Penyergapan

Penyergapan kafilah adalah serangkaian serangan penyergapan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat Nabi terhadap kafilah milik orang-orang Quraisy. Serangan ini pada umumnya bersifat ofensif, dan dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi dan merampas barang dagangan milik orang-orang Quraisy. Perampasan semacam itu dianggap sebagai tindakan yang benar oleh Muslim, karena ketika mereka melakukan hijrah dari Mekkah, harta benda mereka banyak yang dirampas oleh orang Quraisy Mekkah. Muslim menyatakan bahwa serangan itu dibenarkan dan bahwa Allah memberi mereka izin untuk mempertahankan diri dan membalas penganiayaan umat Islam di Mekkah.

Para pengikut Nabi Muhammad mulai mengalami kemiskinan setelah melarikan diri dari penganiayaan di Mekkah dan berhijrah ke Madinah. Kaum Muslim meninggalkan Mekkah dengan meninggalkan harta benda dan kekayaan mereka di sana, dan setelah mereka pergi, harta benda kaum Muslim dirampas oleh orang-orang Mekkah. Sejak bulan Januari tahun 623, beberapa orang Muslim berusaha menyerang kafilah Mekkah yang melakukan perjalanan sepanjang pantai timur Laut Merah dari Mekkah ke Suriah.

Kehidupan berkelompok sangat penting untuk kelangsungan hidup di daerah gurun, karena orang-orang saling membutuhkan satu sama lain dalam mempertahankan hidup dari lingkungan dan kondisi yang keras. Dengan demikian, pengelompokan dalam suku didorong oleh kebutuhan untuk bertindak sebagai sebuah kesatuan. Persatuan itu didasarkan pada kekerabatan hubungan darah. Orang-orang Arab hidup nomaden atau menetap.Hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain guna mencari air dan padang rumput untuk hewan ternak mereka, sementara yang menetap hidup dengan melakukan perdagangan dan pertanian. Keberlangsungan kehidupan nomaden (atau badui) sebagian penduduk juga tergantung pada perampasan kafilah-kafilah dan oasis, sehingga mereka tidak melihat ini sebagai sebuah kejahatan.

Berdasarkan Ar-Rahiq Al-Makhtum ("khamar yang dilak"), sebuah hagiografi Muhammad yang ditulis oleh penulis Muslim asal India, Shafi ar-Rahman Mubarakfuri, Muhammad memerintahkan penyerbuan kafilah pertama yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul-Muththalib, salah seorang paman Muhammad, antara tujuh sampai sembilan bulan setelah Hijrah. Sekitar tiga puluh sampai empat puluh orang berkumpul di daerah pesisir dekat al-Is, antara Mekkah dan Madinah, di sana Abu Jahal (Amr bin Hisyam), pemimpin kafilah itu berkemah dengan tiga ratus penunggang unta dan kuda Mekkah.

Hamzah bertemu Abu Jahal di sana, dengan maksud untuk menyerang kafilah itu, tetapi Majdi bin Amr al-Juhani, seorang Quraisy yang bersahabat dengan kedua belah pihak, ikut campur tangan di antara mereka, sehingga kedua belah pihak berpisah tanpa melakukan pertempuran. Hamzah kembali ke Madinah dan Abu Jahal melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Muhammad juga mempercayakan bendera pertama Islam kepada Kannaz bin al-Hushain al-Ghanawi.

Ubaidah bin Harits memimpin serangan kedua. Serangan ini dilakukan sembilan bulan setelah hijrah, beberapa minggu setelah serangan yang pertama di al-Is. Sekitar satu bulan setelah kegagalan penjarahan pertama yang dilakukan oleh Hamzah, Muhammad mempercayakan enam puluh Muhajirin yang dipimpin oleh Ubaidah untuk melakukan serangan lain terhadap kafilah Quraisy yang baru kembali dari Suriah. Kafilah itu dilindungi oleh dua ratus orang bersenjata. Pemimpin kafilah ini adalah Abu Sufyan bin Harb.

