Mubahalah

Menginjak tahun ke 9 setelah hijrah, perkembangan agama Islam di jazirah Arab bisa dikata serupa cahaya. Tak pelak, seiring perjalanan waktu, sejak nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan agama Islam di tengah kejahiliyahan kaum kafir dan kaum musyrik ternyata agama Islam seperti cahaya matahari yang melesat cepat menerangi permukaan bumi. Agama Islam bisa memikat penduduk Arab karena agama Islam telah memancarkan cahaya terang kepada manusia dari kegelapan sebuah zaman. Dengan perilaku (karakter) nabi yang jujur dan rendah hati, tak bisa disangkal lagi telah mendukung nilai-nilai ajaran agama Islam yang ditegakkan oleh Rasulullah saw.

Islam pun menawarkan harapan baru dan janji akan masa depan yang cemerlang terutama kehidupan akhirat. Bagai matahari yang menerangi bumi, Islam pun menerangi jiwa dan hati manusia untuk tak tersesat dalam kegelapan. Meskipun kaum kafir Quraisy tak henti-henti menentang, menghujat dan memusuhi nabi, ternyata Islam tak menjadi pudar dan padam, tapi justru menunjukkan kelebihan akan nilai-nilai kehidupan yang sejatinya memang sesuai dengan fitrah seorang manusia yang merindukan akan penciptanya.

Seiring perjalanan waktu, cahaya Islam itu melesat, berkembang dan bahkan maju dengan cepat. Apalagi, setelah nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dan nilai-nilai agama Islam yang dibawa rasul mengajarkan kebajikan dan kebaikan bagi penduduk Madinah. Maka satu per satu penduduk di jazirah Arab mulai tertarik untuk memeluk agama baru (Islam) itu, tak terkecuali warga di wilayah luar Makkah dan Madinah. Bahkan agama Islam mampu menerobos ke wilayah Najran. Padahal, Najran merupakan kawasan Hijaz yang sebagian besar penduduknya selama bertahun-tahun telah memeluk dengan setia dan fanatik terhadap agama Nasrani.

Keagungan Islam ternyata bisa meluluhkan hati penduduk Najran. Kemuliaan Islam, seperti tak bisa disangkal untuk tidak dipeluk. Rupanya agama Islam telah memikat penduduk Najran untuk meninggalkan kepercayaan lama kemudian memeluk Islam dengan penuh kesadaran. Bahkan penyebaran Islam di Najran itu, seiring bergantinya hari semakin luas dan nyaris tak bisa dibendung lagi. Maka tak mustahil lagi, jika pemuka-pemuka Nasrani seperti tersulut bara api. Tak ada alasan bagi para pemuka Nasrani untuk tak digelayuti rasa benci dengan agama Islam selain karena rasa cemburu dan sebongkah perasaan tak senang lantaran agama Islam dipandang telah menggerongoti kepercayaan orang-orang Nasrani Najran.

Ketidaksenangan pemuka-pemuka Nasrani itu tidak diungkapkan secara langsung dengan cara terang-terangan. Berbeda dengan kaum Yahudi yang dengan berani dan terang-terangan mengingkari janji, gemar membuat onar, menyebarkan desas-desus yang bohong, melancarkan tekanan ekonomi terhadap kaum Muslim, bahkan berkomplot dengan musuh-musuh Islam, seperti kaum Quraisy, untuk menyerang dan menghancurkan agama Islam. Meski pun kedua golongan itu sama-sama tidak senang dengan perkembangan agama Islam, anehnya kaum Nasrani Najran menunjukkan sikap yang lentur dan secara sembunyi-sembunyi ternyata memendam rasa cemburu di lubuk hati mereka yang paling dalam hanya di permukaan saja menampilkan sikap yang lunak.

Sikap lunak –meski dalam hati dicekam rasa cemburu-- yang ditunjukkan kaum Nasrani itu, tentunya bukan satu hal yang aneh. Lantaran kaum Nasrani telah mengetahui bahwa uskup-uskup mereka (seperti Waraqah bin Naufal di Hijaz dan Bahira di Syam) adalah dua tokoh Nasrani yang mengenal baik akan ciri-ciri Muhammad saw yang memang tak lain dan tak bukan adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang Rasulullah. Tetapi, rasa cemburu itu tidak bisa dielakkan dan tak bisa diubah menjadi simpati. Apalagi, sudah jelas-jelas ada perbedaan antara kepercayaan kaum syirik (yang menyekutukan Tuhan) dan kaum yang teguh bertauhid (mengesakan Tuhan) memang tidak bisa diserasikan.

