Abdul Muthalib beliau bernama Asli Syaibah lahir Tahun 497 M, wafat dalam usia 80 Tahun Saat Rasulullah saw berusia 8 Tahun. Adalah putra dari Hasyim bin Abdi Manaf. Terbiasa dipanggil Abdul Muthalib karena ada kisah yang menyebutkan bahwa pamannya Al-Muthalib bin Manaf bergantian memegang tugas menyediakan minuman dan bantuan yang diperlukan kepada jamaah haji ketika saudaranya Hasyim telah meninggal dunia, orang-orang Quraisy menyebutnya Al-Faidh karena kemurahan hatinya. Silsilah Abdul Muthalib adalah sebagai berikut Abdul Muthalib (Syaibah) bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (Quraisy) bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzayma bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan bin Udad bin al-Muqawwam bin Nahur bin Tayrah bin Ya’rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim bin Tarih (Azar) bin Nahur bin Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Aybir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh bin Lamikh bin Mutusyalikh bin Akhnukh bin Yarda bin Mahlil bin Qinan bin Yanish bin Syits bin Adam.
Hasyim yang merupakan ayah Abdul Muthalib adalah pemimpin kota Makkah. Ia adalah seorang saudagar sukses yang dikenal bijaksana dan sangat demawan. Ia melayani para peziarah yang datang ke Makkah untuk berhaji dan menyiapkan semua keperluan mereka selama di sana, seperti air dan makanan. Bila uang dari hasil penggumpulan pajak tidak mencukupi, maka ia tidak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk mencukupi keperluan para peziarah ini.
Salma Ibunda Syaibah (Abdul Muthalib) adalah seorang perempuan yang mulia dari Medinah dan keturunan dari bani Addi bin Najjar, yakni Salma binti Amr bin Zaid bin Labib dari Bani Addi bin Najjar.
Para saudagar di Makkah kerap melakukan dua perjalanan dagang keluar negeri ke Syiria dan Yaman maka Hasyim lah yang mula-mula melakukan perjalanan perdagangan tersebut. Bahkan ia membuat perencanaan yang sangat matang untuk setiap ekspedisi perdagangannya. Seperti, pada musim dingin, ia mengirim kafilah dagangnya ke Yaman, dan ketika musim panas, ia mengirim kafilah dagangnya ke Syam. Apa yang dilakukan oleh Hasyim ini kemudian menuai keuntungan yang luar biasa, sehingga banyak ditiru oleh masyarakat Makkah lainnya, dan menjadi semacam tradisi hingga di kemudian hari.
Alkisah bahwa dulu saat Hasyim bersama dengan kafilahnya berhenti di Madinah. Disana mereka menemukan sebuah pasar yang sedang ramai dengan aktivitas jual beli. Hasyim melihat seorang perempuan berada ditempat yang tinggi diatas pasar Perempuan ini memberikan perintah pembelian dan penjualan untuknya. Ia adalah perempuan yang teguh , berpendirian, rendah hati, dan cantik. Hasyim bertanya kepada penduduk sekitar, apakah ia masih gadis atau janda? Mereka mengatakan bahwa ia janda dan tidak mau menikah kecuali dengan laki-laki yang setara denganya karena kedudukanya terhormat di kalangan kaumnya. Ia menyaratkan bahwa jika ia menikah, maka pemegang kekuasaan adalah dirinya . Hasyim kemudian meminangnya. Stelah mengetahui kemuliaan nasab Hasyim, Salma menikahkan dirinya dengan Hasyim. Setelah perkawinan mereka menghasilkan anak yang pertama yaitu Syaibah.
Hasyim wafat dalam sebuah perjalanan di Syam. Ia dimakamkan di Gaza. Setelah ayahnya meninggal Syaibah hidup dibawah penjagaan dan pemeliharaan ibunya dan paman-pamanya. Akhirnya Tsabit memberikan informasi kepada paman Syaibah, yaitu Al-Muthalib tentang hal tersebut. Maka Al-Muthalib mendatanginya untuk membawanya pulang. Semula Salma menolak permintaan Al-Muthalib. Namun akhirnya ia menyetujuinya.
Al-Muthalib membawa Syaibah kembali ke Makkah pada waktu siang. Ketika melihatnya,penduduk Makkah menyangka bahwa Syaibah adalah budaknya. Maka mereka berkata, “ini adalah Abdul Muthalib (budak Muthalib).” Al-Muthalib berkata, “Enyahlah kalian.! Sesungguhnya ia adalah anak saudaraku, Syaibah bin Hasyim.” Namun Syaibah tetap terkenal dengan sebutan Abdul Muthalib.
Pada saat Al-Muthalib pergi ke Yaman dan meninggal disana. Maka Abdul Muthalib bin Hasyim yang mengganti tugas memberikan minuman dan pelayanan kepada jamaah haji. Ia tidak pernah lelah untuk meberikan makanan dan minuman kepada mereka dalam wadah besar yang terbuat dari kulit di Makkah.
