Perang Khaibar

Pertempuran Khaibar adalah pertempuran yang terjadi antara umat Islam yang dipimpin Rasulullah saw. dengan umat Yahudi yang hidup di oasis Khaybar, sekitar 150 km dari Madinah, Arab Saudi. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan umat Islam, dan Rasulullah saw. berhasil memperoleh harta, senjata, dan dukungan kabilah setempat.Pertempuran ini terjadi sekitar dua pekan lamanya, Rasulullah saw. bahkan memimpin sendiri ekspedisi militer menuju Khaibar, daerah sejauh tiga hari perjalanan dari Madinah. Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama setelah Yahudi di Madinah ditaklukkan oleh Rasulullah saw. Yahudi tak mempunyai cukup kekuatan untuk menggempur kaum Muslimin. Namun mereka cerdik. Mereka mampu menyatukan musuh-musuh Rasulullah saw. dari berbagai kabilah yang sangat kuat. Hal itu terbukti pada Perang Khandaq. Bagi warga Muslim di Madinah, Yahudi lebih berbahaya dibanding musuh-musuh lainnya.

Kala itu dari pihak Quraisy di sebelah selatan sudah aman. Tetapi dari sebelah utara beliau tidak akan merasa aman sekiranya nanti Raja Romawi, Heraclius atau Raja Persia, Kisra datang meminta bantuan Yahudi Khaibar, setelah menerima surat ajakan untuk masuk Islam itu. Wajar sekali mereka akan mengadakan pembalasan bila saja mereka mendapatkan bala bantuan dari pihak Heraclius. Inilah perlunya Rasulullah saw menumpas kekuasaan orang-orang Yahudi. Dengan begitu, mereka tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan terhadap Madinah. Dan hal ini harus cepat-cepat dilaksanakan, sebelum ada waktu yang cukup terluang buat mereka guna meminta bantuan pihak Ghatafan atau kabilah-kabilah lain yang membantu mereka dan sedang memusuhi Nabi Muhammad.

Pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah Rasulullah saw bersama 1400 sahabat yang ikut di Hudaibiyah berangkat menuju Khaibar. Sepulang mereka dari Hudaibiyah Allah menurunkan ayat sebagai janji kemenangan dari-Nya dan perintah untuk memerangi Yahudi di Khaibar dalam firman-Nya:

“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)

Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjanjikan harta rampasan (ghanimah) yang banyak kepada kaum muslimin, sebagai pendahuluannya adalah harta rampasan yang mereka peroleh pada Perang Khaibar itu. Dan Allah juga lah yang telah menahan kaum Qurays agar tidak memerangi kaum muslim dalam perjanjian Hudaibiyah, Adapun orang-orang badui atau munafik tatkala mereka mengetahui para sahabat akan menang dan mendapat rampasan perang, maka mereka untuk ikut dalam peperangan tersebut supaya mendapat bagian dari ghanimah maka Allah berfirman,

“Orang-orang Badui yang tinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, “Biarkan kami, niscaya kami mengikuti kamu.’ Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya.’ Mereka mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. Al-Fath: 15)

Demikian itu karena Allah telah mengkhususkan rampasan Perang Khaibar sebagai balasan jihad, kesabaran, dan keikhlasan para sahabat yang ikut di Hudaibiyah saja.

Pihak Quraisy yang selalu mengawasi Madinah sudah mengetahui gerakan pasukan muslim ini. Dari kalangan Quraisy sampai ada yang berani bertaruh mengenai kesudahan perang itu dan siapa pula yang akan menang. Kebanyakan Quraisy mengharapkan pihak Muslimin akan mengalami kehancuran, melihat kukuhnya benteng-benteng Khaibar yang sudah terkenal serta letaknya di atas batu-batu karang dan gunung, di samping pengalaman mereka yang cukup lama dalam medan perang.

Para sahabat berangkat dengan penuh keyakinan dan besar hati terhadap janji Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa Khaibar merupakan perkampungan Yahudi yang paling kokoh dan kuat dengan benteng berlapis dan persenjataan serta kesiapan perang yang mapan dengan lebih kurang sepuluh ribu pasukanya. Mereka berjalan sambil bertakbir dan bertahlil dengan mengangkat suara tinggi hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dan memerintahkan agar merendahkan suara sebab Allah Maha Dekat, bersama kalian, tidak tuli, dan tidak jauh. (Bukhari: 4205)

Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, sebelum subuh mereka tiba di halaman Khaibar, sedang Yahudi tidak mengetahuinya. Tiba-tiba ketika berangkat ke tempat kerja, mereka (orang-orang Yahudi) dikejutkan dengan keberadaan tentara; maka mereka berkata, “Ini Muhammad bersama pasukan perang.” Mereka kembali masuk ke dalam benteng dalam keadaan takut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahu Akbar, binasalah Khaibar. Sesungguhnya jika kami datang di tempat musuh maka hancurlah kaum tersebut.”

