Saat Muhamad saw berusia 14 atau 15 tahun, terjadi perang-antara orang-orang Quraisy dan Kinanah melawan kabilah Qais Ailan yang kemudian dikenal dengan Perang Fijar. Ada empat kejadian yang melatar belakangi terjadinya Perang Fijar.
Pertama, konflik yang terjadi karena seseorang dari Bani Qais berutang kepada Bani Kinanah dan tidak membayarnya dalam waktu lama. Namun, peristiwa pertama ini masih dapat diselesaikan tanpa peperangan.
Kedua, kejadian di Pasar Ukadz. Ketika itu ada seseorang dari Bani Kinnah membangga-banggakan dirinya di hadapan Bani Qais.
Ketiga, adanya peristiwa penodaan terhadap seorang gadis jelita dari Bani Qais oleh seorang pemuda Makah. Peristiwa pelecehan itu didengar oleh orang-orang Bani Qais. Mereka marah dan berusaha nenuntut balas. Mereka sepakat untuk menyerang pemuda Makkah tersebut.
Keempat, seorang dari Bani Kinanah yang bernama al-Buradh, membunuh tiga orang dari kabilah Qais Ailan. Kabar ini sampai ke pasar Ukazh, sehingga terjadilah ketegangan antara kedua kabilah itu. Peristiwa inilah yang memantik terjadinya Perang Fijar.
Harb bin Umayyah terpilih menjadi komandan perang kabilah Quraisy dan Kinanah. Menjelang siang, perang pun berkobar. Di awal hari itu, kabilah Qais meraih kemenangan. Namun pada pertengahan hari, keadaad berbalik. Kabilah Quraisy dan Kinanah berhasil mengalahkan kabilah Qais. Perang ini dinamakan "Perang Fijar” karena ternodainya kesucian bulan-bulan Haram yaitu awal bulan Dzulqa’dah. Dalam perang ini Muhamad saw membantu para pamannya menyediakan anak panah. (Ibnu Hisyam) Pada saat itu, pemimpin Bani Hasyim adalah Zubayr, saudara kandung ayah Muhamad kecil, seperti juga Abu Thalib, Zubayr dan Abu Talib membawa serta keponakanya dalam pertempuran tersebut, tapi mereka beranggapan bahwa Muhamad masih terlalu kecil untuk ikut bertempur, maka Muhamad hanya di ijinkan hanya untuk memunguti dan mengumpulkan anak panah musuh yang meleset dan bertebaran di medan peperangan dan memberikan kepada paman pamanya agar dapat digunakan kembali untuk menyerang balik. Namun pada salah satu pertempuran di mana Qurays dan sekutunya mengalami hari yang paling buruk, Muhamad di ijinkan untuk menunjukan kemampuanya sebagai pemanah yang kemudian dipuji karena keliahainya dalam hal memanah.
Muhammad saw ikut andil dalam sebagian tahap Perang Fijar. Beliau menyertai para pamannya dalam pertempuran. Muhammad menuturkan, "Aku membalas serangan panah musuh begitu mereka menghujani pamanku dengan anak panah".
Sebagian orang Quraisy mengusulkan perundingan dengan cara menghitung jumlah korban. Pihak yang jumlah korbannya paling banyak, harus membayar diyat (denda) yang lebih banyak pula. Usulan itu diterima, akhirnya mereka pun berdamai sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Perangpun dihentikan dan rasa permusuhan antara mereka ditiadakan.
Perang Fijar menghasilkan sebuah perjanjian yang disebut dengan Hilful Fudhal. Perjanjian tersebut disepakati oleh kabilah yang bertikai pada bulan suci Dzulqa’dah.
Hampir seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya. Bani Hasyim, Bani al-Muthallib, Asad bin Abdul Uzzi, Zahrah bin Kilab, dan Taim bin Murrah semuanya hadir. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an at-Taimi untuk berunding mengakhiri pertikaian.
Di antara isi perjanjian tersebu: berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang di zalimi di Makkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Apabila hal itu terjadi, mereka akan bergerak menolongnya hingga orang yang dizalimi tersebut memperoleh haknya kembali.
Di antara oang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut, tampak seorang amak muda. Dialah Muhammad saw. Peristiwa bersejarah itu tak dilupakan oleh Muhammad saw hingga dewasa. Setelah beliau diangkat menjadi Rasul Allah, beliau mengisahkan kejadian tersebut kepada para sahahat.
“Aku telah menghadiri suatu hilf (perjanjian) di kediaman Abduliah bin Jud'an, yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki Humrun Ni’am (unta merah yang merupakan harta termahal kebanggaan bangsa Arab ketika itu). Andai di masa Islam aku diundang untuk menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya," ujar beliau.
Pengaruh Hiful Fudhul terlihat saat seseorang dari kabilah Zabid datang ke Makkah, membawa barang dagangannya. Barang dagangannya dibeli al-Ash bin wa'il as-Sahmi. Namun, al Ash tidak memenuhi hak si pedagang.
Orang itu meminta bantuan kepada sekutu sekutu al-Ash, tetapi mereka tidak mengacuhkannya.
Si pedagang kemudian menaiki Gunung Abi Qubais dan menyenandungkan syair yang berisi kezaliman yang tengah dialaminya, sambil berteriak dengan keras.
Rupanya, Zubair bin Abdul Muthalib mendengar senandung syair memilukan itu. “Mengapa orang ini tidak diacuhkan" seru Zubair.
Tak berapa lama, berkumpullah semua kebilah yang menyetujui perjanjian. Mereka lalu mendatangi al- Ash bin Wa’il dan memaksanya untuk menunaikan hak orang Zabid tersebut. Akhirnya, hak orang Zabid dipenuhi sesuai isi perjanjian.( Thabaqat Ibnu Sa'ad)
Keadilan adaiah nilal yang mutlak harus ditegakkan. Saat api Perang Fijar meredup, Muhammad saw juga ikut mendukung prinsip keadilan yang diusung kabilah Kinanah dan Qais.
Keputusan bailk harus dijunjung tinggi, meski ia barasal dari bangsa Jahiliyah. Hilful Fudhul bak oasis di padang pasir Jahillyah. Ia menjadi bukti bahwa kebobrokan dalam sebuah sistem tidak berarti di sana sama sekali tidak ada nilai-nilai moralitas.
Makkah dulu terkenal dengan komunitas Jahiliyah yang tidak beradab dan pendudukya menyembah berhala. Praktik riba dan zina menjadi menu harian mereka. Namun, ada sekelompok orang yang sangat menjunjung tingai nilai-nilai moralitas. Mereka membenci dan mengingkari segala bentuk kezaliman.