Halimah

Orang-orang Arab mempunyai tradisi untuk menyusukan anaknya kepada para perempuan kampung. Selain perempuan kampung dapat menjamin gizi yang bagus, nilai sastra dan bahasa orang perkampungan Arab juga tinggi.

Suatu hari, saat Muhamad kecil berusia tiga hari, Halimah as-Sa’diyah bersama sekitar 70 orang wanita dari perkampungan pergi ke Mekah untuk menawarkan susuan demi mencari penghidupan, karena pada saat itu, di Thaif sedang dalam masa paceklik.


Mereka mengendarai keledai yang kurus, juga membawa unta-unta yang tak memiliki air susu setetes pun. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah di sore hari, mereka pun mendirikan tenda. Saat itu, anak Halimah yang masih bayi menangis tiada henti karena kelaparan.

Keesokan harinya, mereka bersama-sama memasuki Mekah untuk mencari ibu-ibu yang memiliki bayi untuk disusukan, kemudian mereka akan mengambil upah darinya. Semua teman-teman Halimah telah mendapatkan bayi untuk mereka susukan. Sementara Halimah tak kunjung mendapatkannya.

Setiap ia bertanya kepada penduduk di sana tentang siapa yang memiliki bayi, semua akan menjawab Aminah. Sementara ia tahu bahwa Aminah tidak lagi bersuami. Padahal, upah dari ayah sang bayilah yang diharapkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semua teman-teman Halimah tak ada yang mau untuk mengambil bayi Muhammad. Halimah juga enggan untuk menemui Aminah. Namun karena tak ada lagi bayi, akhirnya Halimah pergi ke rumah Aminah. Tapi tetap saja, karena Aminah tak memiliki apa-apa sebagai upah menyusui, Halimah kembali ke tenda tanpa membawa apa-apa,

Halimah bersama teman-temannya pun kembali ke tenda. Sesampai di tenda, Halimah mengadu dan mengeluh kepada suaminya,  “Bagaimana ini wahai suamiku, semua orang telah mendapatkan bayi untuk disusukan, sementara kita belum, dan yang tersisa hanyalah anak Aminah yang tidak memiliki suami dan juga tidak punya harta. Apakah kita harus pulang dengan tangan kosong?” Suaminya menjawab, “Bawa saja anak itu wahai istriku, karena kita tak tahu, bisa jadi ia adalah anak yang membawa berkah.”

Akhirnya Halimah kembali menemui Aminah untuk menjemput bayinya. Sesampainya di rumah Aminah, Halimah memasuki kamar dengan perasaan yang tidak seperti biasanya, jantungnya berdebar-debar.

Setelah ia melihat wajah bayi itu, ia berucap, “Aduhai, tak pernah sebelumnya kulihat ada anak seindah ini”.  Halimah pun mendekap bayi itu sambil menangis haru bahagia. Halimah bersama suaminya kemudian membawa bayi Muhamad pulang ke Thaif, setelah sebelumnya membuat perjanjian dengan Halimah lamanya masa menyusui.

Tak hanya Halimah yang terkejut dengan bayi Muhammad, Aminah, yang merupakan ibunya sendiri pun mengalami hal yang sama, ia berkata “Sungguh, anakku ini memang anak yang membawa berkah. Aku tak pernah merasa dan tak pernah tau bahwa aku sedang mengandung (karena tidak merasakan berat di perutnya, juga kesusahan lainnya yang biasanya dirasakan ibu-ibu hamil), kecuali dari mimpi-mimpiku setiap bulan. Dalam setiap mimpi itu, Asiah, Maryam, dan bidadari-bidadari lainnya memberi tahu padaku ‘wahai Aminah, kamu sedang mengandung sayyid-nya bani Adam, berilah ia nama dengan nama Muhammad, karena kelak ia akan selalu dipuji".

Halimah (yang berarti lemah lembut) lantas membawa bayi Muhammad ke dusunnya, Thaif, dengan menunggangi keledai tuanya. Keberkahan nabi Muhammad Saw. langsung ia rasakan. Keledai yang biasanya berjalan sangat lamban, tiba-tiba menjadi sangat cepat, sehingga membuat Halimah sampai di negeri Thaif mendahului teman-temannya, berikut penuturan Halimah :