Abdul Muthalib kakek Rasulullah saw adalah sosok yang mulia, dermawan dan lemah lembut. Dialah orang yang sering memberi makan burung-burung di kawasan Mekkah. Di antara riwayat yang menyatakan kemuliaan beliau adalah, sebagaimana cerita Imran Husain, ketika Husain sebelum masuk Islam yang menyatakan kepada Rasulullah saw, “Ya Muhammad, Abdul Muthalib lebih baik bagi kaumnya dibanding engkau, dia memberi kaumnya makan.”
Abdul Muthalib adalah orang yang pertama kali menggali sumur zamzam setelah zaman dahulu dikubur oleh kabilah Jurhum saat dipaksa untuk keluar dari kota Makkah. Abdul Muthalib membawa air Zamzam ke Arafah untuk memberikan minuman kepada jamaah Haji. Dengan begitu, ia memberikan kenang-kenangan yang luar biasa, yaitu kenang-kenangan berupa peninggalan dari Nabi Ismail as.
Seperti diriwayatkan oleh Baihaqiy dalam Dalail al–Nubuwwah, dari Ali bin Abi Thalib. Bahwa Abdul Muthalib berkali-kali bermimpi ditemui oleh sosok yang memerintahkannya menggali sumur. Setelah beberapa saat dan nampaklah seakan mimpi itu benar dengan petunjuk jelas akan letaknya,
Abdul Muthalib mempunyai tanggung jawab besar setelah pamannya dalam urusan Ka’bah seperti Siqayah dan Rifadah, yaitu memberi minum para jamaah haji, yang diambil dari sumur-sumur di luar Makkah. Karena pada saat itu sumur zam-zam yang Allah karuniai kepada Nabi Ismail melalui hentakan kedua kakinya itu telah kering dan tidak diketahui lagi keberadaannya selama ribuan tahun.
Pada suatu hari, Mekah dilanda kekeringan yang mengharuskannya mencari solusi dari kekeringan tersebut, sebelum para jamaah haji datang untuk melaksanakan haji. Di tengah kebingungan yang Ia rasakan, Abdul Muthalib tidur di Hijr Ismail. Ia bermimpi ada sesorang yang menyuruhnya untuk menggali sumur zam-zam.
Ibnu Hisyam menjelaskan mengenai mimpi tersebut bahwa ketika Abdul Muthalib tidur di Hijr Ismail, beliau bermimpi ada seseorang yang mendatanginya kemudian berkata, “Galilah Thayyibah (Kebaikan)!” lalu ia bertanya, “Apa itu Thayyibah?” Namun orang itu pergi begitu saja.
Keesokan harinya ketika Abdul Muthalib sedang tidur, orang tersebut datang kembali untuk kedua kalinya seraya berkata, “Galilah Birrah (kebaikan)!” Abdul Muthalib masih tidak faham, ia menjawab, “Apa itu birrah?” Bukan malah menjawab, orang itu pergi begitu saja.
Lalu keesokan harinya orang tersebut datang untuk ketiga kali dalam mimpinya, “Galilah Madhnunah!” Abdul Muthalib kembali bertanya, “Apa itu Madhnunah?”. Orang itu pergi lagi tanpa memberi jawaban apapun.
Barulah hari keempat, orang misterius tersebut datang di mimpinya dengan perintah yang jelas, “Galilah zam-zam!” Namun demikian, kakek Rasulullah saw ini masih belum faham, ia pun bertanya kembali, “Apa itu zam-zam?”
“Air yang tidak kering dan tidak meluap, engkau dapat memberi minum para jamaah haji dengannya. Letaknya di antara kotoran dan darah, di paruh gagak yang tuli dan di sarang semut,” jawab si misterius.
Abdul Muthalib lalu bangun untuk kedua kalinya. Ia tidak bisa tidur lagi. Hanya berusaha memahami maksud dari mimpinya. Di tengah keheningan malam itu, ia keluar dari kemahnya, sambil mengingat-ingat tentang satu kisah kuno soal sebuah sumur pertama di kota itu. Konon sumur itu memancarkan air yang segar setelah leluhurnya, Ismail menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tapi sumur itu sudah tidak digunakan dan akhirnya ditutup seiring perjalanan zaman. Tapi apa nilai sumur itu sekarang? Bukankah sudah cukup banyak sumur di kota ini? Bahkan air di Makkah, sejauh ini bisa mencukupi untuk melayani para peziarah yang datang ke kota itu.
Namun perintah dalam mimpinya begitu nyata, dan ia tidak mungkin mengabaikannya. Persoalannya, letak sumur kuno yang dimaksud itu sekarang posisinya tepat berada di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan Nallah. Berhala ini tidak hanya disembah oleh masyarakat Makkah, bahkan peziarah yang datangpun ikut mengagungkannya. Akan terjadi resistensi yang luar biasa bila ia memaksakan diri membongkarnya demi untuk menggali sumur tua. Dan benar saja, ketika ia memaksakan diri menggali sumur tua tersebut, para pemimpinan kabilah berikut keluarganya menentang usaha Abdul Muthalib. Ketika itu ia hanya berdua dengan putra tertuanya Al Harits dan harus berhadapan dengan semua kabilah.
