Belum genap dua bulan setelah perang Uhud, Bani Asad bin Kuzaimah berani menggelar persiapan untuk menyerang Madinah di bawah pimpinan Thalhah dan Salamah, anak Khuwailid. Meskipun kerabat Jahsy telah memeluk Islam dan orang orang Asad yang lain telah lama tinggal di Mekah, para pemuka yang tersebar luas dan kuat di suku Najd masih jelas jelas merupakan sekutu Qurays, dan kini justru mendesak mereka agar segera memanfaatkan situasi yang kacau akibat perang Uhud.
Karena itulah sangat penting untuk menunjukan kepada mereka dan kepada seluruh bangsa Arab bahwa kaum Muslimin setelah perang Uhud bukanya menjadi lemah tapi malah bertambah kuat. Maka Rasulullah saw mengirimkan 150 pasukan bersenjata dan berkuda yang memasuki daerah mereka di sebelah utara gurun pasir bagian tengah dibawah pimpinan sepupu Rasulullah saw yaitu Abu Salamah. Mereka diperintahkan untuk merebut perkemahan musuh dengan secepatnya dan Abu Salamah pun berhasil menaklukan perkampungan Bani Asad dengan mudah tanpa perlawanan yang berarti walaupun terjadi pertumpahan darah dari kedua belah pihak. Kaum Badui segera dari Bani Asad segera melarikan diri dan berpencar ke semua penjuru, sementara kaum muslim segera kembali ke Madinah sembilan hari kemudian dengan membawa sejumlah unta dan 3 tawanan perang. Karena mengalami inveksi pada luka yang diderita dari perang Uhud, Abu Salamah meninggal dunia tak lama setelah peristiwa tersebut. Peristiwa penyerangan ini terjadi pada awal bulan Muharam di tahun ke-4 H. Peristiwa penyerangan ini terjadi pada awal bulan Muharam di tahun ke-4 H. Sehingga tercapailah tujuan dari pengerahan pasukan muslim tersebut yaitu untuk menggagalkan rongrongan kaum kafir Bani Asad dan untuk membuktikan bahwa kekuatan pasukan muslim tidak lah berkurang walaupun kalah di medan Uhud.
Pada waktu yang hampir bersamaan terdengar pula ada ancaman serangan dari arah selatan, namun kali ini Rasulullah saw mengatakan bahwa permusuhan yang menimbulkan ancaman serangan tersebut berasal dari seorang pria yang sangat ganas dan kejam, yaitu kepala suku lihyan, cabang Hudzail. Oleh karena itulah Rasulullah saw mengutus Abdullah bin Unays, seorang Khazraj, dan beberapa orang sahabatnya untuk membunuhnya, sbelum berangkat Abdullah bin Unays bertanya kepada Rasulullah saw,"Ya Rasulullah, apa ciri ciri penjahat besar itu?", kemudian Rasulullah saw menjawab,"jika kamu melihatnya maka kamu akan emnyangkanya setan, ciri utama penjahat itu adalah jika kalian melihatnya maka kalian akan gemetar saking takutnya", dan perkataan Rasulullah saw itu terbukti benar ketika Abdullah berhasil membunuhnya lantas Abdullah segera lari ketakutan karena masih terpengaruh akan perawakan kepala suku Lihyan yang sangat menakutkan.
Pada bulan Shafar di tahun yang sama, beberapa orang dari Adhal dan Qarah datang kepada Rasulullah mengabarkan bahwa di tengah kaumnya ada beberapa orang Muslim. Mereka meminta agar dikirim beberapa orang yang sanggup mengajarkan Islam kepada mereka. Rasulullah pun mengutus sepuluh orang dengan Ashim bin Tsabit sebagai pemimpin rombongan.
Setibanya di ar-Raji’, pangkalan air milik Bani Hudzail, para utusan yang memang sejak awal berniat menipu kaum Muslim itu bekerja sama dengan perkampungan Bani Lahyan yang memang memendam dendam karena kepala suku mereka tewas di bunu oleh Abdullah. Kemudian terkumpulah seratus pemanah dari Bani Lahyan yang kemudian mengejar sepuluh utusan Rasulullah tersebut.
“Ini kurma dari Yatsrib (Madinah).” Seru mereka. Mereka pun segera melakukan penelusuran mengikuti jejak-jejak tersebut, hingga akhirnya berhasil menyusul rombongan para sahabat Rasulullah saw.
Begitu menyadari kedatangan musuh, Ashim bin Tsabit radhiallahu ‘anhu dan para sahabat lainnya berlindung di dataran tinggi. Musuh berhasil mengepung mereka dan berseru, “Turunlah kalian dan menyerahlah! Kami menjamin dan berjanji tidak akan membunuh seorang pun dari kalian.”
Ashim bin Tsabit menanggapi mereka, “Kami tidak sudi berada dalam jaminan orang kafir.” Lalu ia memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Ya Allah, beritahukan nasib kami ini kepada Nabi-Mu.”
