Perang Hunain

Dengan perasaan gembira karena kemenangan yang telah diberikan Allah, kaum Muslimin masih tinggal di Makkah setelah kota itu dibebaskan. Mereka sangat gembira karena kemenangan besar ini tidak banyak meminta korban.

Setiap terdengar suara Bilal mengumandangkan azan shalat, mereka segera beranjak ke Masjid Suci. Berebut-rebutan di sekitar Rasulullah, di mana saja beliau berada dan ke mana saja beliau pergi.

Kaum Muhajirin pun sekarang dapat pulang, dapat berhubungan dengan keluarga mereka, yang kini telah mendapat petunjuk Ilahi. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan Islam sudah mulai stabil, dan sebagian besar perjuangan sudah membawa kemenangan.

Namun 15 hari kemudian, setelah mereka tinggal di Makkah, tiba-tiba tersiar berita yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah Kabilah Hawazin yang tinggal di pegunungan tidak jauh di sebelah timur laut Makkah—setelah melihat kemenangan Muslimin yang telah membebaskan Makkah dan menghancurkan berhala-berhala—khawatir akan mendapat giliran diserang pihak Muslimin.

Oleh sebab itu, Malik bin Auf dari Bani Nashr berusaha mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Tsaqif, demikian juga kabilah-kabilah Nashr dan Jusyam. Dari pihak Hawazin semuanya ikut, kecuali Ka'ab dan Kilab. Suku Hawazin dan para sekutunya dari suku Tsaqif sudah menyiapkan pasukan mereka ketika mengetahui bahwa Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam dan tentaranya berangkat dari Madinah menuju Mekah, yang ketika itu masih dikuasai kaum kafir Quraisy. Persekutuan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif berniat akan menyerang pasukan Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam ketika sedang mengepung Mekkah. Namun, penaklukan Mekkah berjalan cepat dan damai.

Ketika Malik bin 'Auf berencana memerangi Rasulullah saw, ia membawa serta harta benda, istri dan anak-anaknya supaya mendorong laki-laki dalam membela mereka. Saat tiba di lembah Authas – tanah yang sulit dan datar serta medan yang tepat untuk parade kuda – Duraid bin ash-Shimmah, laki-laki lanjut usia dari suku Jusyam yang ahli strategi dan ahli perang mengatakan, jika perang ini merupakan sumber kemuliaan, para jawara Ka'ab dan Kilab akan ikut berpartisipasi. Karenanya ia menganjurkan Malik bin 'Auf supaya pergi berperang bersama para lelaki saja, dimana jika menang maka yang lainnya juga akan ikut bergabung dengannya dan jika kalah, maka tidak akan menciderai para wanita dan anak-anak; namun Malik bin 'Auf karena kecongkakannya tidak mempedulikan ucapannya dan menghinanya. Di lembah Authas, banyak sekali bala bantuan dari segala penjuru kepada mereka.

Saat Rasulullah saw mendengar berita tersebut, lantas beliau mengutus Abdullah bin Abi Hadrad al-Aslami supaya pergi secara diam-diam ke tengah-tengah mereka dan mencari informasi. Ia pun kemudian membawa berita kepada Rasulullah sawnbahwa kaum musyrik juga ikut bergabung untuk memerangi kaum muslim. Tak lama berselang, ada seorang penunggang kuda menghampiri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Aku habis melewati bukit ini dan itu, dan tiba-tiba kudapati Bani Hawazin mengerahkan seluruh personel mereka termasuk anak-anak, kaum wanita, dan ternak mereka, lalu berkumpul di Hunain,”  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengar berita tersebut, dan menimpali, “Itulah ghanimah kaum Muslimin besok, insya Allâh Azza wa Jalla.”

Malik segera menyusun strategi memerintahkan mereka agar berangkat ke puncak gunung dan ke Lembah Hunain. Jika kaum Muslimin melewati lembah sempit itu, maka mereka harus menyerang, sehingga dengan serangan satu orang saja barisan kaum Muslimin akan lemah, kocar-kacir, dan saling menghantam satu sama lain. Dengan demikian mereka akan hancur, dan pengaruh kemenangan mereka ketika membebaskan Makkah sudah tak berarti lagi. Yang ada hanyalah kemenangan kabilah-kabilah Hunain itu saja di seluruh jazirah Arab.

