir Rasulullah saw menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah saw setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidakada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.

Lelaki yang bernama asli Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya—orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.

Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut Anda?”

“Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!” jawab Rasulullah.
“Demi Tuhan yang menguasai jiwaku,” kata Abu Dzar, “Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka’bah.”
Ia pun menuju menuju Masjidil al Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik Mekah yang tengah berkumpul di sana.

Rasulullah saw kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.

Ketika Rasulullah saw dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, nampaklah barisan panjang yang terdiri atas para penunggang unta dan pejalan kaki menuju pinggiran Madinah. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan musyrik Mekah yang akan menyerang kota.

Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.

Rasulullah saw semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda, “Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya.”

Pada suatu ketika, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengajukan pertanyaan kepadanya. “Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti hanya untuk diri mereka?”
Ia menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!”
“Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!”

Abu Dzar selalu ingat wasiat Rasulullah saw ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan bungkam atau berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.

Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu.

Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.

Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan. "Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!"

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

Abu Dzar mengakhiri hidupnya di gurun yang sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?"

Istrinya menjawab, "Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"

"Janganlah menangis," kata Abu Dzar, "Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.'
Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!"

Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi, beberapa saat kemudian, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat dan dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud. Dari kejauhan, Ibnu Mas'ud melihat sesosok tubuh terbujur, sedang di sisinya ada seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.

Setelah mendekat dan ketika pandangan Ibnu Mas'ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya pun mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!"