Maka Rasulullah saw. menyerbu ke jantung pertahanan musuh. Suatu pekerjaan yang tak mudah dilakukan. Pasukan Romawi yang lebih kuat pun tak mampu menaklukkan benteng Khaibar yang memiliki sistem pertahanan berlapis-lapis yang sangat baik. Sallam anak Misykam mengatur prajurit Yahudi. Perempuan, anak-anak dan harta benda mereka tempatkan di benteng Watih dan Sulaim. Persediaan makanan dikumpulkan di benteng Na’im. Pasukan perang dikonsentrasikan di benteng Natat. Sedangkan Sallam dan para prajurit pilihan maju ke garis depan. Sallam tewas dalam pertempuran itu. Tapi pertahanan Khaibar belum dapat ditembus. Rasulullah saw. menugasi Abu Bakar untuk menjadi komandan pasukan. Namun gagal. Demikian pula Umar.

Kaum muslimin menyerang dan mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”

Pada pagi hari itu para sahabat bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?” Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang paling mewah ketika itu).” (Muslim)

Tatkala berlangsung pengepungan benteng-benteng Yahudi, tiba-tiba pahlawan andalan mereka bernama Marhab menantang dan mengajak sahabat untuk perang tanding. Amir bin Akwa radhiallahu ‘anhu melawannya dan beliau terbunuh mati syahid. Lalu Ali radhiallahu ‘anhu melawannya hingga membunuhnya dan menyebabkan runtuhnya mental kaum Yahudi dan sebagai sebab kekalahan mereka.

Benteng Khaibar memiliki sistem pertahanan berlapis-lapis yang sangat baik. Untuk perempuan, anak-anak dan harta benda ditempatkan di benteng Watih dan Sulaim. Persediaan makanan dikumpulkan di benteng Na’im. Sedang pasukan perang dikonsentrasikan di benteng Natat. Pertarungan dalam jumlah dan kondisi yang tidak seimbang itupun berlangsung sengit. Setelah sejumlah benteng dikuasai, giliran Benteng Qamush jatuh ke tangan umat Islam. Termasuk benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Awalnya kaum Yahudi bertahan di benteng tersebut. Tapi pasukan Islam berinisiatif memotong saluran air menuju benteng yang memaksa pasukan Yahudi keluar dari benteng dan bertempur langsung.

Dalam peperangan ini terbunuh dari kaum Yahudi sembilan puluhan orang, sedang wanita dan anak-anak ditawan. Termasuk dalam tawanan adalah Shofiyah binti Huyai yang jatuh di tangan Dihyah al-Kalbi lalu dibeli oleh Rasulullah saw darinya. Beliau mengajaknya masuk Islam lalu menikahinya dengan mahar memerdekakannya. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin sebanyak belasan orang.

Dari kalangan muslim yang sahid adalah enam belas orang, di antara yang mati syahid adalah seorang badui yang datang dan masuk Islam dan memohon kepada Rasulullah saw untuk ikut serta dalam pasukan dan ketika sudah menaklukan benteng pertama di medan Khaibar, tatkala Rasulullah saw memperoleh rampasan Perang Khaibar maka beliau memberinya bagian, tetapi dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengikutimu bukan untuk tujuan ini, melainkan agar aku terkena panah di sini (sambil memberi isyarat pada lehernya) sehingga aku masuk surga.” Maka Rasulullah saw mengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah maka pasti Allah buktikan.” Tidak lama kemudian jenazahnya dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terluka pada tempat yang dia isyaratkan sebelumnya. Maka Rasulullah saw  mengatakan, “Orang ini jujur kepada Allah. Oleh karenanya, Allah memenuhi niatnya yang baik.” Lalu beliau mengafaninya dan memakamkannya. (Mushonnaf Abdurrozaq dengan sanad yang baik, 5:276)

Di Khaibar inilah nama Ali menjulang. Keberhasilannya merenggut pintu gerbang yang sangat besar, dan sangat berat bahkan 8 orang pun tak mampu mengangkatnya, untuk menjadi perisai selalu dikisahkan dari abad ke abad. Ali dan pasukannya juga berhasil menjebol pertahanan lawan. Harith bin Abu Zainab -komandan Yahudi setelah Sallam-pun tewas. Benteng Na’im jatuh ke tangan pasukan Islam.