Diriwayatkan, pasukan musuh yang dipimpin oleh Malik bin ‘Auf jumlahnya dua kali lipat atau lebih dari jumlah pasukan Islam. Ia juga melakukan serangkaian persiapan baik mental maupun material guna menaikkan semangat tempur pasukannya. Salah satunya ialah dengan berpidato dan mengatakan: “Muhammad belum pernah menghadapi pertempuran yang sesungguhnya sebelum kali ini. Selama ini ia hanya menghadapi orang-orang yang tak berpengalaman sehingga menang melawan mereka”.

Malik bin Auf mengerahkan kaum wanita dan anak-anak plus harta yang dimiliki kaumnya, lalu menempatkan itu semua di bagian belakang pasukan. Tujuannya, agar mereka mendorong para lelaki untuk berperang mati-matian melawan musuhnya, ia memerintahkan agar semua pedang dihunus dan sarungnya dipatahkan. Ini merupakan kebiasaan orang Arab sebelum perang, yang menandakan bahwa mereka akan bertahan sampai titik darah penghabisan dalam melawan musuh, sampai mereka menang atau mati, ia juga melakukan perang urat syaraf terhadap kaum Muslimin untuk menjatuhkan nyali mereka. Yaitu dengan menempatkan puluhan ribu ekor unta di bagian belakang pasukan, lalu memerintahkan kaum wanita untuk menaikinya sehingga dari kejauhan menunjukkan fenomena lautan manusia yang siap bertempur, Malik juga sudah mempelajari seluk-beluk medan perang dengan sangat baik, dan lebih dahulu mencapai lokasi sebelum kedatangan kaum muslimin. Lalu menyebar pasukan di berbagai sudut, celah, dan jalan masuk ke lokasi, memerintahkan mereka untuk menghujani kaum Muslimin dengan panah begitu mereka tiba di lokasi. Ia juga memerintahkan agar serangan dilakukan secara serempak.

Pihak Muslimin sendiri (setelah dua pekan tinggal di Makkah) segera melakukan persiapan senjata dan tenaga yang belum pernah mereka alami sebelum itu. Rasulullah SAW memimpin mereka bergerak dalam jumlah 12.000 orang. Mereka mengenakan pakaian berlapis besi yang didahului oleh pasukan berkuda dan unta yang membawa perlengkapan dan bahan makanan, saat Rasulullah saw memutuskan untuk memerangi suku Hawazin, beliau mengutus seseorang menemui Shafwan bin Umayyah (salah seorang pemimpin Quraisy yang masih musyrik) dan memintanya supaya meminjamkan 100 baju besi dan senjata-senjatanya kepada beliau dan kaum muslim. Shafwan menerimanya dan memberikan seratus baju besi. Usai peperangan, ternyata ada sebagian baju besi yang hilang, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada Shafwan untuk membayar gantinya, namun Shafwan menolak dan akhirnya ia masuk Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meminjam 30 ekor unta dan 30 buah baju besi dari Ya’la bin Um

Rasulullah saw bersama sepuluh ribu pasukannya yang ikut serta dalam Fathu Mekah dan dua ribu orang orang Mekah yang baru memeluk Islam keluar dari Mekah untuk memerangi suku Hawazin. Hal ini terjadi sekitar dua minggu setelah penaklukan Mekkah, atau empat minggu setelah Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan Madinah, atau empat minggu setelah Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan Madinah. Sebagian masyarakat Mekah hanya ingin melihat kemenangan diraih oleh pihak mana, guna mendapatkan rampasan perang dan bahkan sebagian mereka tidak menginginkan Rasulullah saw dan kaum muslim mengalami kekalahan dalam perang tersebut. Rasulullah saw, kaum muslim dan laki-laki Quraisy yang sebagian dari mereka masih musyrik, tiba di Hunain menjelang malam hari Selasa, tanggal 10 Syawal.

Keberangkatan Muslimin dengan pasukan sedemikian besar ini, belum pernah dikenal di seluruh jazirah. Setiap kabilah didahului oleh panjinya masing-masing, tampil ke depan dengan hati bangga karena jumlah yang begitu besar, yang takkan terkalahkan. Sampai-sampai mereka berkata satu sama lain, "Karena jumlah kita yang besar ini, sekarang kita takkan dapat dikalahkan."

