Pengepungan Thaif

Walaupun perang Hunain telah selesai, dan sebagian tentara musyrikin sudah menyerah, tetapi pengejaran terhadap mereka yang belum menyerah tetap dilakukan pula, karena pimpinan mereka yang tertinggi belum menyerah, bahkan melarikan diri ke Thaif, yaitu Malik bin ‘Auf An-Nashriy.

Setelah Nabi SAW mengetahui bahwa Malik bin ‘Auf melarikan diri bersama pengikutnya qabilah Tsaqif ke Thaif, dan mereka berlindung di sana, maka beliau memerintahkan kepada tentara muslimin untuk mengejar mereka ke Thaif.

Nabi bersama tentara kaum muslimin dari Hunain terus menuju ke Thaif. Di tengah perjalanan, beliau dan tentaranya melihat sebuah benteng yang kuat milik Malik bin ‘Auf. Ketika itu di dalam benteng telah sunyi-senyap, maka benteng itu lalu dirobohkan. Dalam perjalanan selanjutnya mereka melewati sebuah kebun milik salah seorang dari banu Tsaqif. Pemiliknya disuruh untuk keluar, kalau tidak mau keluar maka kebun itu akan dibakar. Ternyata orang tersebut tidak mau keluar, dan tetap bertahan di dalam. Maka Nabi SAW memerintahkan kepada tentara Islam untuk membakar kebun tersebut. [Nuurul Yaqiin : 211]

Sesudah itu Nabi SAW bersama tentara Islam melanjutkan perjalanan ke Thaif. Setelah tiba di Thaif, ternyata Malik bin ‘Auf bersama pengikutnya telah lebih dulu masuk ke dalam benteng yang kokoh kuat. Dan ketika itu mereka masih mempunyai persediaan bahan makanan yang cukup untuk bertahan di dalam benteng selama setahun. Dan mereka pun masih mempunyai perlengkapan perang yang cukup untuk bertempur melawan tentara Islam.

Kemudian Nabi SAW dan tentara muslimin berhenti di suatu tempat, lalu beliau menyusun dan mengatur barisan kaum muslimin. Di tempat itu pula beliau memerintahkan supaya didirikan tempat untuk mengerjakan shalat, dan di sinilah kemudian didirikan sebuah masjid yang dikenal dengan masjid Thaif.

Pada waktu itu para pengawal benteng telah memulai mengadakan serangan hebat terhadap angkatan perang kaum muslimin yang sedang mengatur pertahanan. Mereka memanah dengan gencar ke arah tentara Islam, sehingga ketika itu banyak yang terkena dan mendapat luka-luka. Menurut riwayat seketika itu ada dua belas tentara Islam yang tewas. [Nuurul Yaqiin : 211]

Sekalipun demikian tentara muslimin dengan gagah berani terus bergerak mengadakan perlawanan.
Pada suatu hari shahabat Khalid bin Walid menantang terhadap mereka,  dengan suara yang lantang, katanya, “Siapa diantara kalian yang berani berperang tanding dengan kami ?”. Demikian kata-kata itu diserukan berulang-ulang, namun tidak seorangpun yang menyahutnya dan menampakkan dirinya. Setelah Khalid bin Walid diam, tidak menyerukan tantangannya lagi, lalu ‘Abdu Yalil, seorang pembesar dari banu Tsaqif, di atas benteng pertahanannya berkata dengan suara yang lantang juga :

لاَ يَنْزِلُ اِلَيْكَ مِنَّا اَحَدٌ وَ لٰكِنْ نُقِيْمُ فِى حِصْنِنَا فَاِنَّ فِيْهِ مِنَ الطَّعَامِ مَا يَكْفِيْنَا سِنِيْنَ، فَاِنْ اَقَمْتَ حَتَّى يَفْنَى هٰذَا الطَّعَامُ خَرَجْنَا اِلَيْكَ بِاَسْيَافِنَا جَمِيْعًا حَتَّى نَمُوْتَ عَنْ اٰخِرِنَا. نور اليقين: 211

Tidak akan ada seorang pun dari kami yang akan turun keluar dari benteng menemuimu, tetapi kami akan tetap bertahan di dalam benteng, karena di dalamnya telah tersedia cukup makanan untuk beberapa tahun. Jika kalian tetap mengepung, silakan mengepung. Dan jika persediaan kami telah habis, barulah kami akan keluar dari benteng dengan pedang dan akan melawan kalian sampai mati semua !. [Nuurul Yaqiin : 211]

Tentara Islam terus berusaha menggempur dan merebut benteng yang kokoh dan kuat itu, tetapi selalu menemui kegagalan. Kemudian Nabi SAW memerintahkan supaya menggunakan manjanik dan dabbaabah (alat pelempar jarak jauh yang berperisai untuk berlindung, semacam tank jaman sekarang).