Masyarakat Makkah memang masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ashobiyah (fanatik kesukuan). Dari landasan inilah semua perangkat aturan bermasyarakat diambil dan disepakati. Karena dasar perhitungannya adalah kesukuan, maka kuantitas keturunan (umumnya laki-laki) dan harta akan menjadi variable penting yang menentukan kedudukan seseorang di antara kaumnya. Inilah yang dihadapi Abdul Muthalib. Ia hanya memiliki satu orang anak, di tengah-tengah kabilah yang begitu banyak dan fanatik pada agama dan klannya. Sedang misinya, adalah menggali sumur yang letaknya berada diantara dua berhala yang begitu dipuja dan diagungkan di kota itu.
Maka Abdul Muthalib segera menggali di tempat yang ditentukan. Abdul Muthalib menggali bersama anak satu-satunya ketika itu, Al Harits, mereka berdua menggali persis pada tempat diantara berhala Ashaf dan patung Nallah di bawah tekanan bahkan cemo'ohan dan bahkan kemarahan dari beberapa masyarakat Makah yang menyembah Ashaf dan Nallah, Ketika menjumpai sumber air, Abdul Muthalib bertakbir. Segeralah kaum Quraisy tahu bahwa Abdul Muthalib yang sebelumnya membuat mereka kesal karena menggali tempat diantara berhala Ashaf dan Nallah tersebut, telah mendapat sumber air.
Kaum Quraisy yang berkerumun kemudian ngotot agar mereka bisa ikut memiliki kepemilikan sumur tua tersebut. Perdebatan terjadi sengit, sementara kaum Quraisy bersikukuh hendak ikut memiliki. Sedangkan Abdul Muthalib berniat, agar sumur bisa digunakan untuk kepentingan umum, seperti penyediaan air minum bagi para haji.
Ketika musyawarah buntu, mereka pun bersepakat untuk membawa sengketa itu ke seorang dukun bijak dari Bani Sa’d, Hudzaim. Tempatnya yang berada di timur Syam. Abdul Muthalib ditemani 20 orang dari Bani Abdi Manaf, sedangkan kaum Quraisy juga membawa 20 orang dari perwakilan beberapa kabilah.
Ketika mendekati Syam, dalam gurun yang tandus. Perbekalan air rombongan Abdul Muthalib telah tandas. Mereka kehabisan perbekalan air. Maka, mereka pun meminta bantuan dari rombongan kaum Quraisy. “Sesungguhnya kami beruntung, dan kami takkan memberi kalian air, karena akan mengalami kejadian seperti kalian (kehabisan air jika kami berikan air kami).”
Abdul Muthalib bertanya pada kaumnya, “Apa pendapat kalian, apa yang harus kita perbuat?.” “Kami mengikuti apapun perintahmu, maka perintahkanlah kami apa yang anda kehendaki,” jawab kaumnya pasrah. Ada usulan, agar selama mereka mempunya kekuatan, maka mereka harus menggali lubang untuk kuburnya.
Maka jika seseorang telah meninggal, maka saudara lain yang masih hidup agar meletakkan jasad saudaranya yang telah meninggal ke lubang yang telah digalinya. Begitu seterusnya, hingga tersisa seorang saja dari mereka. Ini lebih baik, menurut mereka, daripada jasad mereka harus tergeletak tak terurus semua. Mereka pun duduk sambil menunggu maut.
Abdul Muthalib bangkit, “Wah, sesungguhnya kita takkan menyerah pada maut. Kita harus terus berjuang dan berusaha, kita pasti mampu. Semoga Allah memberi kita air di tempat lain. Ayolah kita bergerak.”
Maka Abdul Muthalib bergerak menuju tunggangannya dan menaikinya. Ketika hendak berangkat, tiba tiba air menyembur dari sisi bawahnya. Bertakbirlah Abdul Muthalib, disusul oleh segenap rombongannya.
Mereka pun minum beramai-ramai. Abdul Muthalib pun mengundang kabilah Quraisy yang telah acuh kepada mereka, agar rombongan itu mengisi air mereka agar tidak kehabisan perbekalan air minum. “Kami telah diberi minum oleh Allah,” ujar Abdul Muthalib.
Mereka pun mengakui keutamaan Abdul Muthalib, sehingga sepakat memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke syam dan menyerahkan urusan sumur Zam-zam kepada Abdul Muthalib. “Wahai Abdul Muthalib, Tuhan yang telah memberi engkau air di tengah padang pasir inilah yang telah memberimu Zam-zam.” Mereka pun kembali ke Mekkah dengan tenang.