Menjelang sore hari, tanggal 10 Syawwal tahun 8 H, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pasukannya tiba di lembah Hunain. Selama di perjalanan, mereka sempat melihat sebatang pohon bidara besar yang terkenal dengan nama Dzatu Anwâth. Kaum musyrikin konon sengaja mencari berkah di pohon tersebut dengan menggantungkan senjata-senjata mereka pada rantingnya. Bahkan ada yang menyembelih korban dan bersemedi di sekitarnya. Ketika sebagian dari pasukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baru masuk Islam menyaksikan pohon bidara berikutnya, mereka berteriak-teriak, “Wahai Rasûlullâh, buatkan untuk kami Dzatu Anwâth seperti milik mereka!” Mendengar permintaan jahil seperti itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sontak bertasbih dan berseru, “Ucapan kalian –demi Allâh Azza wa Jalla – sangat mirip dengan ucapan Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkan sesembahan untuk kami seperti sesembahan mereka,’  kalian pasti akan mengikuti ajaran orang-orang sebelum kalian", dan orang orang yang masih terpengaruh dengan ajaran jahiliyah itu pun terdiam.

Melihat jumlah pasukan kaum Muslimin yang banyak saat itu, ada seseorang yang berkomentar, “Kita tidak akan kalah hari ini karena kekurangan pasukan”. Memang, 12 ribu personel merupakan jumlah yang spektakuler dan belum pernah ada dalam perang-perang sebelumnya. Di pintu-pintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana sampai fajar keesokan  harinya. Ketika itulah pasukan mulai bergerak lagi. Rasulullah mengikuti dari belakang dengan menunggang bagalnya yang putih. Sementara Khalid bin Walid yang memimpin Bani Sulaim berada di depan.

Rasûlullâh saw sadar dengan kenyataan tersebut, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla selepas shalat Shubuh dengan bibir berdoa:

اللَّهُمَّ بِكَ أُحَاوِلُ، وَبِكَ أُصَاوِلُ، وَبِكَ أُقَاتِلُ

Ya Allâh Azza wa Jalla , dengan (kekuatan)-Mu aku berjuang, dengan (kekuasaan)-Mu aku melawan, dan dengan (pertolongan)-Mu aku berperang. Sahabat Suhaib ar-Rûmi Radhiyallahu anhu yang menyaksikan “fenomena langka” tersebut berkata, “Wahai Rasûlullâh, baru saja kami melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah kau lakukan sebelumnya. Apakah gerangan yang kau baca?” Jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Sesungguhnya ada seorang nabi dari umat sebelum kalian yang merasa kagum dengan banyaknya jumlah umatnya. Nabi tadi sempat berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang dapat melawan mereka,’ maka Allâh mewahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya kebaikan umatmu terletak pada salah satu dari tiga hal, yaitu  ketika Kami menguasakan mereka kepada musuh dari selain mereka, lalu musuh tersebut membantai mereka, atau Kami jadikan mereka kelaparan,  atau Kami utus kematian kepada mereka.’ Setelah mendapat wahyu tersebut, sang nabi bermusyawarah dengan kaumnya, lalu kata mereka, ‘Kalau menghadapi musuh, maka kita tidak punya kekuatan. Sedangkan menghadapi kelaparan kita pun tak cukup sabar. Jadi, biarlah kita mati saja.’ Akhirnya Allâh mengirim kematian yang menewaskan 70 ribu orang dari mereka dalam tiga hari. Itulah sebabnya mengapa aku mengucapkan doa tersebut hari ini,” lanjut Rasûlullâh saw.

Saat pasukan muslim bergerak menuju daerah Hawazin, pemimpin kaum Badui Malik bin Auf al-Nasri menyergap mereka di lembah sempit yang bernama Hunain. Kaum Badui menyerang dari ketinggian, menggunakan batu dan panah, mengejutkan kaum Muslimin dan menyulitkan organisasi serangan kaum Muslimin. Pasukan Muslim mulai mundur dalam kekacauan, dan tampaknya akan menderita kekalahan. Pemimpin Quraisy Abu Sufyan yang ketika itu baru masuk Islam, mengejek dan berkata "Kaum Muslimin akan lari hingga ke pantai".