Dari jarak jauh, dilemparkan peluru-peluru manjanik dengan tidak henti-hentinya, dan dengan alat perang tersebut pasukan muslimin bisa mendekati tembok benteng yang kokoh kuat itu, lalu berusaha masuk dengan cara melubangi sebagian benteng tersebut. Tetapi maksud itu belum juga berhasil, setiap kali mereka mendekat tembok, pasukan pengawal benteng melemparkan besi-besi yang telah dibakar dengan api ke arah pasukan muslimin. Akhirnya tentara muslimin mengundurkan diri.

Dan ketika tentara muslimin mengundurkan diri, mereka terus dihujani panah dari benteng, sehingga pasukan muslimin betul-betul menghadapi perlawanan yang berat. Sekalipun demikian semangat perang kaum muslimin tetap berkobar dan tetap berusaha mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan.

Berhubung dengan gagalnya usaha menyerang dan menyerbu benteng Thaif, maka Nabi SAW mengambil tindakan lain. Nabi SAW memerintahkan supaya pengepungan terhadap benteng Thaif dihentikan. Kemudian beliau memerintahkan kepada tentara muslimin supaya menebang dan memotong pohon-pohon kurma orang-orang Tsaqif dan membakarnya, demikian pula pohon-pohon anggur mereka, agar mereka mau keluar menyerang kaum muslimin. Perintah Nabi SAW ini lalu segera dilaksanakan, sehingga banyak kebun-kebun anggur dan pohon-pohon kurma kaum Tsaqif yang ditebang dan dibakar.

Karena kebun-kebun anggur dan kurma mereka itu sebagai sumber penghasilan penduduk Thaif, maka setelah banyak yang ditebang dan dibakar, barulah sebagian dari mereka mulai insyaf, bahwa jika permusuhan itu diterus-teruskan, tentu kebun-kebun yang menjadi sumber penghasilan mereka itu akan punah. Kemudian dari benteng ada yang menyerukan, “Atas nama Allah dan untuk menjaga persaudaraan, maka penebangan dan pembakaran kebun-kebun kurma dan kebun-kebun anggur itu supaya dihentikan”. Kemudian Nabi SAW memerintahkan kepada seorang penyeru supaya menyerukan, “Siapasaja yang mau meninggalkan benteng dan turun, maka ia aman”. Ada 20 orang turun dari benteng dan mendatangi pasukan Muslim. Di antara mereka ada yang dijuluki Abu Bakhra. Pekerjaannya memanjat dinding benteng Tha’if, lalu menjulurkan kerekan bundar untuk mengambil air minum. Maka ia dijuluki Abu Bakrah (tukang kerek). Beliau membebaskannya dan setiap orang di antara mereka diserahkan kepada seorang Muslim untuk diberi makan.

Sesudah lebih kurang 18 hari lamanya Nabi SAW dan tentaranya mengepung benteng Thaif tersebut, usaha untuk menggempur dan menyerbu benteng itu selalu gagal, padahal bulan Haram sudah hampir tiba, maka Nabi SAW berpendapat, bahwa untuk membuka dan menaklukkan kaum Tsaqif itu memang belum diijinkan oleh Allah SWT. Maka akhirnya Nabi SAW memerintahkan kepada ‘Umar bin Khaththab agar mengumumkan kepada segenap tentara muslimin untuk berkemas, bersiap meninggalkan Thaif. Pengumumam ini diprotes oleh sebagian tentara kaum muslimin, mereka berkata, “Apakah kita akan kembali, padahal kota Thaif belum ditaklukkan ?”.

Mendengar yang demikain itu Nabi SAW lalu bersabda, “Ya, baiklah kamu bersiap untuk berperang lagi”. Lalu mereka berperang lagi, menyerbu benteng yang begitu kuat, besar dan tinggi itu. Namun angkatan perang muslimin terus-menerus dihujani panah, hingga banyak yang terluka.

Kemudian Nabi SAW meminta pendapat kepada Naufal bin Muáwiyah Ad-Dailiy (seorang ‘Arab yang paham thabiat kaum Tsaqif), tentang cara yang sebaiknya, yakni “Tetap mengepungnya, atau meninggalkannya”. Lalu Naufal menyampaikan pendapatnya :

يَا رَسُوْلَ اللهِ ثَعْلَبٌ فِى جُحْرٍ، اِنْ اَقَمْتَ اَخَذْتَهُ وَ اِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَضُرَّكَ. نور اليقين: 211

"Ya Rasulullah, kaum banu Tsaqif itu seperti binatang tsa’lab (musang), di dalam lubangnya. Jika engkau menunggunya, berarti engkau menangkapnya. Dan jika engkau tinggalkan, mereka tidak akan membahayakan engkau". [Nuurul Yaqiin : 211]

Akhirnya Nabi SAW mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka dan memerintahkan kaum muslimin supaya meninggalkan Thaif. Maka perintah Nabi SAW yang kedua ini mereka thaati, mereka lalu bersiap meninggalkan Thaif dengan riang-gembira. Setelah Nabi SAW melihat keadaan tentaranya yang demikian itu, beliau lalu tersenyum.