Tak pelak lagi, kalau kaum Nasrani Najran -khususnya para pemukanya–dengan cara yang halus dan bahkan sembunyi-sembunyi kemudian berusaha keras untuk mencegah dan menghalangi perkembangan Islam di Najran. Tapi sayangnya usaha pemuka-pemuka Nasrani itu seperti membentur tembok. Islam seperti tak dapat dibendung, Islam telah mematik hati penduduk Najran.

Tak kuasa mencegah perkembangan Islam yang kian hari berkembang dan memikat penduduk daerah Najran, apalagi sebagian penduduk yang tidak beragama Nasrani pun juga tertarik dengan Islam, terebih bahwa Rasulullah saw pernah mengirim surat kepada bani Najran, maka para pemuka Nasrani Najran mulai dibuat gelisah dan dicekam rasa takut akan masa depan agama Nasrani. Maka, pemuka-pemuka Nasrani itu tak menemukan jalan lain lagi untuk menghalangi perkembangan agama Islam, dan mereka kemudian menempuh jalan lain mengadu “kebenaran” dengan cara menantang debat nabi untuk menentukan kebenaran agama yang diridhai oleh Allah di antara agama Islam dan Nasrani itu.

Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk kristen Najran sebagai berikut:

“Amma ba’du. Sesungguhnya saya mengajak kepada kalian menuju kepada penyembahan Allah dari penyembahan kepada hamba. Dan saya juga mengajak kalian kepada kekuasaan Allah dari kekuasaan hamba. Jika kalian menolak ajaran tsb, atas kalian wajib membayar jizyah. Dan jika kalian menolak membayar jizyah, maka saya nyatakan perang terhadap kalian. Wassalam.”

Dengan keputusan itu, maka akhirnya kaum Nasrani mengirimkan utusan ke Madinah untuk menemui nabi dan berniat bulat untuk beradu argumen guna membuktikan kebenaran antara agama keduanya. Utusan dari kaum Nasrani Najran itu dipimpin oleh tiga orang terkemuka Najran, yakni Al-Aqib, Muhsin dan seorang oleh seorang uskup agung dengan diiringi pula dua orang Yahudi terkemuka. Utusan itu datang menemui Nabi di Madinah. Kedatangan utusan Nasrani Najran itu tidak ada maksud lain, kecuali untuk mendebat dan menantang nabi beradu argumen.

Al-‘Aqib, sebagai pemimpin kaum dan pemimpin musyawarah, hasil keputusan musyawarah tidak keluar kecuali dari pendapatnya, bernama Abdul Masih. As-Sayyid, imam dan pemimpin perjalanan, namanya Aiham. Abu Haritsah bin Al-Qamah, dia adalah uskup, pendeta. Abu Haritsah ini orang yang mulia, dia telah mempelajari kitab-kitab Nasrani hingga mencapai puncak ilmu dalam agama mereka. Bahkan Raja Romawi menghormatinya, menjadikan dia sebagai junjungan dan mendirikan gereja untuknya, sebab ilmu dan kesungguhan Abu Haritsah.

Lalu rombongan Nasrani ini menemui Rasulullah SAW, dan masuk ke masjid ketika beliau sedang shalat Ashar. Mereka memakai pakaian jubah pendeta dan mantel yang indah, sehingga para sahabat Nabi yang melihat terkagum-kagum dan berkata, “Kami belum pernah melihat ada utusan seperti mereka.”

Sebelum datang pada Rasulullah saw, mereka melepas baju musafir mereka dan menggantinya dengan pakaian kebesaran yang megah dan memakai cincin-cincin emas. Mereka lalu datang pada rasulullah dan mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawab salam mereka. Mereka mengulangnya kembali hingga lama namun tetap tidak dibalas.

Mereka lalu pergi dan menemui Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang saat itu tengah berada di kumpulan orang-orang Anshar. Di zaman jahiliyyah keduanya sering pergi ke Najran untuk membeli gandum dan buah-buahan mereka. Mereka bertanya “Hai Utsman dan Abdurrahman, nabi kalian telah mengirimkan surat pada kami sehingga kami datang kemari. Kami telah mengucapkan salam namun tidak dijawab, bahkan kami telah lama menunggu jawaban hingga lelah. Apakah sebaiknya kami pulang saja ?”

