Al Alaq

Sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Muhammad bin Abdullah adalah sosok yang menghimpun sekian banyak kelebihan dari berbagai lapisan manusia selama pertumbuhannya. Beliau menjadi sosok unggul dalam pemikiran jitu, pandangan lurus, mendapat sanjungan kecerdikan, kelurusan pemikiran, pencarian sarana dan tujuan. Beliau lebih suka berdiam lama untuk mengamati, memusatkan pikiran dan menggali kebenaran. Dengan akalnya mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrah sucinya mengamati lembaran kehidupan, keadaan manusia dari berbagai golongan.

Beliau risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Berhubungan dengan manusia, dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Selagi mendapatkan yang baik, maka bersekutu di dalamnya. Jika tidak, maka lebih suka dengan kesendiriannya. Beliau tidak minum khmar, tidak makan daging hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala, tidak menghadiri upacara atau pertemuan untuk menyembah patung.

Bahkan sejak kecil senantiasa menghindari jenis penyembahan yang batil, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih beliau benci selain penyembahan kepada patung-patung ini, dan hampir-hampir tidak sanggup menahan kesabaran tatkala mendengar sumpah yang disampaikan kepada Lata dan Uzza.

Jabal Nur
Ketika usia Rasulullah telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan diri. Itu dilakukan setelah melalui perenungan yang lama dan terjadi jurang pemisah antara pemikirannya dan kaumnya. Dengan membawa roti dari gandum dan air, beliau pergi ke Gua Hira’ di Jabal Nur, dengan ketinggian 631 meter dari permukaan laut, yang jaraknya kira-kira 2 mil dari kota Mekkah. Sebuah gua yang tidak terlalu besar, yang panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira’ al-Hadid (hasta ukuran besi).

Keluarga beliau terkadang menyertai ke sana. Selama Ramadhan beliau berada di gua ini, dan tidak lupa memberikan makanan pada setiap orang miskin yang juga datang ke sana. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan alam di sekitarnya dan kekuatan tidak terhingga di balik alam. Beliau tidak pernah merasa puas melihat keyakinan umatnya yang penuh dengan kemusyrikan dan segala persepsi yang tidak pernah lepas dari takhayul. Sementara itu, di hadapannya juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai batasan-batasan tertentu, yang bisa menghantarkan kepada keridhaan dan kepuasan hatinya. Dalam khalwat Rasulullah beribadah selama beberapa malam. Adakalanya 10 malam, adakalanya juga lebih dari sebulan. Setelah berkhalwat, Rasulullah pulang ke rumah lalu beberapa hari dan menyiapkan kembali bekal untuk berkhalwat lagi di Gua Hira. Begitulah kebiasaan Rasul sampai menerima wahyu.

Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah Ta’ala atas dirinya, sebagai langkah persiapan untuk menerima urusan besar. Ruh manusia mana pun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan di bawa ke arah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat. Dipisahkan dari berbagai kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuat sibuk pada urusan kehidupan.

Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Rasulullah  untuk mengemban amanat besar, mengubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah telah mengatur pengasingan ini selama 3 tahun bagi Rasulullah  sebelum membebaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasing diri ini selama jangka waktu sebulan, dengan disertai niat yang suci sambil mengamati kegaiban yang tersembunyi di balik alam nyata, hingga tiba saatnya untuk berhubungan dengan kegaiban itu tatkala Allah telah mengizinkannya.

Tatkala usia beliau genap empat puluh tahun tanda-tanda nubuwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka. Di antaranya, adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar Subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan dan ru’ya shadiqah ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya di Gua Hira’, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmat-Nya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat Al-Qur’an.

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنِّي لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّي لَأَعْرِفُهُ الْآنَ

“Sungguh aku mengetahui sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus (menjadi Nabi). Dan aku masih mengenalnya sampai sekarang” (HR. Muslim no. 2277).

Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira’ tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata, ‘Bacalah!’

Aku (Rasulullah) menjawab, "Aku tidak bisa membaca!"

Beliau menuturkan, "Kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata, ‘Bacalah!’ Aku tetap menjawab, "Aku tidak bisa membaca!"

Dia memegangku dan merangkulku hingga aku merasa sesak. Kemudian melepaskanku, seraya berkata lagi, "Bacalah!"

Aku menjawab, "Aku tidak bisa membaca."

Dia memegangiku dan merangkulku hingga ketiga kalinya hingga aku merasa sesak, kemudian melepaskanku, lalu berkata :

{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 1-5]

“Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1-5). 

Muhamad saw mengulangi kata kata yang diucapkan oleh malaikat tersebut dan mengulanginya, kemudian meninggalkanya. Beliau berkata "Sepertinya kata-kata itu tertanam dalam hatiku". Namun beliau takut jangan jangan telah terjadi penyair yang terilhami jin atau orang yang kesurupan. Karena itu beliau lari dari gua. Di tengah perjalanan menuruni bukit , beliau mendengar suara di atasnya "Hai Muhamad! engkau adalah utusan Allah dan aku Jibril", Beliau menengadahkan kepalanya ke arah langit dan disana terlihat tamunya itu masih dapat dikenalnya namun sekarang jelas dalam rupa malaikat yang sangat besar memenuhi seluruh cakrawala. Kembali ia berkata "Hai Muhamad, Engkau adalah Rasulullah dan aku adalah Jibril". Muhamadsawterpaku masih belum yakin dengan apa yang telah terjadi, kemudian menatap malaikat tersebut, kemudian Beliau berpaling namun kemana pun beliaU beliau berpaling darinya namun kemana pun beliau memalingkan muka malaikat tersebut ada di sana, menapak cakrawala. Akhirnya malaikat itu pergi, dan Muhamad saw dalam keadaan gelisah kembali pulang menyusuri tebing menuju rumahnya.