Para Muslim bergerak menuju Thanyatul-Murra, sebuah tempat minum di Hijaz. Tidak ada pertempuran yang terjadi, karena kaum Quraisy berada cukup jauh dari tempat para penyerang berada, sehingga tidak memungkinkan melakukan penyergapan. Namun Sa'ad bin Abi Waqqas sempat menembakkan panah ke arah kaum Quraisy. Panah ini kemudian dikenal sebagai panah Islam pertama.[21] Meskipun demikian, tidak ada pertempuran yang terjadi, dan orang-orang Muslim kembali dengan tangan kosong. Diyakini bahwa Ubaidah adalah orang pertama yang membawa panji Islam, yang lainnya mengatakan Hamzah sebagai yang pertama.[19]

Kejadian ini sebagian disebutkan dalam kumpulan hadits Shahih Bukhari:[18]

“Aku mendengar Sa'd berkata, "Akulah yang pertama di antara orang Arab yang menembakkan panah karena Allah. Kami biasa bertempur bersama sang Nabi". Shahih Bukhari, 5:57:74

Sa'ad bin Abi Waqqas diperintahkan untuk memimpin serangan ketiga. Pasukannya terdiri dari sekitar dua puluh Muhajirin. Serangan ini dilakukan sekitar satu bulan setelah serangan sebelumnya. Sa'ad, bersama pasukannya, menunggu di lembah Kharrar di jalur menuju ke Mekkah, dan menunggu untuk menyerang kafilah Mekkah yang kembali dari Suriah. Tapi kafilahnya ternyata sudah lewat dan kaum Muslim terpaksa kembali ke Madinah tanpa melakukan pertempuran.

Serangan keempat yang dikenal sebagai Perang Waddan, adalah serangan pertama yang mana Rasulullah saw ikut ambil bagian secara langsung. Dikatakan bahwa dua belas bulan setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sendiri memimpin penyerbuan kafilah ke Waddan (Abwa). Tujuannya adalah untuk mencegat kafilah milik orang Quraisy dan Bani Dzamrah. Para penyerang tidak berhasil mendapatkan posisi dari kafilah-kafilah Quraisy sehingga kafilah Quraisy lagi-lagi berhasil lolos.

Meski gagal menyerang kafilah Quraisy, namun kaum Muslim berhasil mencegat kafilah-kafilah milik Bani Dzamrah. Kedua belah pihak melakukan negosiasi dan akhirnya kedua pemimpin menandatangani perjanjian untuk tidak saling menyerang. Bani Dzamrah berjanji untuk tidak menyerang para Muslim atau bersekutu dengan kaum Quraisy, dan Muhammad berjanji untuk tidak menyerang kafilah-kafilah Bani Dzamrah atau merampas barang-barang mereka.

Pada serangan yang kelima, Rasulullah saw kembali menjadi komandannya.Sebulan setelah serangan di al-Abwa, ia secara langsung memimpin dua ratus orang Muhajirin dan Anshar menuju Buwat, sebuah jalur yang dilewati oleh pedagang-pedagang Quraisy. Ini adalah serangan yang diikuti oleh beberapa orang Ansar ambil bagian untuk pertama kalinya. Sebuah kawanan yang terdiri dari seribu lima ratus unta melewati rute ini, disertai oleh ratusan pengawal di bawah pimpinan Umayyah bin Khalaf, seorang Quraisy. Tujuan dari serangan ini adalah untuk merampok kafilah Quraisy yang kaya ini dan merampas harta hasil perdagangannya. Namun pada akhirnya, tidak ada pertempuran yang terjadi dan tidak ada harta rampasan yang didapatkan. Hal ini disebabkan karena kafilah Quraisy itu mengambil rute yang tidak diketahui oleh kaum Muslim. Muhammad lalu pergi ke Dhat al-Saq, di padang pasir al-Khabar. Dia berdoa di sana dan sebuah masjid dibangun di tempat tersebut.

Dua atau tiga bulan setelah kembali dari Buwat, Muhammad menunjuk Abu Salamah bin Abd al-Assad untuk menggantikannya di Madinah sementara ia pergi memimpin serangan lainnya. Antara 150 dan 200 pengikut Muhammad ikut serta dalam operasi ini menuju al-Ushayra, sebuah daerah di Yanbu, pada Jumadil awal atau Jumadil akhir.Ekspedisi ini dilaksanakan pada tahun 2 H atau Desember 623 M dan dilakukan setelah Rasulullah saw memperoleh informasi bahwa sebuah kafilah sedang menuju Suriah.

Mereka memiliki tiga puluh unta yang mereka kendarai secara bergantian. Ketika mereka tiba di al-Usharayh, mereka bersiap untuk menyerang kafilah Mekkah yang kaya raya yang sedang menuju ke Suriah dipimpin oleh Abu Sufyan. Muhammad memiliki informasi mengenai keberangkatan kafilah-kafilah dari Mekkah dan menunggu sekitar sebulan untuk menyergap kafilah ini. Tapi ternyata kafilah Mekkah sudah lewat sebelumnya.

Dalam operasi ini, Muhammad mengadakan aliansi dengan Banu Madlaj, suatu suku yang tinggal di sekitar al-Ushayra. Ia juga mengakhiri perjanjian lain yang disepakati dengan Banu Dzamrah sebelumnya.[26] Semua perjanjian itu memberikan keunggulan dalam hubungan politis baginya.

Rasulullah saw mengutuk serangan terhadap warga sipil pada "bulan terlarang" dan tidak menerima harta rampasan, Ayat Quran baru diungkapkan, Muhammad mengizinkan berperang pada bulan haram, membenarkan pembunuhan penduduk sipil, Muhammad menerima harta rampasan, Muhammad membebaskan tawanan untuk tebusan

Penyergapan Nakhla adalah pencegatan kafilah yang ketujuh dan merupakan serangan pertama yang meraih keberhasilan dalam menyergap kafilah Mekkah. Abdullah bin Jahsy adalah komandannya. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab tahun 2 H, Muhammad mengirim Abdullah bin Jahsy Asadi ke Nakhla untuk memimpin 12 Muhajirin dengan enam ekor unta. Setelah kembali dari tugas di Badr (Pertempuran Safwan), Muhammad mengirim Abdullah bin Jahsy untuk melakukan 8 atau 12 kali operasi intelijen.

Abdullah bin Jahsy adalah sepupu Muhammad dari pihak ibu. Dia berangkat bersama Abu Haudhayfa, Ukkash bin Mihsan, Utba bin Ghazwan, Sa'ad bin Abi Waqqas, Amir bin Rabia, Abdullah bin Waqid dan Khalid bin al-Bukayr. Salah satu anak buah Abdullah bin Jahsy, yaitu Ukas bin Mihsan, mencukur kepalanya untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya dari perjalanan mereka dan untuk menipu Quraisy dengan memberi kesan bahwa mereka akan melaksanakan Haji kecil (Umrah), karena saat itu merupakan bulan Rajab, ketika peperangan dilarang.

Ketika orang Quraisy melihat kepala gundul Ukas, mereka berpikir bahwa kelompok tersebut sedang dalam perjalanan untuk haji dan mereka merasa lega dan mulai mendirikan kemah. Karena saat itu sedang bulan Rajab, baik pada awal Rajab, atau pada akhir (pendapat para ahli sejarah berbeda-beda), yang merupakan satu dari empat bulan suci adanya larangan total bagi peperangan dan pertumpahan darah di Semenanjung Arab, Abdullah bin Jahsy pada awalnya ragu untuk menyerang kafilah Mekkah itu. Namun, setelah berunding dan memikirkan banyak pertimbangan, para Muslim tidak ingin kafilah itu melarikan diri. Jadi mereka memutuskan untuk melakukan perampasan demi harta jarahan yang banyak.

Dalam pertempuran singkat yang terjadi, Waqid bin Abdullah membunuh Amr bin Hadrami, pemimpin kafilah Quraisy, dengan panah. Naufal bin Abdullah melarikan diri. Para Muslim menangkap Usman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kaysan sebagai tawanan. Abdullah bin Jahsy kembali ke Medina dengan jarahan dan dengan dua orang tawanan Quraisy. Para Muslim berencana untuk memberikan seperlima dari harta rampasan kepada Nabi Muhamamd.