Maka Utsman dan Abdurahman pun bertanya kepada Ali bin Abi Thalib (yang ada pada perkumpulan tsb) tentang ketiganya. Ali menjawab, “Sebaiknya mereka melepas baju mewah mereka lalu berganti busana yang mereka kenakan di dalam perjalanan, baru kemudian datang pada  Rasulullah.”

Mereka melaksanakan anjuran Ali dan saat datang pada Rasulullah, salam mereka dijawab dan kehadiran mereka diterima. Rasulullah saw mengajak berdiskusi dalam waktu cukup lama; masing-masing pihak saling bertanya tentang berbagai masalah.

Waktu shalat mereka telah tiba, kemudian mereka pun shalat di masjid Rasulullah Saw. Rasulullah membiarkan mereka. Mereka shalat menghadap arah terbitnya matahari. Selesai mereka shalat, maka As-Sayyid dan Al-’Aqib berbicara kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah saw berkata kepada keduanya, “Masuklah kalian berdua ke dalam agama Islam.”

Mereka berkata kepada Rasulullah, “Kami telah terlebih dahulu muslim sebelum kalian.”

Rasulullah saw menimpali, “Kalian tidak mau mengikuti kebenaran Islam disebabkan 3 hal. Pertama, karena kalian menyembah Salib. Kedua, karena kalian memakan daging babi. Dan ketiga, karena anggapan kalian bahwa Allah memiliki anak.”

Keduanya berkata, “Jika Isa bukan anak Allah, lalu siapakah ayahnya?” Selanjutnya, mereka semua mendebat Rasulullah dalam masalah Nabi Isa.

Mereka berkata “Mengapa engkau mencela Tuhan kami (‘Isa) dan engkau mengatakannya sebagai hamba Allah!”

Rasulullah saw menjawab, “Betul. Dia adalah hamba Allah, rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.”

Mereka semakin murka dan berkata, “Apakah engkau pernah melihat ada manusia tanpa memiliki bapak? Jika engkau benar-benar seorang nabi maka tunjukan kepada kami contohnya!”

Nabi SAW berkata, “Bukankah kalian sudah tahu bahwa seorang anak tidak akan ada kecuali dia menyerupai ayahnya?”

Mereka berkata, “Benar.”

Nabi Saw, “Bukankah kalian sudah tahu bahwa Tuhan kita Maha Hidup dan tidak mati, sedangkan Isa bersifat fana/rusak?”

“Benar,” jawab mereka.

Nabi Saw, “Bukanlah kalian sudah tahu bahwa Tuhan kita adalah Dzat yang berdiri sendiri/tidak membutuhkan orang lain, menjaga segala sesuatu dan memberikan rezeki?”

“Benar,” jawab mereka lagi.

“Apakah Isa memiliki salah satu dari hal itu?” tanya Nabi Saw.

Mereka menjawab, “Tidak.”

Kemudian Nabi SAW berkata, “Sesungguhnya Tuhan kita membentuk Isa di dalam rahim sesuka-Nya, dan Tuhan kita tidaklah makan, tidak minum dan tidak membuang kotoran.”

Mereka berkata, “Benar.”

Nabi SAW, “Bukankah kalian sudah tahu bahwa Isa digendong oleh ibunya sebagaimana perempuan yang menggendong bayinya, kemudian meletakkannya sebagaimana seorang perempuan meletakkan anaknya. Kemudian diberi makan sebagaimana bayi yang di suapi, kemudian makan, minum dan buang kotoran?”

Mereka semua membenarkan perkataan Nabi SAW.

“Jika semua itu benar, lalu mengapa Isa menjadi anak Allah sebagaimana yang kalian sangkakan?” tanya Nabi kepada rombongan Nasrani itu.

Para pendeta dan rombongan Nasrani itu, semuanya bungkam, tak bisa berkata apa-apa lagi.

Beberapa saat kemudian sang uskup langsung mengajukan pertanyaan,” Wahai Abul Qasim (yang tak lain merupakan sebutan untuk nabi Muhammad), siapakah ayah nabi Musa?”

Nabi pun menjawab dengan sopan dan lembut, “Imran.”