Setelah itu benteng demi benteng dikuasai. Seluruhnya melalui pertarungan sengit. Benteng Qamush kemudian jatuh. Demikian juga benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Semula Yahudi bertahan di benteng tersebut. Namun pasukan Islam memotong saluran air menuju benteng yang memaksa pasukan Yahudi keluar dari tempat perlindungannya dan bertempur langsung. Benteng Watih dan Sulaim pun tanpa kecuali jatuh ke tangan pasukan Islam.

Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam. Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi’ yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan rasulullah.

Perlindungan itu tampaknya sengaja diberikan oleh rasulullah untuk menunjukkan beda perlakuan kalangan Islam dan Kristen terhadap pihak yang dikalahkan. Biasanya, pasukan Kristen dari kekaisaran Romawi akan menghancurludeskan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang kaum Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang mengikuti garis kepemimpinan Rasulullah saw. dalam politik.

Rasulullah saw sempat tinggal beberapa lama di Khaibar. Ia bahkan nyaris meninggal lantaran diracun. Diriwayatkan bahwa Zainab binti Harith menaruh dendam pada Rasulullah saw.. Sallam, suaminya, tewas dalam pertempuran Khaibar. Zainab lalu mengirim sepotong daging domba untuk Rasulullah saw. Rasulullah sempat mengigit sedikit daging tersebut, tetapi segera memuntahkannya setelah merasa ada hal yang ganjil. Tidak demikian halnya dengan sahabat rasul, Bisyri bin Bara. Ia meninggal lantaran memakan daging tersebut.

Rasulullah saw membagi rampasan perang kepada sahabat yang ikut perang yang berjumlah 1400 orang. Namun, seusai perang ini para rombongan Muhajirin berjumlah 53 orang dari Habasyah yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu datang dan bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Beliau sangat gembira dengan kedatangan mereka. Beliau merangkul Ja’far radhiallahu ‘anhu serta menciumnya seraya bersabda, “Aku tidak mengetahui apakah aku bergembira karena menang dari Khaibar ataukah karena kedatangan rombongan Ja’far.” (Shahih Abu Dawud: 5220)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka bagian dari rampasan perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi bagian kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang dari suku Daus yang baru datang dalam keadaan Islam. Semua ini beliau lakukan dengan izin dan keikhlasan dari sahabat yang ikut Perang Khaibar dan karena mereka ini terhalang oleh udzur, jika tidak maka pasti mereka akan ikut berperang.

Ghulul adalah mengambil rampasan perang sebelum dibagi. Mid’am, seorang pelayan Rasulullah saw, meninggal dunia akibat terkena panah. Maka sahabat mengatakan, “Alangkah nikmat, baginya surga.” Namun, Rasulullah saw bersabda, “Tidak, demi Allah, sesungguhnya pakaian yang diambilnya dari rampasan Khaibar sebelum dibagi menjadi bahan bakar api neraka.” Mendengar ini, ada seseorang yang datang mengaku, “Ini satu atau dua tali sandal aku peroleh sendiri.” Rasulullah saw bersabda, “Itu termasuk neraka.” (Bukhari dan Muslim)

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengauasai dan mengalahkan Khaibar maka Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Yahudi di Fadak –sebelah utara Khaibar-, mereka segera mengirim utusan kepada Rasulullah saw untuk perjanjian damai dengan menyerahkan separuh bumi Fadak kepadanya. Rasulullah saw menerima tawaran tersebut dan beliau khususkan untuk dirinya sebab ia termasuk rampasan perang (fa’i) yang diperoleh tanpa perang (pertempuran).

Khaibar telah ditaklukkan. Rombongan pasukan Rasulullah saw. kembali ke Madinah melalui Wadil Qura, wilayah yang dikuasi kelompok Yahudi lainnya. Pasukan Yahudi setempat mencegat rombongan tersebut. Sebagaimana di Khaibar, mereka kemudian ditaklukkan pula. Sedangkan Yahudi Taima’ malah mengulurkan tawaran damai tanpa melalui peperangan.

Pada suatu saat, Rasulullah saw  bersabda kepada para sahabatnya,

“Besok, akan datang kepada kalian kaum yang hatinya lebih lembut dari kalian dalam menerima Islam.” (HR. Ahmad 3369).