Dalam keremangan subuh itu mereka dihujani panah oleh pihak Malik. Ketika itulah keadaan Muslimin jadi kacau-balau. Dalam keadaan terpukul demikian, mereka berbalik surut dengan ketakutan dan kegentaran dalam hati. Bahkan ada pula yang lari tunggang-langgang.

Sementara Rasulullah saw tetap tabah tiada bergerak di tempatnya. Beberapa orang dari kalangan Muhajirin, Anshar serta kerabat-kerabatnya tetap berada di sekelilingnya. Beliau memanggil orang-orang yang melarikan diri itu, "Hai orang-orang, kalian mau ke mana? Mau ke mana?"

Namun orang-orang yang penuh ketakutan itu sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Yang tergambar di benak mereka hanya Hawazin dan Tsaqif  yang kini sedang meluncur turun dari perkubuan di puncak-puncak gunung. Pihak Hawazin turun dari tempat semula, didahului oleh seseorang di atas seekor unta berwarna merah, dan membawa sebuah bendera hitam yang dipancangkan pada sebilah tombak  panjang. Setiap ia bertemu dengan pihak Muslimin ditetakkannya tombak itu kepada mereka,  sementara pihak Hawazin, Tsaqif dan sekutu-sekutunya terus meluncur turun dari belakang sambil terus menghantam pasukan muslim.

Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyisihkan dirinya bersama sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar ke arah kanan sambil berseru, “Wahai pasukan, kemarilah. Aku Rasûlullâh ! Aku Muhammad bin Abdillah!” Menurut riwayat saat itu yang bersama Nabi saw sekitar 80 orang. Di antara yang tetap bersama beliau adalah: Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdil-Muththalib dan al- Fadhl puteranya, Abu Sufyan ibnul-Harits dan Ja’far puteranya, Rabi’ah ibnul-Harits, Usamah bin Zaid, dan Aiman bin ‘Ubaid.

Ketika itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan keberaniannya dengan segera memacu bighal-nya ke depan seraya berseru, “Aku Adalah Nabi yang tidak berdusta, akulah putera Abdul-Muththalib!”, Semangat baru timbul dalam hati Rasulullah. Dengan bagalnya yang putih itu beliau ingin menerjang sendiri ke tengah-tengah musuh yang sedang meluap-luap seperti banjir itu. Akan tetapi Abu Sufyan bin Harits menahan kekang bagal dan dimintanya jangan maju dulu.

Pada saat kritis ini, sepupu Nabi yakni Ali bin Abi Thalib dibantu pamannya Abbas mengumpulkan kembali pasukan yang melarikan diri, dan organisasi kaum Muslimin mulai terbentuk kembali. Hal ini juga dibantu dengan sempitnya medan pertempuran, yang menguntungkan kaum Muslimin sebagai pihak bertahan. Pada saat ini, seorang pembawa bendera dari kaum Badui menantang pertarungan satu-lawan-satu. Ali menerima tantangan ini dan berhasil mengalahkannya.

Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ‘Abbas bin Abdil-Muththalib yang bersuara lantang agar memanggil para sahabat yang berbaiat di bawah pohon (ahli Hudaibiyah). ‘Abbas pun berseru sekuat tenaga: (أين أصحاب السمرة !؟) “Dimanakah mereka yang berbaiat di bawah pohon Samurah?” Mendengar seruan itu, mereka seakan tergerak seperti induk sapi yang mendengar teriakan anaknya. Mereka sontak menjawab: “Yaa Labbaika… yaa labbaika!” “Lawanlah orang-orang kafir itu!” seru ‘Abbas.

Demikian pula dengan kaum Anshar yang juga dipanggil agar kembali: “Yaa aa’syaral-Anshaar!”, wahai sekalian kaum Anshar. Lalu ‘Abbas mengkhususkan panggilan tersebut kepada Bani Harits ibnul-Khazraj dari suku Anshar. Seruan itu diulang-ulang oleh Abbas, sehingga suaranya bergema ke segenap penjuru wadi. Di sinilah adanya mukjizat itu: Orang-orang Aqabah mendengar nama Aqabah, teringat oleh mereka akan Rasulullah, teringat akan janji dan kehormatan diri mereka. Demikian juga dengan orang-orang Muhajirin dan Anshar.