Lalu, sang uskup itu bertanya lagi, “Lalu, siapakah ayah Yusuf?”

“Ya`qub,” jawab nabi tanpa ragu.

Sang uskup itu kemudian melanjutkan pertanyaan, “Semoga aku menjadi penebus bagi Anda. Lalu, siapakah ayah Anda?”

Nabi menjawab dengan tegas, “Abdullah bin Abdul Muththalib.”

Sang uskup itu bertanya lebih lanjut, “Siapakah ayah Isa?”

Sejenak Rasulullah diam. Wahyu dari Allah kemudian turun kepada nabi Muhammad, “(Katakan) ia ruh Allah dan kalimat-Nya.”

Sang uskup lalu bertanya lagi, “Dapatkah ia menjadi ruh tanpa memiliki tubuh?”

Lagi-lagi sebuah wahyu disampaikan pada nabi Muhammad SAW. Dan wahyu itu berbunyi,

“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia’.” (QS. Ali Imran: 59)

Usai mendengar jawaban itu, sang uskup mengajukan keberatan pada nabi --yang mengatakan bahwa Isa as diciptakan dari tanah. Sementara, Rasul tak sedikitpun ragu karena nabi Muhammad menyandarkan kebenaran itu dari wahyu,

“Kebenaran (mengenai Isa) itu datang dari Allah, Tuhanmu. Karena itu, janganlah termasuk orang yang ragu.” (QS. Ali Imran: 60)

Sang uskup lalu berkata, “Muhammad, kami tidak menemukan ini ada di dalam Taurat, Injil atau pun Zabur. Engkaulah orang pertama yang mengatakan tentang hal ini.

Seketika itu nabi mendapat wahyu dari Allah yang berbunyi,

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkanmu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Mari kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian mari kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta’.” (QS. Ali Imran: 61)

Setelah mendengar ayat tersebut, para utusan itu ternyata tak mau kalah dan berkata, “Tetapkanlah bagi kita sebuah rapat yang khitmad (yang mana setiap pihak bermohon pada Allah untuk mengutuk pihak yang lain jika mereka pendusta).”

“Esok pagi, insha Allah,” jawab Nabi saw.

Keesokan harinya, pada pagi itu, nabi Muhammad saw menunaikan shalat subuh lalu menyuruh Ali untuk mengikuti beliau. Bersama itu pula, Fatimah menggamit Hasan dan Husain untuk mengikuti Ali. Sebelum berangkat, Nabi sempat memerintahkan kepada mereka, “Ketika aku berdoa, kalian harus mengatakan, ‘Amin’.”

Nabi bersama ahlul bait kemudian menuju tempat yang sudah disetujui kedua belah pihak sebelumnya guna mengadakan mubahalah (kedua pihak berbeda keyakinan mau membuktikan kebenarannya masing-masing dengan bersumpah kepada Allah serta bersama memohon kepada-Nya agar melaknat (mengutuk) dan menimpakan bencana besar kepada pihak yang batil).

Bersamaan itu, utusan kaum Nasrani itu pergi bersama dengan beberapa keluarga mereka menuju tempat tersebut. Kedua kelompok (keluarga nabi dan keluarga utusan kaum Nasrani) itu kemudian berdiri dalam keadaan terpisah menghadap ke arah sebuah bukit yang terlihat agak jauh.

Setelah kedua pihak itu bertemu, utusan dari kaum Nasrani meminta nabi untuk mengikrarkan mubahalah lebih dulu. Nabi maju beberapa langkah dan mubahalah pun hendak diikrarkan. Tapi, tiba-tiba terjadi satu hal di luar dugaan. Langit yang semula menentramkan, tiba-tiba tampak mencekam dan di atas bukit pun tampak awan hitam yang bergumpal-gumpal, bahkan makin lama justru semakin berwarna merah menyala mirip bola api yang berkobar terang dan menyala-nyala hendak menghancurkan segala sesuatu yang berada di bukit. Awan yang bergumpal itu kemudian berlahan-lahan bergerak ke tempat mubahalah, di mana kedua belah pihak berdiri.