Kaum Quraisy menyebarkan berita di mana-mana tentang perampokan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Muslim pada bulan suci (bulan haram). Karena waktunya, dan karena serangan itu dilakukan tanpa perintah, Muhammad sangat marah tentang apa yang telah terjadi. Dia memarahi mereka (kaum Muslim) untuk berperang pada bulan suci, dengan mengatakan: “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang pada bulan haram.”

Rasulullah saw pada awalnya tidak menyetujui tindakan itu dan menunda tindakan apapun yang berkaitan dengan unta dan dua orang tawanan itu sehubungan dengan bulan haram. Orang-orang Quraisy, di lain pihak, memanfaatkan kesempatan emas ini untuk memfitnah kaum Muslim dan menuduh mereka telah menodai hukum yang sakral. Permasalahan ini sangat memusingkan para sahabat, sampai akhirnya mereka merasa lega ketika Muhammad mengungakpan suatu ayat berkaitan dengan bertempur di bulan haram:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.” QS, Al Baqarah 217

Karena pertumpahan darah ini terjadi pada bulan suci, Muhammad sangat marah atas apa yang terjadi dan dia menolak menerima bagian harta rampasan. Dia membebaskan tawanan untuk tebusan dan membayar uang darah untuk korban yang tewas. Para Muslim di Madinah juga mencela peristiwa ini. Kemudian, Muhammad mengklaim bahwa Allah telah menurunkan ayat yang isinya adalah: Penganiayan terhadap Muslim lebih jahat daripada pembunuhan terhadap orang kafir., dengan demikian kaum Muslim diberi izin untuk menyerang kapanpun jika mereka diserang oleh musuh.

Kisah kisah penyergapan oleh Rasulullah saw tersebut ditanggapi negatif dari banyak kalangan terutama orang orang munafik dan evangelis yang selalu bergandengan tangan dalam memusuhi Islam. Douglas Wilson seorang evangelis dalam sebuah bukunya menuduh yang bukan bukan terhadap Rasulullah saw, lalu bagaimana dengan Bible nya sendiri yang mengisahkan pasukan Moshe yang membantai orang orang Midian yang tertulis dalam Bilangan 31 (Bəmidbar בְּמִדְבַּר)?, bisa jadi kisah pasukan Moshe itu adalah inspirasi dari penjajahan secara internasional yang dijalankan oleh negara negara kristen eropa.

Alkisah berperanglah pasukan Moshe melawan Midian, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa, lalu membunuh semua laki-laki mereka. merekapun membunuh juga raja-raja Midian, yakni Ewi, Rekem, Zur, Hur dan Reba, kelima raja Midian, juga Bileam bin Beor dibunuh mereka dengan pedang. Kemudian Israel menawan perempuan-perempuan Midian dan anak-anak mereka; juga segala hewan, segala ternak dan segenap kekayaan mereka dijarah, dan segala kota kediaman serta segala tempat perkemahan mereka dibakar. Kemudian diambillah seluruh jarahan dan seluruh rampasan berupa manusia dan hewan itu, Pasukan yang diutus oleh Moshe waktu itu mengumpulkan harta jarahan yang sangat luar biasa, Adapun rampasan, yakni yang masih tinggal dari apa yang telah dijarah laskar itu berjumlah: enam ratus tujuh puluh lima ribu ekor kambing domba, dan tujuh puluh dua ribu ekor lembu, dan enam puluh satu ribu ekor keledai, selanjutnya orang-orang, yaitu perempuan-perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki, seluruhnya tiga puluh dua ribu orang. Yang setengah yang menjadi bagian orang-orang yang telah keluar berperang itu jumlahnya tiga ratus tiga puluh tujuh ribu lima ratus ekor kambing domba, jadi upeti bagi TUHAN dari kambing domba itu ada enam ratus tujuh puluh lima ekor; lembu-lembu tiga puluh enam ribu ekor, jadi upetinya bagi TUHAN ada tujuh puluh dua ekor; keledai-keledai tiga puluh ribu lima ratus ekor, jadi upetinya bagi TUHAN ada enam puluh satu ekor; dan orang-orang enam belas ribu orang, jadi upetinya bagi TUHAN tiga puluh dua orang (Bilangan 31). Kisah diatas ini bukan lagi perampokan, tapi sudah merupakan suatu kebiadaban penjajahan antar bangsa.