Bukhari meriwayatkan sebagai berikut :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَمَّا حَاصَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص الطَّائِفَ فَلَمْ يَنَلْ مِنْهُمْ شَيْئًا. قَالَ: اِنَّا قَافِلُوْنَ اِنْ شَاءَ اللهُ، فَثَقُلَ عَلَيْهِمْ وَ قَالُوْا: نَذْهَبُ وَ لاَ نَفْتَحُهُ. وَ قَالَ مَرَّةً: نَقْفُلُ. فَقَالَ: اُغْدُوْا عَلَى اْلقِتَالِ، فَغَدَوْا فَاَصَابَهُمْ جِرَاحٌ. فَقَالَ: اِنَّا قَافِلُوْنَ غَدًا اِنْ شَاءَ اللهُ. فَاَعْجَبَهُمْ فَضَحِكَ النَّبِيُّ ص. البخارى 5: 102

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Ketika Rasulullah SAW mengepung Thaif, beliau tidak memperoleh sesuatupun dari mereka. Beliau bersabda, “Insya Allah kita akan pulang”. Lalu kaum muslimin merasa keberatan dan mereka berkata, “Kita akan pergi, padahal belum dapat menaklukkannya”. (Dan pada lain kali beliau bersabda, “Kita akan pulang”). Lalu beliau bersabda, “Kalau begitu berperanglah lagi besok pagi”. Maka pada pagi harinya mereka berperang lagi, namun mereka mendapat luka-luka. Beliau bersabda, “Insya Allah kita akan pulang besok pagi”. Maka hal itu menggembirakan mereka, lalu Nabi SAW tersenyum. [HR. Bukhari juz 5, hal. 102]

Sesudah itu, diantara tentara Islam ada yang mengemukakan kepada Nabi SAW, bahwa sudilah kiranya beliau mendoakan kepada kaum Tsaqif dan Thaif, kemudian beliau berdoa :

اَللّهُمَّ اهْدِ ثَقِيْفًا وَ ائْتِ بِهِمْ مُسْلِمِيْنَ. نور اليقين: 211

Ya Allah, tunjukilah kaum Tsaqif dan datangkanlah mereka itu sebagai orang-orang Islam. [Nuurul Yaqiin : 211]

Setelah memutuskan untuk mengakhiri pengepungan benteng Thaif, Rasûlullâh saw kembali ke Ji’ranah tempat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpan ghanimah (harta rampasan) perang Hunain sebelum berangkat mengepung Thaif. Setibanya di Ji’ranah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung membagi harta rampasan perang tersebut kepada para Shahabat yang ikut dalam perang Hunain kecuali perak yang jumlahnya tidak tidak terlalu banyak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja menunda pembagian ghanimah ini beberapa hari, dengan harapan akan ada utusan dari kabilah Hawazin yang datang untuk menyatakan taubat dan menerima Islam. Namun ternyata tidak ada yang datang.

Akhirnya ghanîmah dibagikan kepada kaum muhajirin dan para tawanan yang dibebaskan, sementara kaum Anshar tidak mendapatkan bagian sedikitpun. Pembagian ghanimah seperti ini memantik kemarahan sebagian kaum Anshar sehingga terucap kalimat yang tidak selayaknya diarahkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ketika berita tentang kaum Anshar dan ucapan sebagian mereka terdengar oleh Rasûlullâh saw, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan mereka dan bersabda kepada mereka: "Wahai kaum Anshar! Pembicaraan apa ini yang sampai kepadaku dari kalian?! Kaum Anshar terdiam (tidak mampu menjawab). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya, “Wahai kaum Anshar! Apakah kalian tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa dunia sementara kalian pulang membawa serta nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah-rumah kalian?” Mereka menjawab, “Tentu kami rela, wahai Rasûlullâh!”, Kemudian “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia menempuh satu lembah sementara kaum Anshar menempuh syi’b (jalan atau celah diantara dua pegunungan), maka pasti saya akan mengikuti jalan yang ditempuh kaum Anshar.”

Dalam riwayat lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apakah kalian tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa kambing dan unta sementara kalian pergi dengan membawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah kalian?, kaum Anshar itu ibarat pakaian yang menempel di badan sementara orang-orang itu ibarat selimut. Seandainya bukan karena hijrah, tentu termasuk kaum Anshar".

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kaum Anshar secara khusus tentang latar belakang kebijaksanaan pembagian ghanîmah kala itu: "Sesungguhnya aku memberikan ghanimah kepada kaum (orang-orang) yang saya khawatirkan hati mereka akan gelisah dan resah serta tidak memberikan sesuatu kepada orang-orang yang Allâh anugerahi kebaikan dan perasaan berkecukupan di hati mereka, Sesungguhnya aku memberikannya kepada orang-orang yang baru meninggalkan kekufuran".

Begitulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan pembagian harta ghanîmah perang Hunain yang tidak seperti biasanya. Penjelasan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menyentuh perasaan kaum Anshar, sehingga membuat mereka menangis dan air mata mereka sampai membasahi jenggot mereka. Dan kaum Anshar pun mengatakan, "Kami Kami rela Rasulullah  menjadi bagian kami.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ghanimah kepada mereka yang baru masuk Islam untuk semakin mengokohkan iman mereka dan memupus rasa benci yang selama ini terpendam. Terbukti, setelah pemberian ini, keimanan mereka menjadi semakin kuat dan siap berlaga di medan jihad, kecuali sebagian kecil saja yang tidak berubah. Salah seorang diantara yang mendapatkan bagian itu yaitu Shafwan bin Umayyah menceritakan, “Demi Allah! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bagian kepadaku padahal Beliau saw adalah orang yang paling saya benci. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus memberi sampai akhirnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi orang yang paling aku cinta.

Kaum Anshar memahami maksud pembagian yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mendapatkan penjelasan langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun orang-orang Arab badui (pedalaman) yang tidak memahami dan tidak terima dengan sistem pembagian itu.

Salah seorang diantara mereka  mengatakan kepada Rasûlullâh saw, “Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah n bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil", Mendengar kelancangan orang itu, Umar mendatangi Nabi saw dan meminta diijinkan untuk membunuh orang tersebut karena ditengarai sebagai orang munafiq oleh Umar bin Khattab. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyetujui keinginan Umar bin Khattab Radhiyalahu anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umarل, "Aku berlindung kepada Allah (dari) perkataan sebagai orang yang mengatakan bahwa aku telah membunuh para shahabatku". Orang-orang arab badui ini yang terus berebut dan berdesakan saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi ghanîmah, namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sabar menghadapi mereka.

Setelah pembagian harta ghanîmah ini selesai dibagikan kepada orang-orang yang dipandang berhak menerimanya, utusan dari kabilah Hawazin datang menghadap Rasûlullâh menyatakan taubatnya dan menyatakan diri masuk Islam serta meminta agar harta dan para tawanan perang dikembalikan ke mereka. Mereka meminta ini karena harta itu adalah harta mereka yang berpindah tangan ke kaum Muslimin setelah mereka takluk dalam peperangan, sementara para tawanan itu adalah keluarga-keluarga mereka. Mendengar permintaan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pilihan kepada mereka antara meminta harta atau tawanan perang. Mereka lebih memilih tawanan di kembalikan kepada mereka. Akhirnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para shahabatnya untuk memusyawarahkan masalah ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para Shahabatnya untuk mengembalikan para tawanan yang menjadi bagian mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua pilihan kepada para shahabatnya, mengembalikan para tawanan itu dengan sukarela tanpa meminta ganti dari Rasûlullâh atau mengembalikan sembari meminta ganti kepada Rasûlullâh dari ghanîmah yang lain. Semua para Shahabat mengembalikan para tawanan perang yang menjadi bagian mereka kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikembalikan kepada keluarga mereka dari kabilah Hawazin, kecuali dua orang yang mengembalikan namun meninta ganti.

Menurut riwayat bahwa tentara Islam yang syahid dalam perang Thaif ini ada dua belas orang : 1. Said bin Said, 2. Urfuthah bin Jannab, 3. ‘Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (dia terkena panah dalam perang Thaif, namun meninggal pada masa Khalifah Abu Bakar), 4. ‘Abdullah bin Abu Umayyah, 5. ‘Abdullah bin ‘Amir, 6. Saib bin Harits dan 7. ‘Abdullah bin Harits, mereka ini dari kaum Quraisy. Lalu 8. Tsabit bin Al-Jadza’i, 9. Harits bin Sahal, 10. Mundzir bin ‘Abdullah dan 11. Ruqaim bin Tsabit, mereka ini dari kaum Anshar. Dan seorang lagi : 12. Juhailah bin ‘Abdullah dari banu Sa’ad bin Laits. [Ibnu Hisyam juz 5, hal.

Dalam pengepungan ini diketahui bahwa Abu Sufyan, yang bertempur di pihak muslim, kehilangan salah satu matanya. Ketika Muhammad bertanya kepadanya "Yang manakah yang engkau lebih inginkan, sebuah mata di surga, atau aku berdoa kepada Allah agar matamu dikembalikan sekarang?" Abu Sufyan menjawab ia lebih memilih sebuah mata di surga.