Setelah melihat warna langit yang tiba-tiba mencekam itu, sontak utusan dari kaum Nasrani merasa merinding dan dicekam rasa takut. Hati mereka pun digerus perasaan gelisah, jika laknat itu benar-benar menjadi kenyataan. Maka para utusan dari kaum Nasrani itu saling pandang, dan salah satu dari mereka berkata, “Demi Allah, dia itu nabi sejati dan jika dia mengutuk kita, niscaya Allah menjawab doanya dan menghancurkan kita semua. Maka, satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan kita semua di sini adalah memohon kepadanya agar melepaskan kita dari rapat ini”.

Uskup agung menimpali ucapan itu, lantaran di hatinya digelayuti rasa takut yang tak bisa dilawan, “Wahai kaum Nasrani, sungguh aku melihat wajah-wajah manusia yang jika mereka minta pada Allah mengerakkan gunung, Dia pasti akan melakukannya. Jangan adakan rapat ini atau kalian akan dihancurkan dan tak akan ada lagi orang Nasrani tinggal di bumi hingga hari kebangkitan.”

Utusan kaum Nasrani itu pun menghadap pada nabi. Utusan dari kaum Nasrani itu meminta kepada rasulullah untuk mengurungkan mubahalah sebab mereka semua dicekam ketakutan yang sungguh luar biasa. Tak terbayangkan dalam benak mereka semua, jika laknat dari Allah itu benar-benar akan datang dan menghanguskan tubuh mereka. Tak terbayangkan, jika ucapan nabi untuk mengutuk utusan kaum Nasrani itu kemudian menjadi kenyataan. Maka utusan kaum Nasrani itu kemudian memohon kepada nabi, “Abul Qasim, bebaskan kami dari rapat yang khidmat ini.”

Suasana di tempat mubahalah itu pun serasa mencekam. Nabi melihat dengan jelas wajah-wajah utusan dari kaum Nasrani itu dilanda perasaan takut dan cemas. Dari raut wajah mereka itu, Nabi tahu bahwa permohonan mereka itu adalah bentuk kekalahan yang telak.

Maka Rasulullah saw menjawab, “Sungguh akan aku lakukan, Dia yang mengirimku dengan kebenaran adalah Saksiku dan jika saja aku mengutukmu, Allah tak akan menyisakan seorang Nasrani pun di muka bumi.”

Nabi Muhammad saw akhirnya memenuhi permintaan utusan Nasrani untuk mengurungkan mubahalah dan membatalkan laknat Allah itu tiba. Tetapi nabi memperingatkan bahwa mereka tetap akan ditimpa laknat Allah kalau mereka tidak menyadari akan kesalahan mereka lantaran telah berani menantang nabi untuk melakukan mubahalah.

Tak ingin ditimpa laknat Allah, mereka pun merindukan untuk selamat dari bencana yang sangat menakutkan itu. Maka tidak ada pilihan lagi bagi utusan kaum Nasrani itu untuk memenuhi permintaan ganti rugi dari pihak kaum muslimin berupa beberapa ratus potong pakaian. beserta  menyertakan syarat agar mereka tak menghalangi dan mempersulit utusan nabi yang akan dikirim ke Najran untuk mendakwahkan Islam bagi penduduk Najran.

Sejak saat itulah, tak ada lagi halangan dan rintangan dari kaum Nasrani ketika utusan Rasulullah saw menyebarkan agama Islam ke daerah Najran. Islam lalu berkembang dengan pesat, membawa umat mausia dari kegelapan menuju cahaya.

Nabi SAW memutuskan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah supaya berangkat bersama-sama kaum Nashrani Najran ke qabilah mereka untuk menjadi hakim di sana. Nabi SAW bersabda :

“Berangkatlah kamu bersama mereka, ajari mereka soal hukum2 ALLAH ajari mereka tentang kebenaran sesuatu yang diperselisihkan oleh mereka.”

Beberapa hari kemudian Nabi berdebat lagi dengan kaum Nasrani dan Kaum Yahudi , Soal anggapan Nabi Ibrahim adalah milik Yahudi sebagaimana di terangkan dalam kitab Tourat , dan yang Kristen juga membantah bahwa Nabi Ibrahim adalah nabi mereka karena ada dalam Alkitab mereka dan turunlah ayat :

“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim, apakah kamu tidak berpikir ?” Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui ?. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Ibrahim itu bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. ” [QS. Ali Imran : 65-68]

والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحدمن هذه الأمة يهودي ولانصراني ثم يموت ولم يؤمن بما أرسلت به إلا كان من أصحاب النار))رواه مسلم


“Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang pun dari umat ini yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim)