Bani Nadhir

Perang Bani Nadhir (bahasa Arab:غزوة بنی‌نضیر) adalah salah satu peperangan antara Islam dengan Yahudi yang diikuti Nabi Muhammad saw (Ghazwah). Ini merupakan perang kedua bagi Rasulullah saw melawan Yahudi di Madinah. Perang Bani Nadhir terjadi pada bulan Rabiul Awwal tahun 4 H/625M. Perkampungan Bani Nadhir berjarak sekitar 2 mil dari Madinah.

Kabilah Bani Nadhir telah ada di Yatsrib sebelum datangnya Islam ke sana. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul Bani Nadhir. Ya'qubi menyebutkan mereka berasal dari Kabilah Bani Judzam yang masuk agama Yahudi dan tinggal di Gunung Nadhir. Sejak itu mereka dikenal dengan sebutan nama gunung tersebut. Pendapat lain menyebutkan, Bani Nadhir adalah keturunan Harun bin Imran. Setelah Nabi Musa as wafat dan sebelum kabilah-kabilah Arab Bani Aus dan Bani Khazraj melakukan hijrah ke sana karena terjadinya banjir Arim, mereka telah lebih dulu menempati daerah itu. Ibnu Sa'ad menyebut daerah tempat tinggal mereka dengan nama al-Ghars. Bani Nadhir dan seluruh kaum Yahudi di Madinah banyak mengumpulkan harta. Bani Aus dan Bani Khazraj meminta dukungan kepada Bani Ghassan untuk dapat menguasai kaum Yahudi. Ahirnya Bani Ghassan beserta bala tentaranya datang ke Hijaz dan membunuh banyak kaum Yahudi. Sejak itu Bani Aus dan Bani Khazraj berkuasa atas kaum Yahudi. Setelah itu, saat terjadi ketegangan antara Bani Aus dan Bani Khazraj, Bani Nadhir berpihak pada Bani Aus.

Sebeluimnya ada kejadian Amr bin Umayyah yang datang dari Bi'r Ma'unah (Sumur Ma'unah) membunuh dua orang dari Bani Amir yang sedang berada di bawah perjanjian damai dengan Rasulullah saw. Karena peristiwa itu Amir bin Thufail menuntut diyat (denda) karena dua kerabatnya telah dibunuh itu pada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw lalu meminta Bani Nadhir untuk sama-sama menanggung diyat karena Bani Nadhir mengadakan perjanjian dengan Bani Amir.

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutarakan maksud kedatangannya ke Bani Nadhîr , awalnya mereka menyanggupinya. Mereka mengatakan,"Wahai Abul Qâsim, kami akan memenuhinya. Silahkan duduk sampai kami bisa memenuhi kebutuhanmu".

Rasulullah saw duduk di dekat tembok rumah mereka bersama Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat lainnya. Sementara di tempat lain orang-orang Bani Nadhîr berkumpul dan berencana membunuh Rasulullâh saw.

Mereka mengatakan, “Siapa diantara kalian yang berani menjatuhkan batu ini ke kepala Muhammad sampai pecah ?” Salah satu dari mereka yang bernama Amru ibnu Jihasy mengatakan, ”Saya.”
Mendengar rencana ini, Salam ibnu Misykam berusaha mencegah mereka, ”Jangan kalian lakukan! Demi Allâh, pasti Allâh akan memberitahukan rencana kalian ini kepadanya.”

Peringatan Salam bin Misykan ini tidak diindahkan. Mereka tetap berencana meneruskan niat jahat mereka. Dalam keadaan seperti ini, Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasûlullâh saw melalui Malaikat Jibril memberitahukan prihal rencana tersebut. Setelah mendapat wahyu itu, beliau saw segera bangkit tanpa mengucapkan sepatah katapun dan pulang ke Madinah begitu pula para sahabat. Mereka bertanya tentang apa yang menyebabkan beliau saw tiba-tiba bangkit dari tempat beliau dan pulang. Rasûlullâh saw menceritakan niat keji orang-orang yahudi yang hendak membunuhnya. Tidak beberapa lama, Rasûlullâh saw mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menyampaikan keputusan Rasûlullâh saw kepada Bani Nadhîr agar mereka keluar dari Madinah dan tidak tinggal bersama Rasûlullâh di Madinah. Mereka diberi tenggang waktu sepuluh hari. Barangsiapa ketahuan masih tinggal di Madinah setelah habis tempo, maka ia akan diperangi.

Ancaman itu membuat Bani Nadhir mempersiapkan diri selama beberapa hari. Namun kemudian, datanglah kepada mereka gembong munafik Abdullah bin Ubay bin Salul,  dan mengatakan, “Janganlah kalian keluar dari rumah kalian. Karena saat ini aku memiliki sekitar 2.000 pasukan yang siap bertahan bersama di benteng kalian ini. Mereka siap mati membela kalian. Bahkan Bani Quraizhah serta para sekutu kalian dari Ghathafan tentu akan membela kalian.”