Mereka-semua kini kembali, dan bertempur lagi secara heroik. Pihak Hawazin yang sudah menyusur turun dari tempatnya semula, kini berhadapan dengan Muslimin dalam lembah itu. Sinar mentari mulai tampak dan remang pagi dengan sendirinya menghilang. Di samping Rasulullah kini telah berkumpul beberapa ratus orang yang siap berhadapan dengan kabilah-kabilah itu. Perasaan lega mulai terasa oleh Rasulullah tatkala dilihatnya mereka kini kembali lagi.

Menyaksikan berkobarnya pertempuran yang semakin sengit dan melihat moril kaum Muslimin makin tinggi dalam memukul  lawan, Rasulullah bersabda, "Sekarang pertempuran benar-benar berkobar. Allah tidak menyalahi janji kepada Rasul-Nya."

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memungut beberapa butir kerikil, lalu melemparkannya ke arah orang-orang kafir sembari berkata, “Kalahlah kalian, demi Rabb-nya Muhammad”. Tak lama setelah beliau melemparkan kerikil-kerikil tadi, nampaklah satu persatu dari pasukan musuh mulai kecapaian dan kalah.

Rasûlullâh saw mengambil segenggam tanah lalu melemparkannya ke wajah kaum musyrikin sembari berseru:  شَاهَتِ الوُجُوْهُ (wajah-wajah yang buruk), maka tidak tersisa seorang pun dari mereka saat itu melainkan kedua matanya kemasukan tanah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :  انْهَزِمُوْا وَرَبِّ مُحَمَّدٍ (kalahlah kalian, demi Rabb-nya Muhammad), maka mereka pun lari mulai berlarian hingga terpukul mundur.

Salah seorang pasukan Hawazin sempat mengisahkan, bahwa ketika mereka hendak mencapai Rasûlullâh, tiba-tiba ada sejumlah pria berwajah tampan mencegah menghalangi mereka sembari berseru: “Wajah-wajah yang buruk, mundurlah kalian!” Sehingga mereka pun kalah setelah mendengar ucapan tersebut.

Akhirnya kaum Muslimin berhasil memukul mundur dan mengalahkan musuh-musuh Allah. Dengan demikian nyatalah sudah kemenangan orang-orang beriman itu dan nyata pula kehancuran orang-orang musyrik. Kemenangan Muslimin yang sangat menentukan itu ialah karena ketabahan Rasulullah dan sejumlah kecil orang-orang di sekelilingnya, dalam hal inilah turun firman Allah:

"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai."
"Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir, Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS At-Taubah: 25-28)

Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam lalu memerintahkan serangan umum, dan kaum Badui mulai melarikan diri dalam dua kelompok. Kelompok pertama nantinya akan kembali berperang melawan kaum Muslim dalam pertempuran Autas, dan sisanya mengungsi ke Thaif.

Setelah itu, ada sejumlah pasukan musuh yang lari ke daerah Authas, yaitu sebuah lembah di perkampungan Bani Hawazin. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan di bawah komando Abu Amir al-Asy’ari Radhiyallahu anhu untuk memerangi mereka. Hingga Abu Amir Radhiyallahu anhu menemui syahid dan komando diambil alih oleh Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu . Dan melalui komando perang ini Allâh mengalahkan mereka. Abu Amir Radhiyallahu anhu sempat berpesan kepada Abu Musa Radhiyallahu anhu agar menyampaikan salamnya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampun untuknya. Abu Musa Radhiyallahu anhu lantas menyampaikan pesan tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi Abu Amir.