Keesokan harinya datanglah kabilah al-Asy’ari. Di antara mereka ada Abu Musa. Saat sekelompok orang dari kabilah ini tengah dekat Kota Madinah, mereka bersyair; "Esok kita bertemu dengan para kekasih Muhammad dan sahabat-sahabatnya"

Setibanya di Madinah, mereka bersalam-salaman. Ada yang mengatakan inilah pertama kalinya tradisi bersalaman tangan dilakukan saat pertama berjumpa. Inilah budaya Arab, berasal dari tradisinya kabilah al-Asy’ari. Mereka terbiasa bersalaman tangan saat pertama berjumpa. Orang-orang Romawi yang mempengaruhi Eropa dan sebagian wilayah Asia di masa itu tidak melakukan hal ini. Sedangkan di Persia, mereka terbiasa bersujud ketika bertemu rajanya. Tradisi salam-salaman ini pun dilanggengkan dalam syariat Islam.

Kedatangan Kabilah al-Asy’ari berbarengan dengan kedatangan Ja’far dan peritiwa penaklukkan benteng Khaibar. Nabi menjamu makan mereka. Jamuan itu dikenal dengan Tha’matu al-Asy’ariyyin. Abu Musa mengatakan, “Kami bertemu Rasulullah bersamaan dengan penaklukkan Khaibar. Beliau memberi kami (ghanimah). Hal itu tidak beliau lakukan kepada siapapun yang tidak turut penaklukkan Khaibar kecuali orang-orang yang berlayar di kapal menuju Madinah bersama Ja’far dan sahabatnya. Mereka mendapat bagian juga seperti kami”. (Riwayat al-Bukhari dalam Kitab al-Maghazi Bab Ghazwatu Khaibar, No: 3992).

Dengan penaklukan tersebut, Islam di Madinah telah menjadi kekuatan utama di jazirah Arab. Ketenangan masyarakat semakin terwujud. Dengan demikian, Rasulullah saw. dapat lebih berkonsentrasi dalam dakwah membangun moralitas masyarakat.

Kaum Yahudi menyerah dengan syarat membayar pajak dan memberikan tanahnya kepada umat Islam. Akibatnya, mereka banyak yang menjadi hamba sahaya. Menurut Stillman, orang-orang Yahudi dari Bani Nadhir tidak termasuk dalam perjanjian ini, dan seluruh orang bani Nadhir akhirnya dibunuh, kecuali anak-anak dan wanita yang dijadikan budak. Setelah pertempuran ini orang-orang Yahudi masih tinggal di Khaibar, hingga akhirnya diusir oleh khalifah Umar bin Khattab pada masa ke Khalifahanya. Pembebanan pajak terhadap orang-orang Yahudi menandai dimulainya penerapan jizyah terhadap para dzimmi di bawah pemerintahan Islam, dan penahanan tanah mereka menjadi milik komunitas Islam.

Adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Muhammad saw.

Shafiyah telah menjanda sebanyak dua kali, karena dia pernah menikah dengan dua orang keturunan Yahudi yaitu Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin Musykam), salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama.

Kemudian suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin Rabi' telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran tersebut. Dalam satu perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu dibebaskan kemudian diserahkan kembali kepada kaumnya atau dibebaskan kemudian menjadi isteri Rasulullah saw, kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri Muhammad.

Shafiyah memiliki kulit yang sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah, kecantikannya itu sehingga membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada seorang istri Rasulullah saw dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy bangsa Arab, sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Rasulullah saw kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seorang putri seorang nabi dan pamanmu adalah seorang nabi, suamimu pun juga seorang nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Rasulullah saw bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri-istri nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”.

Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekkah. Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalam kitab mereka sendiri. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum Muslim.

Dalam peristiwa penaklukan Khaybar itulah, suatu ketika Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Muhammad. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Muhammad memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian ia bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?”

Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Muhammad sejak dia belum mengetahui kerasulan dia. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Muhammad dan rindunya terhadap Islam.

Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalam tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya. Muhammad melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”

Rasulullah saw menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan Rasulullah saw dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah memilih Islam serta menikah dengan Rasulullah saw ketika ia memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan dia atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Muhammad, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslim, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Muhammad.

Rasulullah saw menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya ia terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri Rasulullah saw menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah saw pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah saw tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, dia meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, dia tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mengungkit-ungkit asal usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Muhammad menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudi.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah saw kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”

Salah satu bukti cinta Shafiyyah kepada Rasulullah saw terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang dia wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, dia berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Dia menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”

Setelah Rasulullah saw, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Rasulullah saw. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.