Pemimpin Bani Nadhir, Huyay bin Akhthab tergiur dengan bujukan Abdullah bin Ubay. Ia kemudian mengutus seseorang kepada Rasulullah saw, “Kami tidak akan keluar dari kampung (rumah-rumah) kami. Berbuatlah sesukamu,” kata utusan itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Saat mendengar jawaban Hayay bin Akhtab, Rasûlullâh saw bertakbir dan di ikuti oleh para sahabat. Penyerangan ke Bani Nadhîr akan dimulai. Panji peperangan kali ini dibawa oleh Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu . Rasûlullâh saw menyuruh Ibnu Ummi Maktûm Radhiyallahu anhu tinggal di Madinah sebagai pengganti Rasûlullâh selama beliau di medan perang. Bani Nadhîr mulai takut dan semakin takut ketika mengetahui Rasûlullâh saw dan pasukannya akan menyerang, terlebih lagi setelah mendapat tanda tanda Abdullah bin Ubaiy dan Bani Quraizhah akan berhianat. Mereka seolah membiarkan Bani Nadhîr menghadapi kaum Muslimin tanpa ada pertolongan yang mereka janjikan. Itu juga yang di lakukan Bani Ghathafân. Allâh Azza wa Jalla memisalkan perbuatan kaum munafiq ini dalam firman-Nya :

كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنكَ

" seperti (bujukan) setan ketika dia mengatakan kepada manusia, “Kafirlah kamu”, Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, ” al-Hasyr 16

Setelah mendapat kepastian akan pengkhianatan Abdullah bin Ubay, Bani Nadhîr memilih bertahan dalam benteng dan melawan kaum Muslimin dengan panah dan bebatuan. Keberadaan kebun dan pohon korma di sekitar benteng, menguntungkan mereka. Ini memaksa Rasûlullâh saw menebang dan membakar kebun dan pohon-pohon kurma yang ada di sekitar benteng, karena pepohonan kurma tersebut menghalangi gerak laju pasukan muslim dan juga sebagai psywar untuk mengecilkan nyali musuh. Rasûlullâh saw mengepung mereka selama enam hari, sampai akhirnya mereka menyerah dan memilih keluar Madinah sambil mengajukan syarat diperbolehkan membawa harta yang bisa di bawa oleh onta-onta mereka.

Pada akhirnya, Bani Nadhir mengutus seseorang untuk menyatakan menyerah dan memohon kepada Rasulullah saw, “Kami akan keluar dari Madinah,” kata utusan tersebut.

Permintaan ini disetujui oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga sebagian di antara mereka ada yang merobohkan rumah mereka kemudian bahan-bahan rumah itu di bawa dengan onta-onta mereka, bahkan ada yang membawa atap rumah dengan onta-onta tersebut sebagaimana Allâh ceritakan dalam al-Qur’ân.

Dikisahkan, hanya dua dari mereka yang mau memeluk agama Islam yaitu Yamin ibn Amru dan Abu Sa’an bin Wahab. Dengan eksodusnya Bani Nadhir dari Madinah, maka harta yang mereka tinggalkan terhitung sebagai al-fai. Pembagian harta jenis ini diserahkan sesuai kebijakan Rasûlullah saw. Dalam peristiwa ini, Beliau saw lebih banyak memberikannya kepada para sahabat dari kalangan muhâjirîn, karena mereka lebih butuh bila dibandingkan kaum Anshâr. Hanya dua dari kalangan Anshar yang Beliau saw beri al-fai ini yaitu Abu Dujânah Radhiyallahu anhu dan Sahal bin Hanîf Radhiyallahu anhu karena keduanya sangat miskin.

Perang dengan Bani Nadhîr ini terjadi setelah  musibah berat menimpa kaum Muslimin, yaitu gugurnya sebagian sahabat dalam perang Uhud, kemudian terbunuhnya para shahabat pilihan yang diutus Rasûlullâh dalam dua tragedi yang sangat berdekatan. Peristiwa Raji’ dan peristiwa Bi’r Ma’unah, dua peristiwa menyedihkan terjadi dalam satu bulan yaitu bulan Shafar tahun ke-4 hijrah. Kejadian-kejadian ini menorehkan kesedihan mendalam pada diri Rasûlullâh saw dan para sahabat. Sehingga berperang dalam situasi bathin seperti ini jelas kurang menguntungkan. Namun jawaban Hayay bin Akhtab, pimpinan Bani Nadhir membuat Rasûlullâh saw dan para sahabat tidak punya pilihan lain kecuali memerangi Bani Nadhîr yang telah berkhianat dan melanggar perjanjian dan bahkan terang terangan berniat untuk membunuh Rasûlullâh saw.

Rasulullah saw memperkenankan mereka keluar dari kota itu dengan hanya membawa anak-cucu mereka serta barang-barang yang dapat diangkut seekor unta, kecuali senjata. Dari sinilah kemudian Rasulullah saw dan para shahabat memperoleh harta dan senjata yang sangat banyak. Rasulullah saw mengusir Yahudi Bani Nadhir, termasuk pembesar mereka, Huyay bin Akhthab, kemudian Bani Nadhîr menyebar. Diantara mereka ada yang pergi ke daerah Syam, namun kebanyakan mereka termasuk para pemuka Bani Nadhîr termasuk Huyay bin Akhtab memilih eksodus ke Khaibar, Rasulullah saw menguasai tanah dan rumah-rumah berikut senjata. Saat itu diperoleh sekitar 50 perisai, 50 buah topi baja, dan 340 bilah pedang.

Seperlima bagian dari rampasan Perang Bani Nadhir ini tidak dibagikan, dikhususkan bagi Rasulullah saw dan para penggantinya (para khalifah) demi kepentingan kaum muslimin. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan kepada beliau sebagai fai’, tanpa kaum muslimin mengerahkan seekor kuda ataupun unta untuk mendapatkannya.

Umar bib Khaththab radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah hadits mengatakan, “Harta Bani Nadhir merupakan harta fai’ yang Allah berikan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tanpa kaum muslimin mengerahkan kuda dan unta untuk memperolehnya. Harta itu milik Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara khusus. Beliau menginfakkannya untuk keluarganya sebagai nafkah selama setahun, kemudian sisanya berupa senjata dan tanah sebagai persiapan bekal (jihad) di jalan Allah.”