"Saat kami memutuskan untuk meninggalkan Mekah, aku bilang kepada suamiku "Aku enggan kembali ke rombongan temana teman ku tanpa mendapat seorang bayi untuk di susui, Aku akan kembali kepada anak yatim itu dan membawanya", "terserah engkaulah" jawab suamiku "mudah mudahan Allah memberikan berkah Nya kepada kita lewat bayi itu" ujarnya.
Maka aku pun pergi untuk mengambilnya, tak lain karena aku tak mendapatkan asuhan lain kecuali dia. Aku membawanya kembali ke tempat keledaiku ditambatkan. Tak lama setelah ia kudekap didadaku, tiba tiba penuh air susuku untuk menyusuinya, ia meminumnya sampai kenyang dan saudara angkatnyapun menyusu sampai kenyang, setelah itu mereka tertidur nyenyak. Suamiku mendekati unta betina tua kami dan astaga susunya penuh! ia pun meminumnya dan aku juga turut meminumnya hingga begitu kekenyangan. Kami menjalani malam yang begitu menyenagkan dan dipagi hari suamiku berkata "Demi Tuhan wahai Halimah engkau telah mengambil mahluk yang diberkati Tuhan!" "Begitulah harapanku" kataku. Selanjutnya kami bersiap siap untuk berangkat pulang dan aku kembali menaiki keledai ku sambil menggendong anak itu. Keledaiku berjalan dengan cepat menyusul rombongan yang lain, tak seekor pun keledai mereka yang bisa menyamai langkahnya. "Hebat sekali kalian!" kata mereka "Tunggulah kami, bukankah keledai yang engkau tunggangi itu sama dengan keledai yang kemarin kalian naiki saat berangkat kemari?", "ya tentu saja" jawabku "ia memang keledai yang sama" dan mereka menyahut "suatu mujijat telah datang kepadanya".

Halimah melanjutkan :

"Kami sampai di perkemahan bani Sa'd dan aku tahu bahwa tak ada tempat lain yang lebih gersang di muka bumi ini kecuali tempat tinggal kami itu. Namun setelah kami datang membawa bayi laki laki itu untuk tinggal bersama kami, domba kambing kami pulang setiap petang dengan penuh air susu, kami memerasnya dan meminumnya, sementara tetangga yang lain tak dapat menghasilkan air susu sedikitpun, hingga para tetangga kami berkata kepada para penggembalanya "gembalakan kambing kambing kami di dekat kambing kambing mereka merumput". Meskipun hal itu telah dilakukan kambing kambing mereka pulang tetap dalam keadaan lapar dan tidak menghasilkan air susu, sementara kambing kambing kami tampak sehat dengan air susu yang cukup. Dan kami tidak pernah berhenti mensyukuri nikmat dari Tuhan ini hingga bayi itu berusia dua tahun dan aku menyapihnya.
Ia tumbuh dengan baik dan tak ada anak laki laki lain yang dapat menyamai pertumbuhanya. Setelah mencapai usia dua tahun kemudian kami membawanya kembali kepada ibunya, meskipun kami sangat berharap agar dia tetap tinggal untuk mendatangkan berkah bagi keluarga kami. Maka akupun memohon kepada ibunya "Biarkan ia tinggal bersama kami hingga ia tumbuh kuat karena kami khawatir ia diserang penyakit di Mekah" Kami meminta kepada Aminah dengan sangat agar kami diberikan kesempatan sekali lagi untuk memelihara dan mengasuh anak itu dan akhirnya kami pun membawa pulang kembali anak itu."
"Suatu hari beberapa bulan setelah kami kembali ketika ia dan saudara laki laki angkatnya sedang bermain dengan anak biri biri di belakang rumah kami, saudara angkatnya itu lari mendekatiku dan berteriak "Saudara Qurays ku! dua laki laki bergamis putih mengambilnya, membaringkanya dan membelah dadanya lalu tangan mereka mengeluarkan isi dadanya". Karena itu aku dan ayanya menemui anak itu dan melihatnya berdiri tapi wajahnya pucat pasi. Kami memeluknya dan bertanya "Apa yang telah terjadi padamu anaku?" Ia menjawab "Dua orang berbaju putih mendatangi ku, membaringkan aku dan membelah dadaku".