Al-Bazzar meriwayatkan, ketika kaum musyrikin terpukul mundur, Duraid ibnush-Shimmah bersama 600 orang pasukannya lari berlindung ke sebuah benteng kecil. Mereka lantas melihat satu batalyon kaum Muslimin, maka Duraid berkata, “Biarkan aku melihatnya,” dan setelah melihatnya, Duraid berkata, “Ini adalah Bani Quzha’ah, kalian tidak perlu takut”. Lalu lewat batalyon berikutnya, dan Duraid berkata, “Ini adalah Bani Sulaim,” kemudian mereka melihat ada seorang penunggang kuda yang datang sendirian dengan mengenakan surban hitam. Duraid pun berkata, “Ini adalah Zubair bin Awwam, dan ia akan melawan kalian dan mengeluarkan kalian dari tempat kalian”. Zubair Radhiyallahu anhu lantas menoleh ke arah mereka sembari berseru, “Ada apa mereka berkumpul di situ?” Zubair Radhiyallahu anhu lantas menghampiri mereka dan ia dikejar oleh sejumlah pasukan. Zubair Radhiyallahu anhu kemudian berhasil menewaskan 300 orang dari mereka termasuk Duraid ibnush-Shimmah.

Selain Zubair bin Awwam Radhiyallahu anhu, jagoan kaum Muslimin lainnya pada hari itu adalah Abu Thalhah al-Anshari Radhiyallahu anhu yang berhasil menewaskan 20 orang musyrikin dan merampas harta mereka seluruhnya. Karena memang pada saat itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan setiap Muslim yang membunuh musuhnya untuk mengambil semua harta musuhnya secara langsung. Demikian pula Abu Amir al-Asy’ari Radhiyallahu anhu yang sebelum syahid juga berhasil membunuh sembilan bersaudara dari kaum musyrikin. Sedangkan Abu Musa, berhasil membunuh dua bersaudara dari Bani Jusyam bin Mu’awiyah.

Kemenangan pada perang Hunain ini tidak diperoleh dengan harga murah oleh kaum Muslimin. Mereka membayar kemenangan itu dengan harga yang mahal, dengan jiwa orang-orang penting, dengan pahlawan-pahlawan yang gugur dalam pertempuran, bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Khalid bin Walid mendapat luka serangan anak panah pada tubuhnya, pasukan muslim berhasil menangkap keluarga dan harta benda dari suku Hawazin, yang dibawa oleh Malik bin Auf ke medan pertempuran. Dalam perang ini, kaum muslim menawan enam ribu wanita dan anak-anak kaum musyrik, dan mendapatkan rampasan perang 24 ribu ekor onta, lebih dari empat puluh ribu kambing dan empat ribu ons perak.

Referensi yang ada berselisih tentang jumlah orang yang tetap komitmen di samping Rasulullah saw. Sebagian riwayat hanya menuturkan empat orang saja: Ali, Abbas bin Abdul Mutthalib dan Abu Sufyan bin Haris bin Abdul Mutthalib dari Bani Hasyim dan Ibnu Mas'ud. Menurut riwayat lain, hanya sepuluh atau sembilan orang dari Bani Hasyim bersama Rasulullah saw, termasuk 3 orang yang sudah disebutkan di atas dan ditambah satu orang dari selain Bani Hasyim, yakni Aiman bin Ummu Aiman.

Sejarawan menulis jumlah orang-orang yang melarikan diri dari perang adalah seratus sampai tiga ratus orang, Sebagian masyarakat Mekah Thulaqa yang kabur seperti Abu Sufyan bin Harb dan Kaladah bin al-Hanbal menampakkan kebenciannya terhadap Islam dan kaum muslim dan bahkan Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah yang ayahnya tewas dalam Perang Uhud berusaha mengincar nyawa Rasulullah namun gagal.

Saat kaum musyrik kabur, tujuh puluh orang Bani Malik dari suku Tsaqif tewas. Dalam sebagian riwayat ditulis jumlah orang yang tewas dari suku Hawazin sejumlah orang Quraisy yang tewas dalam Perang Badar, yakni tujuh puluh orang, namun Ma'sudi menulis sekitar 150 orang.

Pertempuran ini mendemonstrasikan keahlian Ali bin Abi Thalib dalam mengorganisir pasukan dalam keadaan terjepit. Pertempuran ini juga menunjukkan kemurahan hati kaum Muslimin, yang memperlakukan tawanan dengan baik dan membebaskan 600 diantaranya secara cuma-cuma. Sisa tawanan ditahan dalam rumah-rumah khusus hingga berakhirnya Pengepungan Thaif.