Maka beberapa orang Hudzail tersebut bermaksud untuk memenggal kepala Ashim yang telah gugur tersebut untuk dijual kepada si Ibu tersebut, namun tubuh Ashim terlindungi oleh sekawanan tawon liar seharian bahkan sampai malam, sehingga orang orang Hudzail tersebut mengurungkan niatnya untuk memenggal kepala Ashim dan meninggalkan jenazah Ashim. Kemudian tersiar kabar bahwa sebelumnya Ashim pernah bersumpah kepada Allah untuk tidak bersentuhan dengan orang-orang Musyrik diakrenakan kerasnya permusuhan kaum kafir Qurays terhadap kaum muslim dan tidak membiarkan dirinya disentuh oleh orang-orang Musyrik, maka Allah mengutus sekumpulan lebah yang melindungi jasad Ashim sehingga utusan orang Quraisy tersebut sama sekali tak bisa mnyentuh jasad Ashim. Ketika Umar bin Khattab mendengar hal ini, dia berkata, “Allah menjaga hamba yang Mukmin setelah meninggal dunia, sebagaimana Dia menjaganya sewaktu masih hidup.”
Selanjutnya Khubaib dan Zaid dibawa ke Makkah dan dijual sebagai budak. Sementara itu, Bani Harits yang selama ini menyimpan dendam kesumat terhadap Khubaib, mendengar berita tertangkapnya Khubaib. Rupanya nama Khubaib telah mereka hapal luar kepala, karena Khubaiblah yang membunuh Harits bin Amir, seorang pemuka Makkah, pada perang Badar. Maka dengan penuh antusias Khubaib pun mereka beli, dan Zaid dari Khazraj dibelli oleh Shafwan bin Umayyah, kemudian di bawa kepada sukunya untuk ditawan sementara waktu agar mereka akan dibunuh beramai ramai sebagai ajang balas dendam atas kematian ayah mereka di medan Badar. Mereka di di tahan sampai bulan suci berlalu.
Maka jadilah Khubaib bulan-bulanan oleh seluruh anggota Al-Harits. Setiap hari sahabat Anshar yang dikenal bersifat bersih, pemaaf, teguh keimanan dan taat beribadah ini harus menerima siksaan. Hingga suatu hari salah seorang putri keluarga tersebut berteriak terkejut, memberitakan bahwa budak sekaligus tawanan mereka sedang santai dan tenang-tenang memakan buah anggur. Padahal buah tersebut sedang tidak musim di Makkah dan Khubaib pun diikat tangannya dengan rantai besi.
Keluarga Al-Harits menakut-nakuti Khubaib, bahwa saudara sekaligus sahabatnya, Zaid yang juga dibeli keluarga Makkah lainnya, telah dieksekusi. Ia telah dibunuh dengan cara ditusuk tombak dari lubang dubur hingga tembus ke dadanya!
Namun berita kejam nan sadis ini ternyata tidak berhasil membuat hati Khubaib ketakutan apalagi berpaling dari keimanannya. Sebaliknya, hal ini justru membuat dirinya lebih pasrah terhadap ketentuan-Nya. Akhirnya keluarga Al-Harits pun putus asa. Mereka memutuskan untuk segera mengeksekusi tawanan yang tegar itu.
Suatu hari Khubaib yang sedang di tawan itu meminjam sebuah pisau dari salah seorang putri al-Harits untuk keperluannya. Namun tiba-tiba, ada bocah kecil, anak dari perempuan tadi, mendekat ke arah Khubaib karena kelalaian ibunya. Sang ibu melihat Khubaib memangku putranya, sementara pisau berada di tangannya. Serta-merta wanita itu merasa sangat ketakutan.
Melihat hal itu, Khubaib mengetahui kalau ibu anak tersebut takut, ia pun menenangkan ibu anak tersebut dengan mengatakan, “Apakah engkau khawatir jika aku sampai membunuhnya? Sungguh aku tidak akan melakukannya.” Perempuan itu pun berkata, “Demi Allah, aku belum pernah melihat, ada seorang tawanan yang lebih baik daripada Khubaib. Demi Allah, aku juga pernah menyaksikan dia makan setangkai buah anggur yang berada di tangannya, padahal ia dalam keadaan terbelenggu. Dan ketika itu, di Mekah belum datang musim anggur". Itulah sebuah rezeki yang diberikan Allah kepada Khubaib.
Ketika bulan Shafar telah datang kemudian ke dua tawanan tersebut di giring keluar dari Mekah menuju Tan'im, dan disanalah mereka berdua bertemu kembali dan saling berpelukan dan saling menasehati untuk bersabar. Kemudian kerabat Bani Nawfal yang telah membeli Khubaib menggiring Khubaib dan pada saat itu ia melihat bahwa kerabat Bani Nawfal akan mengikat pada sebuah pokok kayu yang bentuknya mirip seperti salib, maka Khubaib meminta ijin kepada musuhnya untuk melakukan shalat sunat dua rakaat, “Berilah aku waktu sebentar saja untuk melakukan shalat dua rakaat.” Mereka pun meng-iyakannya mengerjakan shalat dua rakaat dan sejak saat itulah diriwayatkan adalah sunah shalat sunat dua rakaat sebelum di bunuh. Usai shalat, Khubaib berkata, “Sungguh seandainya kalian tidak menganggap aku takut (menghadapi kematian), tentu aku akan menambah jumlah rakaat shalatku. Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, binaskanlah mereka satu per satu, jangan biarkan satu pun di antara mereka hidup.”