Halimah juga pernah mengisahkan pengalaman pahit di sebuah pasar Ukadz, yang merupakan pasar kuno yang paling terkenal di Semenanjung Arabia. Nama tersebut diambil dari apa yang dikerjakan orang Arab di tempat tersebut. Mereka memamerkan prestasi dan nenek moyang mereka. Pasar tersebut tercatat untuk pertama kalinya pada 500 Sebelum Masehi dan terletak di antara Ta'if dan Makkah, tepatnya di Kota Al-Athdia. Pasar terkenal diadakan bersamaan dengan pasar di Hadramaut. Berikut penuturan Halimah :
"Di Pasar Ukadz, Halimah menimang Muhammad kecil, duduk di antara banyak perempuan. Ia membopongnya penuh sayang. Seorang perempuan bertanya, “Siapa anak ini?” Halimah menjawab, “Ia seorang yatim, bapaknya telah tiada sebelum ia dilahirkan, kami berharap anak ini terus mendapatkan kebaikan. Sebenarnya sampai saat ini begitulah adanya, kita menyaksikan kebaikan-kebaikan itu ada dan cahaya cintanya.”
“Bagaimana itu bisa terjadi?” Seorang perempuan menyela. Halimah menimpalinya, “Awalnya, aku tak bisa menyusui anakku sendiri, tapi sejak ketika aku mengasuh Muhammad, tiba-tiba air asi mengalir deras untuk Muhammad, begitu juga anakku. Dari wajahnya aku rasakan senantiasa terlihat cahaya, menerangi gelapnya hatiku. Hati ini tergetar, begitu kuat dorongan untuk terus mengasuh dan menimangnya, begitu juga yang dirasakan suami dan anak-anakku, bahkan semua penduduk di sekelilingku.”
“Lalu kenapa Aminah menghendaki engkau membawanya kepada seorang dukun?” Itu sekedar bagian dari adat kebiasaan kami.” Jawab Halimah. Seorang dukun peramal dari suku Hudzail yang begitu terkenal saat itu. Di Pasar Ukadz, banyak perempuan membawa anaknya untuk diterawang kepribadian dan masa depannya.
Sayidah Halimah membawa Muhammad kecil kepadanya, “Wahai bapak, lihatlah anak ini, dan kabarkan kepadaku.” Si dukun peramal itu bertanya, “Siapa anak ini?”. “Ia seorang yatim, orang tuanya telah tiada.” Halimah menjawab. Peramal itu mulai mengamat-amati, tapi tiba-tiba peramal itu berteriak keras, “Wahai kaum Hudzail, wahai orang-orang Arab.” “Ada apa…ada apa?” Halimah panik. Peramal itu berteriak kembali, “Bunuh anak ini…cepat, bunuh anak ini.”
Halimah seketika mulai menjauh, orang-orang mulai berdatangan mendekat, berkerumun di sekelilingnya, menoleh ke kanan dan kiri, tidak ditemukan sesuatu apapun. Mereka bertanya, “Anak yg mana?” “Anak ini…anak itu!” Peramal itu masih melihat di mana Halimah dan Muhammad, tapi orang-orang bertanya kembali, “Anak yang mana?”
Mereka tidak melihat apapun, ke manapun, dimana Halimah dan Muhammad kecil yang ditunjuk-tunjuk si Peramal itu. Allah SWT membutakan pandangan mereka, menyelamatkan Muhammad, menyelamatkan cahaya cinta yang akan disebarkan ke seluruh umat manusia di muka bumi.
Sejak saat itulah Halimah tidak pernah membawa Muhamad kecil ke pasar Ukadz lagi.

Selain banyak membawa keberkahan, Muhamad kecil juga merupakan sosok yang berakhlak indah, bahkan semenjak bayi. Ketika menyusu kepada Halimah, ia selalu menyusu di sebelah kanan, dan menyisakan yang sebelah kiri untuk saudara sepersusuannya anak Halimah.

Hari-hari berlalu. Halimah menyusui, merawat dan mencintai Muhammad kecil dengan sepenuh hati, bahkan menyayangi Muhamad kecil melebihi anakanya sendiri, hingga tibalah waktu bagi Halimah untuk mengembalikan Muhamad ke pangkuan ibunya.

Halimah pun menuju Mekah untuk membawa nabi ke pangkuan ibunya, Siti Aminah. Saat itu, Halimah masih sangat ingin untuk merawatnya. Halimah lalu memohon kepada Aminah untuk memberi tambahan waktu. Aminah lalu menyetujuinya.

Halimah kembali ke Thaif membawa anak susuannya. Begitulah, Nabi Muhammad SAW tumbuh di lingkungan bani Sa’ad sampai berusia 4 tahun, hingga terjadilah proses “pembelahan dada” yang membuat Halimah takut, takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada anaknya itu. Halimah pun mengembalikan Nabi Muhammad SAW kepada ibunya.

Hari berlalu, hingga Allah mengangkat Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang Rasul. Halimah beserta suaminya masuk Islam. Suatu hari, ketika Halimah bersama rombongannya menuju Mekah untuk berhijrah, Nabi Muhammad SAW. menyambutnya dengan begitu lembut, penuh kasih sayang dan penghormatan.

Betapa tidak, dialah ibu yang membesarkannya dengan rasa cinta yang besar. Nabi Muhammad SAW memanggil-manggil ibunya, “ibuku… ibuku…”, padahal saat itu, Halimah sudah berusia tua, namun nabi masih mengenal ibu susuannnya itu. Nabi Muhammad SAW kemudian membentangkan sorbannya sebagai bentuk penghormatan dan bakti kepada ibunya, seraya berkata, “Semoga Allah membalas segala kebaikanmu, ibu.”