Dzatu Al Riqa

Pertempuran Zatu al-Riqa` (Arab: ذات الرقاع) adalah pertempuran antara pihak muslimin dengan Bani Muharib, Bani Tsa'labah dan Bani Ghathafan, di daerah dekat Najd, dan dimenangkan oleh pihak Muslim walaupun tanpa pertempuran. Dilain kisah pertempuran ini disebut pula sebagai Perang Bani Anmar, sedangkan dalam buku yang berjudul Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, disebut juga sebagai Perang al-Ajib.

Bani Ghatafan (bahasa Arab: بنو غطفان‎) adalah suku kuno besar dari utara Madinah dan dari mereka muncul suku Bani Abs dan Ashga dan Banu Thibyaan. Mereka adalah salah satu suku Arab yang berinteraksi dengan Muhammad. Suku Ghathafan ini memang terkenal kekuatannya sejak masa jahiliah dan sangat ditakuti, suku ini pula yang bersekutu dengan Suku Quraisy untuk menyerang Madinah pada Perang Khandaq (Ahzab).


Ketika mendengar berita bahwa Bani Anmar atau Tsa’labah dan Bani Muharib telah berkumpul untuk menyerang Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera keluar bersama empat ratus atau tujuh ratus Sahabat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Abu Dzar Radhiyallahu anhu untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Dalam peperangan ini tidak terjadi kontak senjata antara kedua pasukan. Namun keduanya khawatir kalau-kalau musuh tiba-tiba menyerang. Sehingga Rasullullah n beserta para shahabat melaksakan shalat khauf.

Setelah dua hari perjalanan, beliau tiba dan beristirahat di Nakhl, tidak jauh dari Ghathafan. Kebanyakan anggota pasukan tersebut berjalan kaki sehingga banyak yang kakinya pecah-pecah (terluka) dan ada yang kukunya terkelupas. Mereka membalut kaki-kaki mereka dengan kain-kain perca, karena itulah peperangan itu diberi nama Dzatur Riqa’ (yang ada tambalannya), dan tempat mereka singgah diberi nama yang sama.

Perang ini terjadi didekat kebun kurma, sebelah utara Khaibar, kemudian jaraknya dikatakan hanya 100km dari utara Madinah, yang terletak antara kebun kurma, lembah al-Hanakiyah dan asy-Syuqrah.

Dalam perang Dzatu al-Riqa' ini, Malaikat Jibril mengajari salat Khauf kepada Muhammad dan umat Islam memperoleh kelonggaran untuk bertayammum. Dalam tahun itu juga terjadi Perang Badar yang terakhir, kemudian isteri Muhammad yang bernama Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia. Pada tahun yang sama pula lahir cucu Muhammad yaitu Husain anak Ali dan Muhammad menikah dengan Ummu Salamah.

Melihat kehadiran pasukan Nabi SAW di Nakhl, kabilah-kabilah dari suku Ghathafan itu merasa ketakutan. Sebagian dari mereka menawarkan perdamaian atau menyerah di bawah kekuasaan Madinah, termasuk kabilah Bani Tsa’labah dan Bani Muharib. Sebagian kecil lainnya ada yang memeluk Islam. Pada akhirnya, berangsur-angsur makin banyak dari suku Ghathafan ini yang memeluk Islam.

Percobaan Pembunuhan Terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketika Rasûlullâh dan para Sahabat kembali dari perang Dzatul Riqâ’, tepatnya menjelang siang, saat terik matahari menyengat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tiba di lembah yang rindang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di bawah salah satu pohon, sementara para shahabat berpencar mencari tempat untuk berteduh dan istirahat.

Abu Nu'aim mengetengahkan sebuah hadis dalam kitabnya Dalaailun Nubuwwah (mukjizat-mukjizat kenabian) dari jalur periwayatan Hasan dari Jabir bin Abdullah, bahwa ada seseorang lelaki dari kalangan Bani Muharib yang dikenal dengan nama Ghaurats bin Harits, berkata kepada kaumnya, "Aku akan membunuh Muhammad demi kamu sekalian."  Kemudian ia berhasil menyelinap di perkemahan kaum muslim, dan ia melihat Nabi SAW sedang tertidur di bawah pohon , dan pedang beliau tergantung di sebuah ranting. Ghaurats mengambil pedang itu mengacungkan kepada beliau sambil menghardik, “Wahai Muhammad, tidakkah engkau takut kepadaku?”
Nabi SAW yang segera terbangun, berkata dengan tenang, “Tidak!!”
“Siapakah yang akan menghalangiku untuk membunuhmu?” Tanya Ghaurats lagi.
“Allah!!” Kata Nabi SAW.
Mendengar  kata ‘Allah’ yang terlontar dari bibir Rasulullah SAW itu, tiba-tiba tubuhnya serasa lumpuh dan pedang itu terlepas dari tangannya, dan ia jatuh terduduk. Beliau segera mengambil pedang itu dan mengacungkannya kepada Ghaurats, dan bersabda, “Siapa yang bisa menghalangiku untuk membunuhmu?”
Ghaurats berkata, “Tidak ada!! Jadilah engkau orang yang sebaik-baiknya menjatuhkan hukuman!!”
Nabi SAW tersenyum mendengar jawabannya itu, dan berkata, “Kalau begitu bersaksilah engkau bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah!!”
“Tidak,” Kata Ghaurats, “Tetapi aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhimu, dan tidak akan bergabung dengan orang-orang yang memusuhimu!!”