Dalam hal ini, malaikat Jibril yang melafalkan ayat pertama yang berbunyi "Iqra" agar Muhamad saw ikut melafalkan ayat tersebut, namun, Muhamad saw yang kala itu belum menyadari bahwa itu adalah malaikat yang sedang menurunkan wahyu, beranggapan menyuruhnya membaca sedangkan beliau tidak bisa membaca, karena itulah Muhamad saw berujar, "Aku tidak bisa membaca".

Rasulullah saw pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sambil berucap, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi menggigil layaknya terkena demam.

“Apa yang terjadi padaku?” beliau berkata kepada Khadijah. Beliau memberitahukan apa yang baru saja terjadi. Beliau bersabda, “Aku khawatir terhadap keadaan diriku sendiri.”

Khadijah berkata, ”Tidak Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaran, membantu meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”

Selanjutnya Khadijah binti Khuwailid membawa beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani semasa Jahiliyah. Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis Injil dalam bahasa Ibrani seperti yang dikehendaki Allah. Dia sudah tua dan buta.

Khadijah binti Khuwailid berkata kepada Waraqah, ”Wahai putra pamanku, dengarkanlah kisah dari anak saudaramu (Rasulullah saw).”

Waraqah berkata kepada beliau, ”Apa yang pernah engkau lihat, wahai putri saudaraku?” Rasulullah  mengabarkan apa saja yang pernah dilihatnya.”

Akhirnya Waraqah berkata, “Ini adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa. Andaikan saja aku masih muda pada masa itu. Andaikan saja aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu.”

Beliau bertanya. “Benarkah mereka akan mengusirku?”

“Benar. Tidak seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masamu nanti, tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh.” ujar Waraqah.

Adapun riwayat Ath-Thabrani menyebutkan secara sekilas sebab keluarnya beliau dari Gua Hira.’ Inilah riwayatnya: Muhamad saw  yang kala itu belum yakin diangkat menjadi Nabi bersabda, “Tidak ada makhluk Allah yang paling kubenci selain dari penyair atau orang yang tidak waras. Aku tidak kuat untuk memandang keduanya.“ Beliau juga bersabda, “Yang paling ingin aku jauhi adalah penyair atau orang yang tidak waras. Sebab, orang-orang Quraisy senantiasa berbicara tentang diriku dengan syair itu. Rasanya ingin aku mendaki gunung yang tinggi, lalu menerjunkan diri dari sana agar aku mati saja, sehingga aku bisa istirahat dengan tenang.” (Hadits dhaif, Muhamad saw masih belum diajarkan oleh Jibril bahwa bunuh diri dalam agama Islam adalah mati kafir)
"Beliau bersabda lagi, “Aku pun pergi dan hendak melakukan hal itu. Namun, di tengah gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang datangnya dari langit, berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku Jibril.”
"Aku mendongakkan kepala ke arah langit, yang ternyata di sana ada Jibril dalam rupa seorang laki-laki dengan wajah yang berseri, kedua telapak kakinya menginjak ufuk langit, seraya berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah dan aku Jibril.”
"Aku berdiam diri sambil memandangnya, bingung apa yang hendak aku kerjakan, tidak berani melangkah maju atau mundur. Aku memalingkan wajah dari arah yang ditempati Jibril di ufuk langit. Tetapi, setiap kali aku memandang arah langit yang lain, di sana tetap ada Jibril yang kulihat. Aku tetap diam, tidak selangkah kaki pun maju ke depan atau surut ke belakang, hingga akhirnya Khadijah binti Khuwailid mengirim beberapa orang untuk mencariku. Bahkan, mereka sampai ke Mekkah dan kembali lagi menemui Khadijah tanpa hasil, padahal aku tetap berdiri seperti semula di tempatku berdiri. Kemudian Jibril pergi dariku dan aku pun pulang kembali menemui keluargaku."

Sesampainya di rumah aku langsung duduk di atas paha Khadijah sambil bersandar kepadanya. Khadijah berkata, “Wahai Abul Qasim, ke mana saja engkau tadi? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu hingga mereka sampai di Mekkah, namun kembali lagi tanpa hasil.”

Kemudian aku memberitahukan apa yang telah aku lihat. Dia berkata, “Bergembiralah, wahai anak pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di Tangan-Nya, aku benar-benar sangat berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”

Setelah itu Khadijah beranjak pergi untuk menemui Waraqah dan mengabarkan kepadanya. Waraqah berkata, “Mahasuci, Mahasuci. Demi diri Waraqah yang ada di Tangan-Nya, Namus Yang Besar, yang pernah datang kepada Musa, kini telah datang kepadanya. Dia adalah benar-benar Nabi umat ini. Katakanlah kepadanya agar dia berteguh hati.”

Khadijah pulang lalu mengabarkan apa yang dikatakan Waraqah kepadanya. Tatkala Rasulullah meninggalkan istrinya dan pergi ke Kabah, beliau bertemu Waraqah. Setelah mendengar penuturan langsung dari beliau, Waraqah berkata, “Demi diriku yang ada di Tangan-Nya, engkau adalah benar-benar nabi umat ini. Namus yang besar telah datang kepadamu, seperti yang pernah datang kepada Musa.”


لا تَسبُّوا ورقةَ بنَ نوفلٍ، فإنِّي رأيتُ له جَنةً أو جَنتينِ

“Jangan kalian cela Waraqah bin Naufal. Sesungguhnya aku melihat dia memiliki satu atau dua taman (di surga).”  (HR. al-Hakim 4211. Ia mengatakan hadits shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim walaupun tidak diriwayatkannya. Al-Albani dalam as-Silsilatu ash-Shahihah 405).