Kemudian Khubaib bin Adi melantunkan bait-bait syair yang mencerminkan kekuatan imannya:
"Tiada peduli manakala aku terbunuh dalam keadaan muslim
di tempat mana saja nyawaku hilang untuk Allah.
Demikian ini karena Allah, kalau Dia berkehendak
akan memberkahi seluruh anggota tubuh yang terkoyak"
Kemudian Khubaib di ikat tanganya pada pokok kayu tersebut, sebelumnya para penawanya itu barkata kepada Khubaib, "Keluarlah dari Islam, maka kami akan melepaskanmu", dan Khubaib pun menjawab, "Meskipun seluruh isi dunia kalian berikan kepadaku, aku tidak akan pernah keluar dari Islam", jawabnya. "Tidakkah kau ingin Muhamad yang menggantikanu disini dan kau kembali ke Medinah untuk beristirahat", tanya mereka, dan Khubaib pun menjawab dengan tegas, "Aku tidak akan membiarkan Rasulullah tertusuk sepucuk duri pun agar aku bisa tinggal dirumah", jawabnya. Mereka terpana dengan jawaban Khubaib, kemudian mereka membujuk nya, "menyerahlah Khubaib, agar kami tidak membunuhmu" ujar mereka. Khubaib pun menjawab, "Kematian adalah hal yang ringan jika kematianku adalah demi Tuhanku, dan jika kalian memalingkan aku dari arah kiblat", karena pada saat itu para penawanya mengarahkan tubuhnya membelakangi Ka'bah. Berkaitan dengan keluhan Khubaib yang tidak bisa menghadap kepada arah kiblat inilah maka diturunkan ayat kepada Rasulullah saw, yaitu :
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui" (Al Baqarah 2)
Pada saat itu ada empat puluh anak lelaki yang ayahnya terbunuh di perang Badar, masing masing memegang tombak dan pemimpin mereka berkata, "orang inilah yang elah membunuh ayah ayah kalian dalam perang Badar," kemudian mereka langsung menghujani mnyiksa Khubaib dengan senjatanya tapi mereka memang sengaja untuk menyiksa Khubaib dan tidak membuatnya tewas seketika, dan mereka seolah puas melihat penderitaan Khubaib, dan membiarkan dirinya sekarat dibawah sengatan matahari, Khubaib masih bertahan hidup beberapa saat dengan tubuh terikat hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir sambil mengucapkan, namun sebelum ruhnya meninggalkan raga, Khubaib sempat berucap, "Ya Allah, kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami, Tiada tuhan selain Allah, Muhamad Rasulullah!"
Setelah itu Zayd dari suku Khazraj itupun digiring untuk dibunuh dengan cara yang sama, Ia juga shalat sunat dulu sebelum dibunuh, ketika ditanya oleh penawanya maka Zaid pun menjawab persis sama dengan jawaban Khubaib. Seorang pemuka Qurays, Akhnas bin Syariq sekutu Zuhrah, yang turut menyaksikan peristiwa itu, dengan sangat terkesan berujar, "Rasanya tidak pernah ada seorang ayah mencintai anaknya seperti para sahabat Muhamad mencintai Muhamad".
Setelah, itu orang-orang musyrik meninggalkan tubuh Khubaib dalam keadaan tetap tersalib di tiangnya. Sementara burung-burung nazar yang sejak tadi berputar-putar menanti mangsanya, tiba-tiba juga meninggalkannya. Rupanya Sang Khalik tidak ridha hamba-Nya yang taat itu menjadi mangsa burung-burung pemakan bangkai.
Demikian pula doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada Sang Pemilik dalam keadaan pasrah dan ridha pada ketetapan-Nya. Tampak jelas bahwa Sang Khalik tidak tega menolaknya. Itu sebabnya, Rasulullah saw yang ketika itu berada di Madinah secara mendadak mengutus Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam untuk segera menyusul ke tempat Khubaib disalib. Padahal ketika itu tak seorang pun orang Madinah yang mengetahui peristiwa nahas tersebut.
Setiba di tempat yang dimaksud, Khubaib telah meninggal dalam keadaan masih terikat di kayu salib. Senyum kedamaian tergurat di wajahnya. Dengan menahan kedukaan yang mendalam, kedua utusan tadi kemudian melepaskan sang mujahid dari tiang salib begitu juga dengan jasad Zayd kemudian membawa dan memakamkannya di suatu tempat yang hingga detik ini tak seorang pun mengetahuinya.