Beliau tidak memaksa Ghaurats, bahkan beliau memaafkan dan melepaskannya. Ketika tiba kembali di antara kaumnya, Ghaurats berkata, “Aku baru saja kembali dari sebaik-baiknya orang di dunia ini!!”

Perawi peristiwa ini yaitu Jâbir mengatakan, “Ketika kami tiduran, tiba-tiba Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami. Kami mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami dapati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang badui.Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, “Orang ini mengambil pedangku ketika aku sedang tertidur kemudian menghunusnya dan mengatakan, ‘Siapa yang membelamu dari saya ?’ Saya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam )menjawab, ‘Allah ! Ini orangnya yang sedang duduk ini.’ Jâbir Radhiyallahu anhu mengatakan, “Rasulullah tidak menghukum orang tersebut”.

Kemudian turun firman Allah :

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَن يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ "Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allâh kepadamu, saat suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), lalu Allâh menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah" Al-Maidah 11

Dalam perjalanan pulang, kaum Muslimin menahan seorang wanita musyrikin, sehingga suaminya bernadzar untuk tidak kembali sampai dapat membalas dengan membunuh atau melukai salah seorang Sahabat dan membawa istrinya kembali. Pada malam itu dia datang, sementara Rasûlullâh telah memerintahkan dua orang yaitu Abbâd bin Bisyr dan Ammâr bin Yâsir untuk berjaga. Kemudian orang itu memanah Abbâd bin Bisyr Radhiyallahu anhu yang tengah shalat. Abbad Radhiyallahu anhu mencabut anak panah itu tanpa memutus shalat, sehingga seketika salam tiga anak panah telah melukainya.

Setelah itu, beliau Radhiyallahu anhu membangunkan Ammâr. Ammâr kaget dan mengatakan, “Subhanallah, kenapa engkau tidak membangunkanku ? Abbâd Radhiyallahu anhu menjawab, “Saya sedang melaksakan shalat dan membaca surat al-Qur’ân yang tidak ingin saya potong sebelum selesai. Ketika ia terus membidikkan panahnya kepadaku, saya ruku’ kemudian membangunkanmu. Demi Allâh ! Seandainya saya tidak khawatir menyia-nyiakan tugas yang di perintahkan Rasulullah, niscaya nyawaku hilang sebelum saya menyelesaikan shalat."

Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, Rasûlullâh saw menyapa Jabir " Ya Jabir, mengapa ontamu sangat lambat ?" Jâbir Radhiyallahu anhu menjawab, “Onta ku sudah tua dan lelah.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dan menyentuh onta itu dengan tongkat seraya berdoa. Setelah itu, onta milik Jâbir berjalan lebih cepat dan mendahului onta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jâbir berusaha menahannya agar tidak mendahului Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah kamu sudah menikah ?” Jâbir menjawab, “Ya” Rasûlullâh melanjutkan, “Apakah engkau menikahi gadis atau janda ?” Jâbir menjawab, “Saya menikahi janda.” Rasûlullâh, “Apakah engkau tidak menikahi gadis yang bisa engkau ajak bercengkerama dan bercanda?”

Lalu Jâbir menjelaskan kenapa menikahi janda ? Yaitu karena ayahnya meninggalkan beberapa anak perempuan yang masih perlu perhatian dan beliau ingin ada yang bisa mengurusi mereka. Dan ini bisa dilakukan oleh wanita yang lebih tua dari mereka. Selanjutnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Maukah kau jual ontamu ?”

Jâbir Radhiyallahu anhu pun sepakat menjual ontanya kepada Rasûlullâh seharga 40 dirham. Dalam riwayat lain disebutkan, Jâbir Radhiyallahu anhu ingin menghadiahkannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mau mengambilnya kecuali dengan harga. Keesokan harinya, Jâbir membawa ontanya ke Rasûlullâh dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam minta Bilal menyerahkan bayarannya dengan sedikit tambahan dari harga semestinya. Ketika Jâbir Radhiyallahu anhu hendak pergi, Rasûlullâh memanggilnya dan mengembalikan ontanya.